3 Hei... Apa Yang Kamu Lakukan?

Setelah makan pagi, sebelum aktifitas belajar pagi di mulai ibu mengajak Cil jalan-jalan di sekitar persawahan yang terdekat dengan rumah karena akan ada panen seminggu lagi.

Saat jalan-jalan itulah Cil mendesak ibu untuk menceritakan tentang ayah. Ibu tidak begitu terkejut seperti malam saat Encik Muar menyinggung tentang masalah ayah. Ibu menceritakan yang lebih rinci lagi tentang ayah. Ayah memang berasal dari ibu kota kesultanan. Karena itulah anak desa seperti Cil sangat berbeda dengan anak kota seperti ayah yang dari kecilnya memang hidup di lingkungan ibu kota.

Menurut ibu hanya lingkungan saja yang berbeda, tapi semua pendidikan yang di dapatkan Cil dari Encik Muar sama tingginya dengan anak bangsawan.

Menurut ibu juga, anak bangsawan saja tidak mempelajari apa yang Cil pelajari karena Encik Muar adalah guru keluarga Sultan. Bahkan Encik Muar itu pernah mengajar Sultan langsung saat masih kecilnya.

"Kenapa jadinya menceritakan Guru, Bu?"

Ibu tertawa kecil. Berhenti dipinggir jalan di dekat petak-petak sawah yang sudah siap panen. Berlutut di hadapan anaknya, menyentuh wajah Cil dengan ke dua tangannya yang lembut dan kulitnya yang putih. "Karena kamu beruntung bisa mempelajari semuanya. Tidak seperti anak-anak desa ini yang terpaksa bertani membantu orangtuanya saat seharusnya menikmati masa kecil dengan bermain dan belajar."

"Jadi Cil beruntung ya, Bu?"

Ibu tersenyum. "Bukan. Kamu spesial. Cepat atau lambat kamu akan tahu betapa spesialnya kamu." Ibu berhenti bicara, menatap Cil sebelum kembali melanjutkan. "Jika terjadi sesuatu. Apa pun itu... Berjanjilah untuk bertahan!"

"Apa maksud ibu?"

"Berjanjilah pada ibu, kamu akan bertahan. Apa pun yang terjadi!"

Cil mengangguk. "Ya, Bu. Cil janji."

"Baiklah, kalau begitu ayo kita kembali." Ajak Ibu sambil berdiri dan mengusap rambut Cil.

Ketika baru mulai berjalan untuk kembali ke rumah, Cil dan ibu melihat Yunus berlari-lari kecil sambil membawa sebuah sangkar burung kecil begitu melihat Cil bersama ibu. Cil tahu Yunus pasti menepati janjinya.

"Aku bawa pipit hijau, seperti janjiku!" Ucapnya bangga hingga membuat ibu kagum dengan sikapnya itu.

Cil sama sekali tidak peduli dengan basa-basi Yunus kepada ibu karena dirinya sedang terhipnotis pipit hijau pemberian Yunus. Cil mendekati petak sawah terdekat, mengambil setangkai batang padi yang sudah menguning lalu meletakkannya di dalam sangkar pipit.

"Apa saya boleh belajar hari ini sama Puan?"

Ibu mengangguk. "Iya, tentu saja boleh."

"Terimakasih Puan. Oh ya Puan, tadi waktu jalan mau ke rumah Puan untuk mengantar pipit itu, ada orang tanya-tanya soal Puan."

Ibu menyipitkan mata mendengar perkataan Yunus. "Orang itu memang tanya apa sama Yunus?"

"Bukan tanya sama saya, Puan. Orang tu tanya ke Pak Cik Saleh sama Pak Cik Atan."

Cil memperhatikan ekspresi ibu yang terlihat tegang meski berusaha menutupinya dengan senyumnya. "Ah, tidak apa. Ayo ke rumah Puan, kita belajar bersama."

Yunus mengangguk lalu menarik tangan Cil yang masih jongkok memperhatikan pipit hijau agar cepat kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah ibu menemui pamanya, yang tak lain adalah Encik Muar. Membawa serta Yunus menemui guru di teras samping sebelum mulai belajar.

Encik Muar sedikit terkejut mendengar penjelasan singkat ibu. Berusaha tenang agar tidak membuat Yunus takut, Encik Muar menanyai Yunus dengan lembut setelah anak itu menceritakan apa yang didengarnya dari Pak Cik Atan dan Pak Cik Saleh yang justru mengalihkan cerita tentang Encik Dahlia. "Seperti apa orang itu Yunus?"

"Orang itu berpakaian seperti pedagang. Mukanya saya tak ingat Tuan. Tapi..." Yunus berpikir mencoba mengingat sambil melihat sekitar dan begitu melihat dua orang pengawal rumah itu yang akan bergantian waktu jaga di gerbang depan, Yunus langsung menunjuk dua pengawal itu. "Ah... orang itu badannya macam dua pengawal itu. Besar berdegab, tapi tak terlalu tinggi." Seru Yunus membuat dua pengawal itu melihat padanya yang langsung memberi hormat pada Encik Muar dan ibu Cil lalu melambai sambil tersenyum pada Yunus.

