5 Apa Itu Tadi?!

AKHIRNYA Cil dan Yunus tiba di air terjun. Lelah dan takut karena mereka berdua hanya dua orang anak kecil yang berjalan terlalu jauh dari rumah dan desa ke tengah hutan yang sangat lebat. Ditumbuhi pohon-pohon berumur ratusan tahun yang begitu menjulang. Tumbuhan pakis hutan yang besar-besar dan rimbun terlihat sangat menakutkan ke dua anak itu karena jadi menghayalkan yang tidak-tidak. Seolah ada yang bersembunyi dan menunggu untuk menangkap dari rimbunnya setiap tumbuhan pakis hutan.

Yunus meskipun kelelahan langsung saja menjelajah di sekitar aliran air terjun. Tidak jauh karena sepertinya ia tahu Cil ketakutan dan kelelahan setelah berjalan jauh. Yunus kembali mendekati Cil yang terduduk di sebuah batu besar di pinggir aliran air terjun sambil membawa sebuah daun besar membentuk sebuah mangkuk dan berisi air.

"Ini. Minumlah." Katanya seolah Cil adiknya sendiri.

Cil menerima daun yang besarnya hampir sebesar kepala, berisi air dari aliran air terjun dan langsung meminumnya. Dingin dan segar sekali. "Terimakasih." Ucap Cil sambil mengembalikan daun berbentuk mangkuk itu kepada Yunus yang begitu menerima daun itu ia langsung meminum sisa air yang masih banyak.

"Kamu mendahulukanku?"

"Ya."

"Bagaimana kalau air itu meracuniku? Aku pasti mati duluan. Sepertinya aku kelinci percobaan." Canda Cil berlagak marah.

Yunus tertawa. "Tak apa kan. Paling tidak berkurang satu anak manja." Jawabnya asal lalu ke dua anak itu tertawa. Hilang sesaat perasaan takut, bingung dan kedinginan.

"Sekarang apa yang akan kita lakukan?"

"Kamu takut?" Yunus balik bertanya.

Cil mengangguk pelan.

Yunus memperhatikan Cil. "Kamu kedinginan?"

Anak itu mengangguk sekali karena memang sedang kedinginan. Cil sebelumnya bermain air hampir dua jam, bajunya juga lembab dan hari sudah sore. Udara sudah mulai dingin, di tambah lagi di dalam hutan yang lembab.

Tanpa berkata apa-apa Yunus meletakkan daun besar yang berbentuk mangkuk di atas kerikil lalu berjalan memunguti ranting-ranting terdekat di sekitar aliran air terjun. Meski ranting yang terkumpul tidak banyak, Yunus menumpuk semuanya bersama daun-daun kering yang juga diambilnya, meletakkan di tanah kemudian mengambil dua buah batu kerikil. Tidak membutuhkan waktu lama, percikkan api pun muncul dari benturan antar dua batu dan segera membakar daun-daun kering yang di tumpuk di bagian terbawah kayu.

Setelah api cukup besar untuk memakan ranting kayu, Yunus memanggil Cil dengan lambaian tangan kirinya. "Kemarilah. Hangatkan tubuhmu sementara aku mencari ranting lagi."

Cil mendekati api unggun yang masih kecil karena baru mulai membakar ranting. Anak itu kagum dengan sahabatnya, ia bisa melakukan apa saja. Sepertinya ia sangat beruntung bisa melakukan apa saja yang diinginkannya. Cil bukan mengeluh karena hampir semua yang ingin dilakukan dilarang keluarganya, sehingga membuat Cil tidak bisa melakukan apa-apa sebelum berteman dengan Yunus yang mengajari berenang, memancing, menangkap kepiting, membuat perangkap burung, mencari jamur. Benar-benar tidak tahu apa-apa.

Meski Yunus mengatakan sebaliknya Cil yang beruntung karena mendapatkan pendidikan yang layak, bisa belajar membela diri menggunakan pedang, keris dan tombak dari guru yang sangat hebat seperti Madi dan Encik Muar.

