31 Matamu Melemahkanku

Yang kejam itu cinta

sering hinggap di tempat yang salah

mencintai yang tak pernah peduli

tapi abai pada yang tulus menyayangi

******

"Morning, pacar tersayangku." Pagi-pagi Al sudah absen lewat panggilan video.

"Kayak anak ABG jatuh cinta aja kamu ini." Embun tak bisa menutupi rasa gelinya. Sifat penggombal ternyata masih melekat di diri lelaki itu.

Al terlihat segar dengan kaos berwarna merah ceria bertuliskan 'Dream Theater", grup band idolanya.

"Emang cuman ABG aja yang boleh jatuh cinta? Nenek-nenek aja banyak yang nikah lagi sama brondong. Eh, Mbun. Hari ini, aku mau umumkan ke semua orang kalau kita udah jadian. Gimana? Boleh ya?" Semangat sekali Al mengatakan itu.

"Haduh, Al. Kita ini bukan artis, nggak perlu pakai pengumuman. Sekalian aja tuh, pakai toa masjid. Biar semua orang denger. Aneh-aneh aja. Nggak usah kayak gitu-gitu, ah. Orang nanya ya jawab. Gak nanya ya udah. Tidak penting juga untuk kita kasih tahu orang-orang. Yang pacaran itu kita, nggak ada sangkut paut dengan siapapun. Kalau keluarga, bolehlah," jawab Embun.

Tentu saja jengah jika harus membuat pengumuman seperti itu. Mereka, terutama Embun, bukan orang penting. Bahkan gadis itu juga tidak punya teman lain di tempat kerja. Lalu untuk apa?

"Biar nggak ada yang deketin kamu. Biar semua orang tahu kamu itu milik aku, just for me," balas Alaska seperti anak kecil yang baru dapat mainan kesayangan baru.

"Jus melon. Nggak penting itu, Al. Siapa juga deketin aku? Mana ada yang mau," elak Embun.

Ya seingat Embun, belum pernah ada pria yang mendekati apalagi menyatakan cinta pada dia. Kekhawatiran Al jelas tidak masuk akal.

"Kamu aja nggak nyadar. Banyak yang tebar pesona. Cuma semua mundur karena kamu kelewat cuek."

Sudah lama Al memperhatikan rekan kerja pria di tempat mereka yang berusaha mendekati dan menarik perhatian Embun. Namun seperti yang ia katakan tadi, gadis itu terlalu cuek dan tidak peduli sehingga membuat semua penggemar mundur teratur. Ditambah lagi, kehadiran Al yang selalu di samping Embun, membuat mereka tahu diri.

"Udah pada mundur, kan? Jadi nggak perlu lagi pengumuman," tegas Embun. "Lagian kamu nggak malu punya cewek seperti aku? Cuek, dingin, penyendiri, miskin."

"Aku menyukaimu bukan karena siapa kamu, tapi karena siapa aku ketika bersamamu." Alaska memandang gadis itu melalui layar teleponnya. Rambut yang sedikit acak-acakan, tapi justru membuat Embun terlihat makin menarik.

"Kamu merubahku, kamu membuatku lebih baik," lanjutnya.

Embun tersipu mendengar pujian tulus dari Alaska.

"Cie cie, yang tersipu. Hahaha. Awas, nanti jatuh cinta, cinta kepada diriku. Jangan-jangan kamu jodohku." Al menyanyikan sebuah lagu.

"Dasar kadal kupret. Sok romantis. Hahaha." Embun tergelak. Entah kenapa, keromantisan Al selalu membuat dia tertawa. Memang ada rasa bahagia, tapi juga bercampur geli.

Sangat berbeda dengan Pandu, lelaki itu mampu menghadirkan suasana romantis, tanpa perlu buaian kata-kata.

Ah, kenapa jadi ngebandingin gini sih, pikir Embun mengingatkan diri sendiri.

"Ngelamunin apa kamu? Terseponah ya dengan cintaku?" Kalimat Al mengembalikan kesadaran Embun.

"Biasa aja tuh." Embun menjulurkan lidahnya.

"Eh, Mbun. Dari kemarin aku jadi males makan kerupuk. Mau tahu kenapa?"

"Nggak. Nggak mau tahu tuh." Embun sengaja menggoda Al. Dia tahu pasti pria ini mau meluncurkan gombalan lagi.

"Yah, kok gitu sih. Tanya dong, emangnya kenapa? Gitu," perintah Al.

"Hahaha. Dih, maksa banget sih. Mau ngegombal kok maksa biar berhasil. Hahaha." Puas sekali Embun bisa menggoda Al.

"Gak asik. Gak seru. Huh!" Alaska cemberut.

"Ya udah. Kenapa Sayang kok nggak jadi males makan kerupuk?" Gadis itu sengaja berucap mesra.

