11 Huhh... Sedapnyaa...

Atas saran Ustadz dan istrinya akhirnya Madi, Tan dan Cil bermalam di rumah sang Ustadz. Tidak baik untuk anak seperti Cil harus melakukan perjalanan malam dengan perahu. Berangin malam bisa membuat sakit.

Selain itu naik perahu malam hari juga berbahaya. Sungai dengan rawa-rawa yang banyak mengelilingi Temasek, penuh buaya dan ular besar yang siap membalikkan perahu. Tak ada yang selamat kalau perahu sudah di balik buaya.

Meski awalnya Madi menolak karena sungkan dengan istrinya. Tapi Tan tanpa tahu malu menerima dengan senang hati. Menginap gratis. Kenapa harus ditolak.

Sebagai ganti biaya menginap tanpa malu juga, Tan menyarankan dirinya sendiri untuk memasak makan malam.

Ketika tiga orang laki-laki dewasa itu sibuk memasak air, nasi dan sambal untuk makan malam. Cil asik bermain bersama anak sang Ustadz yang baru umur satu tahun. Sementara itu istri Ustadz mengawasi anaknya bermain bersama Cil sambil melipat kain.

Cil bermain gasing yang hanya asal ia putar pakai tangan untuk bermain bersama adik bayi. Akan bahaya bermain gasing dengan dilempar seperti biasa. Karena itulah Cil memutar pelan pakai tangan, sehingga adik bayi yang baru bisa merangkak dapat main bersamanya.

Adik bayi sangat suka mengejar gasing yang terkadang lari jauh karena dilemparnya sendiri. Cil akan mengambilkan kembali sambil merangkak pula.

"Adek, ini gasingnya." Panggil Cil sambil merangkak mendekati adik bayi yang terlihat mengejar sesuatu.

Cil melihat arah tujuan adik bayi merangkak. Di dinding papan terlihat seekor kalajengking merangkak hendak turun ke lantai. "Jangan dek!" Cil berlari mencegah adik bayi memegang kalajengking.

Istri Ustadz melihat kepada Cil saat anak itu berlari. Menangkap anaknya dengan tangan kanan kepelukkannya lalu mengibaskan kalajengking dengan tangan kiri.

Melihat kejadian itu istri Ustadz berlari cepat membantu Cil. Memukul kalajengking lalu melihat tangan Cil yang sempat di tusuk ekor kalajengking.

"Aduh... sayang. Maaf mak cik tak sigap membantu." Ucap istri Ustad mencari jejak yang di tusuk ekor kalajengking di tangan Cil. Setitik luka terlihat di telapak tangan Cil. "Sebentar ya, mak cik ambil obat."

Cil hanya diam memangku adik bayi sambil melihat telapak tangannya. Tidak menangis atau meringis sedikit pun.

Tak sampai dua menit, istri Ustadz kembali membawa botol kecil berisi minyak kelapa dengan aneka akar dan kulit kayu di dalamnya. Dengan sigap istri Ustadz mengoleskan minyak obat pada tangan Cil. "Kalau malam biasanya racun kalajengking lebih menyakitkan dari siang hari. Apa tak sakit?" istri Ustadz merasa heran melihat Cil yang tenang-tenang saja.

"Tak sakit." Jawab Cil santai.

Istri Ustadz mengusapkan obat sambil memperhatikan tangan Cil yang sama sekali tidak memerah atau pun membengkak akibat racun kalajengking. "Luar biasa!" Apa anak di hadapannya kebal terhadap racun hewan berbisa. Hanya ada luka kecil seperti tertusuk duri.

"Apa yang luar biasa?" tanya Ustadz memasuki ruang tengah rumahnya sambil membawa baki berisi kopi.

Di belakang Ustadz menyusul Madi dan Tan membawa nasi panas mengepul, sambal asam pedas baung dengan beberapa butir cabe rawit utuh. Cil tidak akan kuat makan yang terlalu pedas karena itulah cabe rawit ditambahkan tanpa di giling.

"Tadi ada kalajengking." Istri Ustadz menunjuk bangkai kalajengking yang masih terkapar dari tempatnya duduk memberi obat pada Cil. "Cil disengat, tapi... racunnya tak berefek sama Cil."