Saat memperhatikan Yunus yang mencari ranting mendekati rerimbunan pakis hutan, tiba-tiba saja Cil kembali merasa ada yang akan keluar untuk menyergap. Entah apa, Cil tidak tahu dan anak itu juga tidak mengerti kenapa menjadi ketakutan begini. Pasti ini hanya rasa takut yang membuat membayangkan yang tidak-tidak, tapi entah kenapa pikiran, hati dan tubuh Cil bergerak tidak kompak. Di saat pikirannya mengatakan itu hanya ketakutan yang tidak masuk akal, namun hatinya yang merasakan sinyal itu dan mengirimnya ke otak, tapi tidak diterima, itu justru membuat hatinya memaksa tubuh untuk mengikutinya.

Ini benar-benar ketakutan tidak beralasan. Sebuah kayu sebesar dua jari orang dewasa dengan panjang hampir setengah meter di tangan Yunus yang sedang mengumpulkan ranting di ambil Cil dari tangannya.

"Sudah tidak kedinginan lagi?"

"Ya." Jawab Cil meski sebenarnya masih kedinginan. "Aku mau bantu."

Yunus tersenyum lebar. "Yakin kamu bisa?"

Mendengar perkataan Yunus membuat Cil sedikit memanyunkan bibirnya karena tidak setuju dengan pertanyaannya. Melihat reaksi Cil, Yunus memperlebar senyumnya menjadi tawa. Tentu saja Cil bisa kalau hanya mengumpulkan ranting.

"Jangan pasang wajah menyedihkan seperti itu. Aku tak akan mengejek lagi..."

"Yunus." Panggil Cil ketika Yunus melihat lebih banyak kayu di dekat rerimbunan pakis hutan dan pastinya akan memunguti kayu-kayu itu.

"Apa?" tanyanya tanpa menoleh atau pun berhenti dan membuat Cil terpaksa menarik tangan kirinya hingga membuat kayu yang telah dikumpulkannnya cukup banyak menjadi berjatuhan.

"Jangan ke sana..."

"Ke sana? Ke mana maksudmu?" Gerutunya sambil memunguti kayu yang berjatuhan di dekat kakinya, namun ia menghentikan kegiatannya ketika Cil menunjuk kedepannya. Tepatnya gerombolan pakis hutan. Yunus melihat ke arah yang di tunjuk Cil. "Di sana cuma ada pakis hutan dan semak. Jangan bilang kamu takut..."

Sebuah ranting kayu yang masih berserakkan di bawah kaki Yunus diambil Cil yang kemudian melemparkannya di dekat rerimbunan pakis. Begitu jatuh di tanah di rerimbunan pakis, tiba-tiba saja dedaunan kering di tanah dekat pakis bergolak dan muncul seekor ular kobra berwarna kekuningan sebesar lengan orang dewasa yang langsung menyerang karena terganggu dengan menyemburkan bisanya sekali dan akhirnya memburu Yunus yang terdekat.

Yunus yang terkejut melihat kemunculan ular berbisa dan besar itu tidak dapat mengendalikan dirinya untuk segera berlari. Yunus tersandung dan jatuh terduduk.

Dengan kayu sepanjang setengah meter yang dari tadi di pegang, Cil memberanikan diri bergerak cepat mengarahkannya pada ular kobra yang akan melompat ke arah Yunus.

BRUKK!!! Ular itu kembali mendarat di tanah. Sekitar dua meter dari tempat Cil. Sekali lagi! Ular menyerang dengan cepat dan secepat itu pula sabetan kayu menahan gerakan ular yang terpental hampir empat meter ke kanan. Tengah badannya tepat terpukul. Andai itu pedang sungguhan sudah terpotong dua dari awal ular itu.

Dengan tatapan kesal setelah terpukul hampir sekuat pukulan orang dewasa ular itu menatap Cil. Meski takut di tatap ular yang sedang kesal waktu tidurnya di ganggu, Cil tetap mengarahkan kayu yang masih digenggam ke arah ular itu. Bersiap kapan pun di serang. Membentangkan kaki selebar bahu, konsentrasi dan menggenggam kayu dengan ke dua tangan menghadap ke depan sebagai pengganti pedang adalah kuda-kuda dasar yang dipelajarinya.

