17 Latihan ll

"Kamu sudah pernah belajar menggunakan pedang sebelumnya?" tanya Ikhsan ketika istirahat.

"Sudah pernah guru."

"Kenapa kamu hanya menghindar?"

"Karena kata pak cik Madi, saya tak boleh menyerang yang lebih lemah."

Ikhsan tersenyum. "Jadi, mereka semua lemah?"

Cil berpikir sesaat apakah salah perkataannya tadi? Apakah dirinya sudah menyombong? Cil tidak bermaksud mengatakan semuanya lemah. "Maksud saya kemampuannya. Bukan orangnya, guru."

Ikhsan tersenyum sambil mengangguk. "Baiklah. Bagaimana kalau kamu melawan mereka semua satu per satu. Jika benar kemampuan temanmu masih lemah. Kamu mau?"

"Baik guru." Jawab Cil tanpa ragu yang segera memasang kuda-kuda.

Ikhsan sedikit terkejut, Cil memasang kuda-kuda menyerang. Sedikit gelisah, Ikhsan mengawasi andai Cil menyerang dengan kekuatan penuh.

Tentu saja Cil menggunakan kemampuan penuhnya. Tapi latihan tetap saja latihan. Cil berdiri menggenggam pedang kayu dengan ke dua tangan di hadapan ke tujuh teman barunya yang berbaris dua saf.

Selama tinggal di Temasek, Cil belajar bersama Madi dan para pengawal Encik Muar adalah lawannya berlatih pedang. Anak seumurnya hanya Yunus yang belum bisa apa-apa karena baru mulai belajar menggunakan pedang. Tapi untuk kemampuan silat, Yunus tidak terkalahkan di antara anak-anak satu desa.

Amin, anak laki-laki paling besar. Berumur sembilan tahun maju menyerang terlebih dahulu. Memegang pedang kayu dengan ke dua tangan, mengayunkan langsung pada Cil.

TRAKK!!! Dengan hanya satu sabetan, pedang kayu Amin terpental. Kemudian secepat mungkin Cil menusukkan pedang kayunya ke dada Amin. Membuat anak itu dan Ikhsan sang guru bergidik ketakutan melihat keseriusan Cil. Tapi...

Pedang kayu Cil terhenti begitu menyentuh baju Amin. "Satu." Kata Cil diiringi senyuman, membuat Amin jatuh terduduk karena ketakutan.

"Saya pikir engkau akan menusuk sungguhan!" Amin menghela nafas.

"Ini hanya latihan, tak perlu takut." Sahut Cil tersenyum.

Daud. Anak lainnya yang berumur delapan tahun maju. Mencoba mengalahkan Cil. Daud berlari sambil mengayunkan pedang. Cil menghindar ke samping sambil menyabetkan pedang kayunya.

TAP... Pedang kayu Cil berhenti tepat di leher belakang Daud. Andai itu serangan sungguhan, anak itu pasti mati dengan leher patah. "Dua."

"Ah... saya kalah." Daud menghela nafas sambil menjatuhkan diri dan duduk di rumput dengan kaki berselonjor.

Jamilah, anak perempuan berumur delapan tahun gantian maju. Membuat gerakan menusuk sambil berlari. TRAAKKK!!! Pedang kayunya melambung.

"Tiga."

"Aaah... saya belum melakukan apa-apa sudah kalah duluan." Keluh Jamilah dengan nada manja.

Cil menatap empat anak lainnya. Tanpa di komando ke empat anak itu ada yang menjatuhkan pedangnya. Ada pula yang menyembunyikan pedang kayunya di balik punggung karena tidak berani melawan Cil. Selain itu empat anak itu juga masih lebih muda dari Cil.

Anak-anak itu akhirnya mengerumuni Cil. Bertanya dari siapa Cil belajar dan sudah berapa lama belajar menggunakan pedang.

"Ke sini sebentar nak." Panggil Ikhsan sambil menjauh tiga langkah dari murid-muridnya. Kepada yang lainnya guru itu berkata. " Kalian lanjutkan latihan mandiri."

"Baik guru!" jawab anak-anak itu bersamaan.

Cil mengikuti guru itu.

"Siapa namamu?"

"Saya biasa dipanggil Cil."

"Rumah engkau di mana?"

"Rumah saya jauh guru. Saya di sini tinggal sama atuk."

"Di mana rumah atuknya?"

"Di sana guru." Cil menunjuk ke arah kastil.

Ikhsan mengangguk walau tak melihat. "Siapa nama ayahmu?"

"Kata ibu, ayah sudah lama meninggal."

"Kalau begitu siapa nama ibumu?"

"Pong Su."

Ikhsan terdiam. Mengingat beberapa detik sebelumnya, anak di hadapannya menunjuk rumah atuknya adalah kastil. Hanya satu orang yang di kenal Ikhsan bernama Pong Su. Apa hanya kebetulan atau... "Si, siapa nama atuknya?" Ikhsan mulai gugup andai perkiraannya benar.

"Datuk Laksamana."

Ikhsan mematung, menahan nafas. Pendengarannya sungguh tidak bermasalah. Itu artinya...

"Am...Cil, maksud guru, Tuan Cil. Apa Datuk tahu, Tuan ke sini?"

Cil menggeleng. "Tadi saya mau minta izin sama atuk atau pak cik Tan untuk main ke taman, tapi mereka tidak ada. Jadi saya pergi saja sendiri ke sini."

"Kalau begitu, Tuan tunggu di sini sebentar. Saya akan memberitahukan pada Datuk kalau tuan ikut latihan bersama saya. Ini biar Datuk tak kehilangan tuan."

"Baik guru." Cil mengangguk mengerti.