"Benarkah?" Ustadz mendekat namun langkah panjang kaki Madi dan Tan lebih cepat sampai di tempat Cil.

Madi memegang tangan kiri Cil. Membolak-balik mencari efek sengatan kalajengking yang mungkin saja terlewatkan istri Ustadz.

"Benar hanya ini yang di sengat?" tanya Tan melihat bersama Madi hanya menemukan setitik luka kecil bekas sengatan kalajengking.

"Iya pak cik."

"Benar. Saya melihat sendiri. Cil disengat karena mau tolong anak kami sebelum pegang kalajengking!" tambah istri Ustadz.

Madi mengusap rambut Cil penuh sayang. "Jadi Cil tolong adik bayi?"

"Kasian kalau adik bayi sakit pak cik."

"Tak sakit kah disengat?"

Cil mengangguk.

"Biasanya kalau disengat pasti sakit dan mendemam buat anak-anak. Tapi syukur alhamdulillah, kamu tak kenapa-kenapa!" Ucap ustadz menarik nafas lega. Khawatir juga jika Cil sampai sakit. Kemudian lanjutnya. "Baiklah, mari kita makan."

Nasi panas dan sambal asam pedas baung yang sempat menganggur akhirnya di santap. Istri Ustadz mengeluarkan petai bakar, sambal tempoyak dan ikan asin sambal makan siang mereka.

"Tak pedaskah pak cik?" tanya Cil melihat Tan dan Ustadz menggigit cabe rawit.

"Pedas." Jawab Tan sambil mengupas petai bakar.

"Jangan di tiru ya, Cil. Perut bisa sakit kalau makan pedas berlebihan." Kata Madi makan dengan santai. Untuk menambah pedas ia hanya makan sambal tempoyak.

Cil mengangguk. Melihat nasinya yang dengan satu sendok kuah asam pedas ikan baung saja sudah membuatnya kepedasan.

Tan dan Ustadz makan bertambah. Keringat tampak di dahi karena menggigit cabe rawit. "Tak sedap sempurna rasanya asam pedas jikalau tak pedas Cil." Ungkap Ustadz saat melihat Cil terus memperhatikannya dan Tan yang terus saja makan meski kepedasan.

"Huhh... sedapnyaa... " seru Tan ketika kepedasan ditambah minum kopi panas dan lanjut terus makan.

"Mau sampai kapan dua orang itu makannya?" Madi geleng-geleng kepala, membuat istri Ustadz yang mendengarnya jadi tertawa.

"Kalau saya boleh tahu. Mau ke mana encik membawa Cil?" tanya istri Ustadz di sela memperhatikan anaknya bermain bersama Cil.

"Kami akan ke tempat atuk, sekalian ziarah ke makam ayahnya." Jawab Madi jujur tanpa menyebutkan lokasi tujuannya.

"Jadi Cil anak yatim? Inalillah..."

Madi meneguk kopinya sebelum menjawab. "Benar puan."

"Kasihannya. Anak semanis itu tak mendapatkan kasih ayahnya."

Madi hanya diam, memperhatikan Cil yang asik bermain.

***

Sudah dua hari kapal itu berlayar menyusuri sungai dan lautan. Dari Temasek menuju Johor. Kapal itu hanya sebuah kapal layar kecil, banyak dinaiki para pedagang yang hendak berniaga ke Johor.

Para pedagang biasanya hanya membayar untuk di atas geladak karena bisa menjaga barang dagangan yang banyak. Tidak akan muat jika di bawa ke ruang bawah.

Penumpang biasa seperti Madi, Cil dan Tan atau orang lain akan menyewa ruang kamar yang tersedia. Sayangnya karena air tawar terbatas, jadi para penumpang hanya bisa mandi sekali. Jika ingin lebih sering mandi, nahkoda kapal tidak keberatan kalau penumpangnya mandi air laut yang asin dan membuat kulit kasar.

Madi sedikit menghela nafas dengan terbatasnya air tawar yang tersedia. Dirinya pribadi tidak masalah andai tidak mandi dalam keterbatasan air. Tapi Cil...

Pagi pertama di atas kapal Cil bangun kesiangan. Matahari sudah sangat tinggi. "Lapar..." keluhnya.

"Tak mandi dulu?" tanya Tan.