Ular itu mengejar dan menyembur, tapi Cil sudah siap menghadapinya dengan berbekal pelajaran menggunakan pedang yang selama ini dipelajarinya dari Madi, kepala pengawal Encik Muar. Cil menangkis serangan saat ular menyembur dengan sabetan melintang dari arah kanan ke kiri tepat ditentang leher kiri ular yang kembali terhempas sejauh tiga meter.

Cil menggenggam kayu dengan ke dua tangan, mengarahkan lurus menghadap ular yang menatapnya dengan perasaan kesal setelah tiga kali kena pukulan kayu dari seorang bocah. Ular itu merasa kesal karena sedang asik-asik tidur malah di lempar oleh bocah. Ya bocah, ular itu sudah cukup tua untuk ukuran seekor ular, bahkan lebih tua dari bocah asing yang tiba-tiba muncul dihadapannya dengan sebatang kayu. Ular itu memalingkan kepalanya ke kiri karena kesal dan entah kenapa Cil seolah memahami perasaan ular itu.

"Heeeh?!" Cil terkejut sendiri melihat ekspresi ular itu.

Satu menit kemudian setelah saling menatap. Cil tidak ingin menyerang karena merekalah yang memasuki kawasan ular. Salah satu ajaran Encik Muar dan ibu yang dipatuhinya. Jangan mengganggu kalau tidak di ganggu. Jadi, jangan serang jika tak di serang.

Ular itu akhirnya pergi dengan melenggang. Meliuk-liuk santai seolah perasaan marah setelah tidurnya di ganggu sudah menghilang dan tidak terjadi apa-apa. "Aku memaafkanmu."

"Apa?! Maaf?" Cil bingung sendiri kenapa sepertinya ular itu bisa bicara.

Ular itu berhenti, memalingkan kepala menatap Cil. Sekali lagi seolah berbicara. "Apa? Kamu mau ribut?!"

"Yunus, Yunus! Kamu dengar itu?!" Cil masih dalam posisi siaga menoleh menatap Yunus yang terduduk dibelakangnya.

"De, dengar apa?" Yunus masih dikuasai ketakutan setelah hampir di serang ular.

"Ular itu... BICARA!!!" seru Cil.

"Heeeeh..." ular itu mengeluh melihat Cil antara memahaminya dan tidak, kemudian berlalu. Mengalah menghadapi bocah aneh yang siap tempur dihadapannya. Tubuhnya sudah tiga kali terpukul dan terlempar cukup jauh.

Sakit juga sebenarnya.

Yunus melongokkan tubuhnya dari lindungan tubuh Cil untuk melihat ular tadi yang sudah melenggok-lenggok meninggalkan mereka. "Sukurlah..." anak itu menghela nafas lega.

Setelah kepergian ular itu, Cil melorot jatuh terduduk di atas kerikil karena terkejut. Menghela nafas lega. "Apa itu tadi?!" Cil bergumam.

Yunus yang dari tadi terduduk di belakang Cil menghela nafas lega lalu berbaring diantara kerikil. "Benar-benar menakutkan... Aku ketakutan sekali sampai hampir terkencing di celana."

"Aku malah hampir lari ketakutan. Tapi mau lari ke mana? Ini di tengah hutan."

"Tapi bagaimana kamu bisa tahu ada ular di tempat tadi? Terus apa maksudnya tadi ularnya bicara?"

"Entahlah. Mungkin cuma hayalan. Hanya saja seperti ada yang membisikkannya untuk waspada pada pakis karena ada sesuatu di sana..."

"Membisikkannya?" Yunus mengangkat ke dua tangannya setinggi telinga lalu membuat gerakkan melingkari telinga dengan dua telunjuknya.

Cil menggeleng sekali. Masih belum memahami instingnya yang kuat dalam mengetahui adanya bahaya. "Sekarang bagaimana?"

"Kita harus menunggu di sini sampai dijemput. Seperti perintah tuan guru."

"Baiklah."

avataravatar
Next chapter