"Hihihi. Ah, kamu. Jadi pengen lompat dari puncak monas karena dipanggil sayang." Al menendang-nendang di udara saking gembiranya.

"Hahaha. Lebay. Ya udah, aku udah nanya itu. Jawab dong."

"Kerupuk itu, sekedar pelengkap makanan. Sekarang kamu adalah pelengkap hidupku. Eaaaaa," teriak Al kegirangan.

"Ah, nggak nyambung. Lain kali cari yang lebih bagus ya. Anda gagal hari."

Al pura-pura cemberut. Dia hanya ingin membahagiakan Embun dengan celotehannya. Namun sepertinya tidak berhasil kali ini.

"Mbun, kalau kita nikah, berarti kamu manggil aku 'mas' ya? Atau 'abang'?"

"Eh, masih tua aku beberapa bulan. Kamu yang manggil aku 'mbak'. Enak aja," jawab Embun menggoda lagi. "Itu juga kalau kita nikah, pede amat sih. Siapa tahu bulan depan kamu ketemu cewek seksi, cantik, kaya, populer, yang lebih layak jadi istri kamu."

"Aku maunya kamu, Mbun. Bukan yang lain. Tadi pagi aku cerita ke Papa sama Mama. Mereka juga mendukung aku pilih kamu kok." Alaska menatap dengan penuh keyakinan.

"Mereka belum pernah tahu aku. Bagaimana bisa mendukung?"

"Sudah banyak kuceritakan. Dari awal kita kenal dulu."

"Ya, itu kan berdasarkan penilaianmu. Mereka harus bertemu dulu denganku. Itu baru adil dan fair, Al," jawab gadis itu kalem. Dia masih tidak percaya diri. Bagaimana kalau keluarga Al tidak menyukainya?

"Oh, jadi sudah pengen ketemu sama camer neh ceritanya. Hihihi. Gimana kalau pas kita masuk pagi, kamu kuajak ke rumah ya? Biar kenal sama Mama Papa."

"Iya, nanti kalau jadwal kita sama-sama pagi ya." Embun tersenyum

Bisa diatur, tinggal ubah jadwal, batin Alaska.

"Ya udah, aku mau bersih-bersih dan cuci baju juga," kata Embun.

"Aku juga mau fitnes dulu. Da ... kesayangan. Muach." Al melambaikan tangan lalu mengecup dari jauh.

Embun mematikan panggilan videonya. Jengah kalau Alaska mulai bersikap seperti itu.

Gadis itu segera meraih sapu dan mulai beres-beres rumah sambil mendengarkan lagu dari telepon genggam yang dikantonginya.

Matanya melemahkanku, saat pertama kali kulihatmu. Dan jujur, ku tak pernah merasa, ku tak pernah merasa begini.

Lirik lagu yang keluar dari headset di kedua telinganya mengingatkan ia pada sosok Pandu.

Mata itu, melemahkanku.

******

"Siang, Mas Pandu. Ada apa?" Embun yang sedang asyik berkutat dengan cucian, tergopoh mengangkat telepon dari Pandu. Dia biasanya cuek dan santai menghadapi siapapun, tapi kenapa dia jadi grogi pada pria ini?

"Saya sudah bicara dengan penyewa. Mereka setuju soal lima milyarnya. Villa juga bebas. Untuk itu saya pengen ketemu kamu supaya lebih jelas villa seperti apa yang Embun mau dan nyaman. Tentang dokter, juga tidak ada masalah kok. Jadi semua syarat mereka sanggupi. Bisa kita ketemu nanti malam?"

"Maaf, hari ini saya shift dua, Mas. Pulang jam sepuluh malam. Besok juga." Ada nada penyesalan dalam kalimat itu. Bukan soal bisnis mereka, tapi Embun melewatkan kesempatan untuk bertemu Pandu.

"Besok pagi gimana? Aku jemput kamu." Pandu tidak mau menyerah.

"Gimana kalau besok pagi sekalian ke dokternya? Tapi, aku hanya ingin bicara berdua dengan dokter. Mas anterin aku, sekalian kita bicara setelah itu." Embun menggigit bibir bawahnya, menahan debar jantung.

"Aku jemput jam tujuh, sekalian sarapan bareng ya. Dokter akan kubuatkan jadwal dulu. Nanti aku kabari lagi." Hampir saja telepon di tangannya ia lempar karena gembira. Bisa bertemu lagi dengan Embun, dan sarapan bersama.

"Ya udah. Sampai ketemu besok pagi." Untung saja Pandu tidak melihat semburat merah di pipi Embun.

"Oke, Mbun. See you." Pandu mengakhiri percakapan.

Kata 'Mas' sudah biasa ia dengar, tapi kenapa begitu mesra kalau Embun yang mengucapkan? Ada nada yang tak biasa, dan rasa yang luar biasa di dalamnya.

avataravatar