Encik Muar mengangguk kemudian memberi tahu kepada ibu untuk mengajari dulu ke dua anak itu yang harus segera belajar. Sementara itu Encik Muar memanggil Madi, kepala pengawalnya, seorang laki-laki berwajah pemalas yang sebenarnya sangat ahli menggunakan pedang dan senjata tajam lainnya. Setelah pembicaraan singkat Encik Muar dengan Madi tentang apa yang disampaikan Yunus, Encik Muar segera masuk ke dalam rumah untuk mengajar dua anak didiknya.

Encik Muar memberi tugas menulis untuk Yunus, sementara Cil karena sudah lama lancar menulis dan membaca diberi tugas lain dari biasanya.

Kaligrafi. Cil tidak mempunyai bakat seni, tapi agar tidak membuat Encik Muar marah dan menambah satu jam pelajaran, Cil pun berusaha membuat kaligrafi dari sebuah ayat pendek pilihan guru.

Di ujung ruangan, tempat Encik Muar biasa duduk di depan mejanya yang rendah, Encik Muar duduk berhadapanan dengan ibu. Tanpa maksud menguping, Cil mendengar semua pembicaraan antara Encik Muar dan ibu.

Menurut Encik Muar, beberapa bulan yang lalu ada yang menanyakan tentang dirinya pada orang-orang desa. Yang kebetulan di dengar Yunus dan mengabarkannya kepada Encik Muar sama seperti sekarang. Namun orang-orang desa tidak ada yang memberitahu yang sebenarnya, dengan mengatakan tidak mengenal atau tidak ada orang yang bernama Tuan Muar di desa, karena warga desa lebih takut kepada Encik Muar dibanding orang yang mencurigakan, pejabat desa bahkan utusan kerajaan.

Kali ini ada yang menanyakan tentang ibu dan itu membuat kekhawatiran kembali muncul meski Yunus dan warga desa bisa dipercaya. Tapi entah kenapa, Encik Muar dan ibu menjadi begitu khawatir. Cil bertanya-tanya ada masalah apa, kenapa keberadaan Encik Muar dan terutama ibu harus di sembunyikan dari orang-orang luar desa.

Cil tertunduk, mengusap rambut sekali. Tidak bisa konsentrasi membuat kaligrafi yang terus saja salah karena mendengar pembicaraan Encik Muar dan ibu lalu Yunus yang selalu bertanya kepadanya ketika mengalami kesulitan mengenali huruf, salah menyambung tulisan, termasuk letak titik tulisan arab melayu.

Bagi Cil yang sudah belajar menulis dan membaca sejak kecil sama sekali tidak mengalami masalah ketika memberi petunjuk, hanya saja pembicaraan antara Encik Muar dan ibu yang sangat menganggu pikirannya.

***

Istirahat siang setelah belajar Cil mendatangi ibu di kamarnya. Cil ingin tahu ada masalah apa, tapi ibu selalu mengatakan tidak ada apa-apa dengan senyuman, rangkulan, pelukkan dan belaian sayangnya. Membuat Cil selalu ingin di peluk dan di sayang ibu. Cil tiduran dan meletakkan kepalanya dipangkuan ibu.

"Dasar manja. Kamu itu kan sudah besar, sudah tujuh tahun." Kata ibu sambil mengusap-ngusap rambut anaknya.

"Kalau Cil sudah besar, kenapa Cil tak tinggi seperti guru sama ibu? Terus setiap Cil tanya tentang ayah kenapa selalu dibilang, 'waktu besar nanti kamu akan mengerti...'. Mana yang benar, Bu?"

Ibu tertawa mendengar ucapan Cil. "Ya, memang kamu sudah besar. Tapi tidak cukup besar untuk mengerti suatu masalah. Karena itu, semua harus secara bertahap menyampaikannya biar kamu mengerti dan memahami situasi sekarang."

Cil diam karena sudah pasti mengerti maksud perkataan ibu.

"Kalau tiba saatnya, kamu akan tahu siapa keluarga kita sebenarnya dan seberapa penting keberadaanmu sebagai seorang anak. Meski kamu baru tujuh tahun."

Cil mengangguk mengerti. Saat ini memang yang ia tahu tentang keberadaanya sebagai anak laki-laki satu-satunya dari keluarganya.

Setelah cukup puas dengan penjelasan ibu, sekarang waktunya bersenang-senang. Masih ada satu jam lagi untuk istirahat. Cil pergi untuk bermain selama satu jam sebelum Encik Muar memarahinya karena lagi-lagi melewatkan jam belajar. Kali ini Cil yakin akan tepat waktu karena Yunus juga berjanji untuk mengingatkannya.

