1 Jebakan

Di tengah dinginnya malam, darah Anna mendidih hebat dan uap-uap hitam bisa terlihat mengepul di atas kepalanya. Keringat dingin terus mengucur deras membuat baju Anna sedikit basah. Jari-jari Anna mengepal keras hingga memutih. Kukunya menancap tajam ke dalam telapak tangan. Tanpa sadar darah merah dengan cepat mulai mengalir keluar menetes ke lantai.

Amarah, kegugupan, kesedihan, dan.. ketidakberdayaan menggumpal menjadi satu.

"Apa maksud Bapak?!"

Bapak Wijaya menyeringai licik, memandang Anna yang seperti akan meledak kapan saja. Ia menjilat bibirnya dengan santai yang dianggap Anna sebagai bentuk provokasi.

Ingin sekali rasanya Anna mencakar wajah sialan itu!

Sayangnya Anna tidak punya pilihan lagi selain menahan diri dan menelan bulat-bulat semua kebencian ke dalam perutnya.

"Ckck. Keliatannya telingamu jadi tuli ya? Masa gitu aja nggak ngerti?"

Wajah Bapak Wijaya yang biasanya terlihat lemah lembut kini menunjukkan rasa simpati yang mendalam. Ia menggelengkan kepalanya dengan pasrah lalu menatap mata Anna lekat-lekat.

"Saya kan sudah bilang kalau kamu dipecat karna kesalahanmu sendiri. Kenapa nggak percaya sih?"

"Bagaimana saya bisa percaya?! Kesalahan macam apa yang saya lakukan?!"

Anna nyaris tertawa kencang-kencang saking marahnya ia terhadap ketidakadilan ini.

Anna adalah Eksekutif Manajer Keuangan yang mempunyai posisi tertinggi di kantor ini selain CEO yang berada langsung di atasnya. Setiap pekerjaan dilakukan tanpa cela. Dividen yang diterima pemegang saham selalu meningkat, pengeluaran perusahaan pun terkontrol dengan sangat baik. Karyawan-karyawan di kantor juga sangat menghormati Anna karena mengagumi kinerjanya. Mereka selalu memberikan salam yang terlalu sopan setiap bertemu.

Di mata mereka, Anna bagikan seorang putri kerajaan yang tidak memiliki satupun kekurangan. Paras wajahnya cantik dan menawan, tetapi tetap lugu seperti gadis polos yang tidak tahu apa-apa. Tinggi ubuhnya termasuk ke dalam kategori normal tetapi lekuk badannya jelas-jelas sangat bagus dan terbentuk dengan indah. Begitu berisi di tempat yang seharusnya. Rambut hitamnya terlihat berkilauan dikala tergerai panjang. Temperamennya arogan serta perfeksionis, tetapi tidak ada yang menyalahkan hal itu. Bagaimana tidak? Pintar dan cantik tapi tidak arogan, apa tidak takut diinjak orang-orang?

Anna yang seperti itu selalu memberikan yang terbaik untuk pekerjaannya. Apabila orang biasa hanya mengeluarkan 80-100% tenaganya dalam bekerja, maka tenaga yang Anna keluarkan bisa dikatakan 150-200%. Ketika para karyawan itu pulang, setiap hari Anna akan tinggal hingga larut malam untuk mengecek pekerjaan hariannya dan milik bahawannya, memastikan dengan sedetail mungkin apakah ada kesalahan atau tidak.

Setiap saat, akan ada banyak koleganya yang meminta saran ketika mengerjakan sesuatu. Setiap saat, akan ada dokumen-dokumen yang bukan bagian dari pekerjaannya tetapi harus ia kerjakan semata-mata karena gelar Anna yang dapat diandalkan. Setiap saat, ia tampil maksimal ketika meeting diadakan, menuai banyak tepuk tangan dan pengakuan dari pejabat-pejabat perusahaan lainnya.

Jadi, di mana letak kesalahan Anna?

Mulai dari mana ia salah dan seberapa besar hal tersebut sampai-sampai membuatnya dipecat?

Bapak Wijaya merogoh-rogoh laci mejanya untuk sesaat sebelum mengeluarkan setumpuk dokumen dengan stampel "Rahasia" ke atas mejanya.

"Kemari dan lihat sendiri."

Dengan ekspresi yang buruk Anna melangkah pelan. Ia meraih dokumen-dokumen tersebut dan membacanya perlahan.

Seiring dengan berjalannya waktu, ekspresi Anna semakin menjadi-jadi. Tangannya bergetar keras, berusaha menahan diri untuk tidak merobek dokumen itu.

"Ha." Anna mendengus tak habis pikir.

Di dalam setumpuk kertas itu terdapat bukti-bukti penggelapan uang perusahaan yang telah Anna lakukan. Uang yang dinyatakan "hilang" sudah mencapai miliaran rupiah. Perusahaan mengalami kerugian yang sangat besar. Tidak hanya itu, terdapat pula bukti bahwa Anna telah berkali-kali melawan atasannya dan menyinggung kolega lain. Hal ini membuktikan karakter Anna sebagai karyawan yang perlu di evaluasi kembali.