Ikhsan segera pergi, entah ke mana Cil tidak tahu. Karena Cil sendiri belum pernah menjelajahi kastil Datuk Laksamana.

Begitu Ikhsan pergi, teman-teman baru Cil kembali mengerumuninya. Bertanya siapa gurunya dan sangat ingin belajar bersama.

"Kalian mau kenal dengan guru saya?"

"Mau-mau." Jawab ke tujuh teman baru Cil hampir bersamaan.

Cil berpikir sesaat. Apa Madi akan marah kalau ia membawa banyak teman? "Kalau begitu, ayo ikut saya."

"Ke mana?" anak-anak itu penasaran.

"Tentu saja ke tempat guru saya."

Tanpa berlama-lama anak itu segera mengikuti Cil. Berjalan menyusuri taman yang sepertinya hampir memutari separo bangunan utama kastil. Ketika sampai di taman yang besar dengan kolam berisi ikan-ikan gemuk, anak-anak itu berhenti.

"Tunggu." Perintah Amin membuat anak yang lain segera memperhatikannya.

Daud memperhatikan sekitar taman dan terkejut ketika mengetahui mereka berada di taman kastil yang tidak boleh didatangi. "Bukannya kita tidak boleh ke sini?"

"Iya. Itu maksud saya. Kita dilarang masuk ke sini!" sahut Amin mengingatkan.

"Kenapa dilarang?" tanya Cil yang memang tidak tahu apa-apa.

"Ya, karena itu peraturannya." Jawab Jamilah.

"Tapi saya datang dari sana." Cil menunjuk ke arah pintu tempat ia keluar dari bangunan utama kastil sebelumnya.

Jamilah menarik tangan Daud. "Kita tak boleh ke sini. Ayo balik."

"Tapi sudah dekat."

"Tapi kita tidak boleh ke sini." Amin kembali mengingatkan.

"Tidak apa. Ayo ikut." Ajak Cil.

"TIDAK BOLEH!!!" jerit Jamilah karena merasa Cil sangat keras kepala. Anak itu tidak mau mereka sampai di hukum karena ada yang keras kepala.

Ketika anak-anak mulai ribut. Ada yang mau ikut dengan Cil dan lebih banyak yang tidak mau ikut, tiba-tiba dari salah satu jendela kastil yang terbuka muncul sosok laki-laki. Bertubuh tinggi dengan otot-otot yang menonjol. "Ah..." kata sosok itu begitu mengenali salah satu anak-anak yang sedang bertengkar.

Anak-anak itu terkejut. Terdiam beberapa detik. Kemudian lari berhamburan sambil berteriak.

"Lari..."

"Ada gergasi!"

"Lari ada gergasi!"

"Tunggu jangan lari."

Tapi tetap saja ke delapan anak-anak itu berlari. Tak berselang lama, hanya hitungan detik muncul sosok lain di hadapan anak-anak itu.

"MAU KE MANA KALIAN?"

Ke delapan anak-anak itu sekarang berhenti. Tidak bisa lari lagi. Terlebih masih mengira si gergasi yang mereka takuti mengikuti dari belakang.

Tan menyuruh anak-anak itu berbaris dua saf. Yang kecil berbaris di depan dan yang besar di belakang.

"Maaf Tuan..." kata Amin mewakili temannya sebagai anak paling besar, juga sebagai anak seorang bangsawan. "Kami lupa, kalau tidak boleh bermain di sini..."

"Benarkah?" Tan pura-pura tidak percaya.

"Kenapa tidak boleh main di sini pak cik?" tanya Cil santai membuat teman-teman barunya menjadi terkejut mendengar Cil memanggil Tan dengan sebutan 'pak cik', karena Tan adalah anak sulung dari sekutu Datuk Laksamana.

"Am... kenapa ya?" Tan pura-pura tidak tahu sambil menyilangkan ke dua tangan, yang sedetik kemudian tangan kirinya mengusap-mengusap dagunya seolah berpikir keras. Sengaja untuk mempermainkan anak-anak itu. "Pak cik pun tak tahu." Jawabnya kemudian di sertai senyuman begitu berhasil membuat anak-anak di hadapannya penasaran.

Tentu saja Tan tidak akan memberi jawaban. Anak-anak itu harus mengerti sendiri, termasuk Cil. Karena alasan sebenarnya adalah sederhana. Bukan tempat umum. Wilayah pribadi.

Siapa pun pasti memiliki wilayah pribadi. Bahkan rakyat biasa.

"Sekarang katakan, kenapa kamu berkeliaran sendiri di sini?" Tan menatap bengis pada Cil. "Katanya masih sakit, tapi malah berkeliaran."

"Tadi saya mau minta izin sama pak cik untuk main keluar, tapi pak cik tak ada..." Cil jadi menyesal karena keluar tanpa izin.

Tan tersenyum. Mengusap rambut Cil. Tentu saja itu juga salahnya karena tidak memberitahu pergi ke mana saat meninggalkan Cil. Sehingga anak itu tidak menemukan keberadaannya.

"Baiklah. Katakan, sebenarnya tadi kalian mau ke mana?" tanya Tan dengan senyum bersahabatnya yang biasa.

"Sebenarnya tadi kami mau menemui gurunya Cil, Tuan." Jawab Daud.

"Oh... kalau yang itu untuk saat ini tidak bisa. Guru itu sedang sakit dan tidak bisa dikunjungi. Yang lain saja. Katakan kalian mau apa?"

"Tuan." Panggil Amin. "Cil katanya baru di sini. Kami mau ajak jalan, bolehkah?"

Tan mengangguk. "Boleh."

avataravatar
Next chapter