Karena hanya satu jam, ke dua anak itu pun hanya bermain di sekitar sungai kecil yang tempatnya tidak begitu jauh dari rumah. Sungai itu sedikit terlindungi dari pepohonan karena aliran sungai yang sedikit berkelok ke kiri dan membuat Cil dan Yunus yang sedang bermain tidak terlihat dari rumah yang letaknya sedikit tinggi.

Batu-batuan besar dipinggir sungai menjadi ajang dua anak kecil bodoh untuk saling pamer keseimbangan dengan melompati batu ke batu lainnya. Hasilnya... Cil tercebur ke sungai dengan lecet di siku. Sementara Yunus yang menang besar berkecak pinggang sambil berdiri di atas batu terbesar dan tertawa-tawa senang.

"Ahaa... bersiaplah untuk tambahan waktu belajar satu jam."

"Kan belum satu jam..."

"Ya..." potong Yunus. "Tapi kamu basah. Tuan Muar pasti marah besar!"

Cil merungut. Mengingat tambahan waktu belajar satu jam untuk setiap pelanggaran, anak itu jadi bersemangat. Cil baru melanggar satu peraturan dan ia belum melewatkan jam bermain. Cil membuka pakaian dan membentangkannya di atas batu agar bisa kering selama dirinya melanggar waktu bermain. Kalau pakaiannya kering, otomatis Cil hanya melanggar satu peraturan. Tidak dua. Tambahan satu jam belajar tidak masalah bagi Cil.

"Hei... apa yang kamu lakukan?" Yunus protes. "Aku kan sudah janji untuk mengingatkan kamu pulang tepat waktu? Jangan membuatku tak bisa menepati kata-kataku! Tuan guru bisa marah!"

Entah kenapa Cil sama sekali tidak memikirkan peringatan Yunus. Seolah ada setan yang menggoda, membisikkan agar jangan kembali ke rumah. Bahkan saat Yunus terus saja ngomel, hingga mungkin setengah jam lamanya meski ikut masuk ke dalam air mencari-cari udang yang bersembunyi di balik batu-batu besar dengan menggulung celananya hingga setengah pahanya, Cil terus saja bermain air.

Melatih kemampuan berenang yang diajarkan Yunus. Yunus sangat ahli berenang dan menyelam yang di dapatkan dari ayahnya yang sering mencari ikan setelah masa tanam, sambil merawat sawah dan menjelang masa panen. Setahu Encik Muar dan ibu, Cil tidak bisa berenang karena itulah mereka sering melarang untuk main di sekitar sungai. Membuat tidak ada yang pernah mengira Cil sering menghabiskan waktu di sungai. Encik Muar, ibu dan pelayan rumah lebih sering mencari Cil dipinggir hutan atau di sawah.

Lelah mengingatkan Cil yang terlihat belum juga mau keluar dari air. Akhirnya Yunus meninggalkan teman keras kepalanya itu. Niatnya mau memberi tahukan kepada guru membuat Cil merinding juga akan dimarahi.

Setelah memikirkan beberapa kali akhirnya Cil putuskan untuk keluar dari air. Namun saat ia memeriksa pakaian ternyata bajunya masih belum kering. Bagaimana ini? Cil melihat ke langit. Mendung. Pantaslah pakaiannya belum juga kering meski sudah lebih dua jam ia bermain air.

Meski pakaiannya masih lembab, Cil terpaksa memakainya juga kemudian bergegas untuk pulang. Ada sesuatu yang mengganjal ketika Cil memutuskan untuk kembali. Seolah ada yang mencoba menahan langkahnya untuk pulang. Namun Cil sudah memutuskan untuk pulang dan menerima semua konsekuensi dari pelanggaran peraturan yang sudah dilakukan.

Dengan langkah perlahan seolah tidak bersemangat Cil mencapai sungai yang menikung dan mulai dari sanalah Cil dapat melihat langsung ke arah rumah keluarganya yang letaknya lebih tinggi. Cil bisa melihat ada keramaian di depan rumah. Tidak tahu ada apa, namun Cil bisa mendengar suara teriakan memaki-maki dan semua umpatan yang tidak pernah Cil dengar dan tidak tahu artinya.

Ketika Cil memahami satu-satu kata yang keluar dengan nada tinggi itu Cil pun menghentikan langkah kaki. Memperhatikan lebih jelas apa yang sebenarnya terjadi di rumah keluarganya. Keramaian itu ternyata bukan keramaian biasa. Ada lebih selusin orang tidak dikenal mengayun-ngayunkan pedang dan golok ke arah pengawal rumah keluarga Cil. Apa yang terjadi? Apa itu perampok?!

Saat itu Cil langsung teringat dengan ibunya. Aku harus menolong ibu! Cil segera berlari secepat yang ia bisa, tapi baru beberapa meter berlari tiba-tiba saja Cil di sergap dari samping dan langsung terjatuh karena yang menyergapnya bertubuh lebih besar. Orang yang menyergap menduduki punggung Cil ketika anak itu berusaha bangkit.

Bersambung...

avataravatar
Next chapter