Dalam hati, Anna melontarkan ratusan hinaan kepada atasan dan kolega yang disebut di dokumen tersebut.

Anna melawan karena sikap mereka yang kurang ajar! Karyawan laki-laki bajingan yang ingin menyetubuhinya kerap kali datang dan menggangu Anna, terang saja ia membela diri.

Permasalahannya adalah hal ini dijadikan bukti karakter Anna yang harus di evaluasi?

Antara seluruh karyawan perusahaan ini buta, atau memang semua ini hanyalah senjata yang digunakan untuk menghabisi Anna?

Jawabannya sudah pasti yang terakhir.

Anna diam-diam berpikir. Tidak cukup untuk membuatnya dipecat hanya karena tuduhan karyawan terhadap dirinya, jadi mereka menuduh Anna menggelapkan uang.

Betul sekali.

Mereka.

Bukti-bukti yang terperinci dan meyakinkan ini tidak mungkin disiapkan oleh satu orang saja. Tanpa perlu berpikir, Anna sudah tahu bahwa tuduhan ini dihasilkan oleh komplotan yang membencinya alias lawannya di dalam politik kantor ini.

Tetapi siapa?

Melihat Anna yang terdiam, Bapak Wijaya mengira Anna ketakutan. Jadi dengan suara yang di buat-buat lembut, ia berkata, "Saya bisa bantu kamu, loh."

Anna terdiam tak bergerak. Bapak Wijaya tak mau repot-repot menunggu reaksi Anna dan melanjutkan kata-kata persuasi yang sudah ia siapkan.

"Kamu tau sendiri kan, penggelapan uang itu nggak gampang. Bukan cuma bakal dipecat kamu juga bakal dipenjara."

Setelah berkata demikian, Bapak Wijaya menghela napas berat. "Hahh.. anggap aja kejadian ini sebagai bahan pelajaran biar kamu nggak serakah untuk kedepannya. Sayang sekali kalo kamu harus masuk penjara."

"Kamu masih muda dan cantik, tidak mudah juga untuk sampai ke titik ini. Daripada dipecat dan kehilangan semuanya, bagaimana kalau saya bantu?"

Senyuman aneh muncul di wajah Bapak Wijaya. "Tentu saja kalau saya sendirian nggak mampu bantu kamu, jadi saya bakal usahain untuk tanya temen-temen lainnya biar bantu kamu ya?"

Sudut bibir Anna melengkung ke atas. Hati Anna terasa terbakar dengan amarah tapi tidak tampak sama sekali di wajahnya.

Haha, Lucu sekali.

Anna bertanya dengan suara kecil, "Bagaimana caranya supaya saya bisa balas kebaikan bapak?"

Wajah Bapak Wijaya langsung berseri-seri. Gadis ini sudah masuk ke perangkap!

"Ahh, itu mah gampang. Karena kamu masih gadis, saya dan yang lain nggak akan minta kamu ngelakuin hal-hal berat. Kamu cuma perlu nemenin kita aja setiap malam. Bergantian."

"Menemani?"

"Betul. Nggak susah kan?"

Seketika keheningan memenuhi ruangan. Bapak Wijaya masih beranggapan bahwa Anna sebentar lagi akan berada di dalam tangannya. Matanya melengkung senang dan mulutnya tak berhenti tersenyum.

Tetapi ia terlalu naif.

Anna mengangkat wajahnya lalu melemparkan setumpuk dokumen tersebut ke arah Bapak Wijaya. Matanya memerah dan dengan kejam Anna mengumpat, "Brengs*k!"

Setelah itu Anna segera beranjak pergi tanpa menghiraukan ekspresi Bapak Wijaya yang memerah lalu membiru, menahan amarah.

"Anna!! Dasar pelacur!! Gak tau kebaikan diri sendiri!!"

"Bangs*t!"

Bapak Wijaya terus menghujani Anna dengan berbagai kata hinaan yang tidak bisa lagi terdengar oleh Anna. Lobi di depan ruangan Bapak Wijaya dipenuhi suara hujatan dan perkataan kasarnya yang sayangnya tidak seorang pun akan berbaik hati untuk menenangkan Bapak Wijaya.

Anna bergegas memasuki lift dan menekan tombol untuk lantai tertinggi dimana CEO Cahya berada.

Dibanding menghabiskan waktu berdebat dengan orang yang tidak signifikan, akan lebih baik untuk langsung mendatangi atasan tertinggi dan menjelaskan kesalahpahaman ini.

Saat Anna tiba di depan ruangan CEO Cahya, ia menemukan Asisten Ren berdiri dengan tenang di depan pintu. Anna mendapat ilusi kalau Asisten Ren sedang menunggu kedatangannya, yang langsung dihapuskan begitu saja dari pikiran Anna. Tidak mungkin. Itu pasti cuma halusinasi.

"Halo, Asisten Ren."

Asisten Ren mengangguk lalu tersenyum. "Eksekutif Manajer Anna."

Sejenak Anna merasa ragu-ragu untuk mengajukan permohonan. Menyadari gerak-gerik tersebut, Asisten Ren segera mengatakan, "CEO Cahya sudah menunggu Eksekutif Manajer Anna."