"Sore saja pak cik. Cuci muka saja. Kan kata nahkoda tak boleh sering mandi. Air tawar tak ada."

Madi dan Tan saling pandang, kemudian tertawa. Ternyata Cil dapat memahami keadaan.

"Baiklah. Mari cuci muka dulu sebelum makan." Ajak Madi bersemangat.

Setelah mencuci muka dan sikat gigi, Madi, Tan dan Cil makan di atas geladak sambil menikmati lautan. Hanya nasi lemak dengan ikan laut dan sambal tempoyak yang di jual tukang masak kapal.

Selama di atas kapal, terutama saat di atas laut Cil sering jalan-jalan berkeliling geladak. Madi atau Tan bergantian menemaninya berkeliling. Namun Tan sangat membebaskan Cil berjalan ke mana saja dan jam berapa saja. Akibatnya kulit Cil jadi memerah terbakar matahari dan berbintik-bintik di sekitar wajah.

"Panas sekali pak cik..." Cil mengeluh pada malamnya karena kesulitan tidur.

"Kan sudah pak cik kata, jangan main panas-panas." Madi sibuk mengipas-ngipas untuk mengurangi rasa panas agar Cil bisa tidur.

"Bagaimana kalau mandi." Tan mengusulkan.

Madi menghela nafas. Tanpa komentar apa-apa Madi membawa Cil keluar dari ruang kamar kapal yang mereka sewa. Di salah satu sudut geladak, Madi duduk bersama Cil.

Berharap angin malam bisa mendinginkan Cil yang kepanasan. Saat sedang duduk bersama Cil yang tiduran di pangkuannya, seorang pedagang perempuan mendekat sambil membawa sebuah kelapa.

"Tampaknya susah tidur karena main berpanas tadi siang ya?"

"Iya mak cik."

"Ini ada kelapa muda. Baik buat mengurangi panas. Berilah dia minum."

Cil duduk sambil memperhatikan kelapa yang disodorkan kehadapan Madi. Kelapa itu bahkan sudah di kupas tampuknya.

"Terima kasih banyak mak cik." Madi menerima kelapa pemberian perempuan yang ternyata seorang pedagang buah.

"Sama-sama. Semoga lekas dingin badannya." Perempuan itu segera berlalu.

Setelah kepergian perempuan itu, Madi segera menusuk tampuk kelapa dengan sebuah pisau kecil yang biasa tersembunyi di balik kain sampingnya. Membuat sebuah lubang kecil agar air mudah di minum. "Ayo minum air kelapanya."

Cil segera meminum air kelapa pemberian perempuan tadi. "Manis..!" serunya setelah beberapa kali meneguk air kelapa.

"Yang banyak minumnya."

"Pak cik coba juga. Enak." Cil menyodorkan langsung kelapa muda itu ke hadapan Madi.

"Iya, baiklah. Pak cik minum juga." Madi segera minum. Setelah itu kembali menyuruh Cil menghabiskan air kelapanya.

Dengan patuh Cil menghabiskan air kelapa perlahan.

"Esok hari jangan main panas lagi. Dengar kalau pak cik bicara?"

"Iya, dengar."

"Sudah hampir tengah malam. Esok pagi, menjelang siang kapal akan berlabuh." Ucap Madi yang memperhatikan bintang-bintang. Langit di laut lepas sangat cerah.

"Dari mana pak cik tahu sudah hampir tengah malam?"

"Kamu bisa tahu dengan melihat bintang-bintang. Bukankah sudah pak cik ajarkan?"

Cil melirik Madi sekali, anak itu tidak pernah benar-benar memahami membaca bintang untuk mengetahui waktu dan mata angin.

Terlalu banyak yang harus dipelajarinya. Membaca buku-buku tebal yang di suruh Encik Muar membuatnya cepat lelah. Kali ini karena sama sekali tidak belajar, mungkin saja akan mudah membaca bintang. Cil kembali memperhatikan bintang di langit. "Di rumah bintangnya tak sebanyak ini."

"Kalau kamu tak tidur baiknya belajar membaca bintang. Kamu akan tahu arah dan tak kan tersesat bila memahaminya. Kapal ini bisa terus berjalan malam juga karena nahkoda paham ilmu bintang."

"Baik pak cik."

avataravatar
Next chapter