Anna tersentak kaget. "Menunggu?"

Sekali lagi Asisten Ren mengangguk pelan. "Betul. Sepertinya ada yang ingin didiskusikan dengan Eksekutif Manajer Anna."

Asisten Ren berbalik dan membukakan pintu. Kemudian dengan gesturnya, ia mengatakan bahwa Anna dapat segera masuk. Walaupun Anna merasa tidak tenang, ia memilih untuk tetap melangkah ke depan.

Ruangan CEO Cahya sangatlah luas dan dipenuhi oleh jendela-jendela besar yang menghadap langsung ke arah gedung-gedung pencakar langit lainnya. Dekorasi ruangan tersebut didominasi oleh warna hitam elegan yang memberi kesan penuh kekuatan dan tekanan. Ketika Anna berdiri di dalam, ia seperti di kelilingi oleh banyak binatang buas yang menakutkan.

Anna mengedarkan pendangannya sampai akhirnya pandangannya bertubrukan dengan CEO Cahya.

Ruan Cahya, CEO perusahaan Newt milik keluarga Cahya ini memiliki tatapan yang dingin dan aura yang mengesankan, mengalahkan aura dan kehadiran orang-orang biasa di sekitarnya. Pembawaannya tenang dan stabil.

Ruan duduk dengan malas di atas kursi kebangsaannya. Layaknya seorang raja yang menunggu kudapan makanan untuk disajikan.

Di sudut bibirnya tergantung sebatang rokok yang menyala. Mulutnya sesekali mengatup dan terbuka demi menghembuskan asap rokok.

Ini kali pertama Anna memasuki ruangan CEO karena apapun laporannya pasti harus melalui Asisten Ren. Oleh sebab itu, tidak ada yang pernah melihat secara langsung seperti apa ruangan CEO dan tidak ada yang pernah berhadapan langsung dengan Ruan, termasuk Anna.

Anna merasa gugup. Detak jatungnya berdegup cepat saking takutnya ia. Namun, Anna dengan kecepatan kilat segera menstabilkan moodnya.

Ia membungkuk sedikit, "Mohon maaf menganggu waktu CEO Cahya."

Ruan bergumam pelan sebagai lampu hijau untuk Anna.

"Saya yakin CEO sudah mendengar berita tentang penggelapan uang yang telah saya perbuat."

"..."

Dengan tatapan yang penuh keyakinan, Anna menatap tajam mata almond Ruan.

"Saya tidak bersalah."

"Mm?"

Wajah Anna seketika menjadi bingung. Kenapa kesannya CEO Cahya seperti tidak peduli?

Merasa sedikit ragu, Anna menjawab, "Saya tidak seharusnya dipecat."

"Oh?" sedikit fluktuasi terdengar di nada suara Ruan.

Ruan perlahan menurunkan rokoknya dan menjatuhkan abunya di asbak. Setelah selesai, dengan acuh tak acuh Ruan kembali menaruh perhatiannya ke Anna. Ekspresinya tampak bosan.

Sesaat kemudian suara dingin Ruan terdengar, "Sudah terlambat."

"Terlambat...?"

"Hm. Bukti-buktinya sedang dalam proses."

Dahi Anna berkedut kencang. Ia merasa tekanan darahnya melambung tinggi. Kemarahan mengambil alih kesadaran Anna. "Bukankah seharusnya CEO Cahya menyelidikinya terlebih dahulu? Kenapa CEO langsung memprosesnya?"

"Eksekutif Manajer Anna seharusnya tau kenapa."

Anna mengartikannya sebagai, 'Banyak orang yang mendesak keputusan ini dibuat.'

Ruan melipat kedua kakinya dan bersandar ke belakang. Dengan relaks ia berkata, "Kapan Eksekutif Manajer akan membayarnya?"

"Tapi itu kan bukan kesalahan saya!"

Ruan mengangkat bahunya tak peduli, "Uang itu hilang dalam nama Eksekutif Manajer Anna."

"..."

"Saya rasa kekayaan Nona tidak akan cukup untuk membayarnya, belum lagi Nona sudah di pecat."

Seakan ingin menegaskan bahwa Anna telah dipecat, Ruan mengganti panggilan 'Eksekutif Manajer' menjadi 'Nona'.

"..."

Anna diam tak berkutik, menerima serangan demi serangan. Sedikit demi sedikit retakan di hati Anna mulai menyebar luas.

Anna sudah bekerja sangat amat keras sampai akhirnya ia bisa berada di posisinya yang sekarang. Tapi semua itu hancur dalam semalam karena ia lengah. Semuanya hancur berantakan.

Anna menarik napas dalam-dalam. Meskipun ia kalah saat ini, Anna akan membalasnya beratus-ratus kali lipat. Harga dirinya yang tinggi tidak memperbolehkan Anna untuk menangis dan menyerah.

"Bisakah CEO memberi saya beberapa waktu untuk mengumpulkan uangnya?"

Sekejap ada cahaya aneh di mata Ruan ketika mendengar permohonan Anna. Bibirnya yang sedari tadi datar, melengkung sedikit ke atas.

"Tidak."

"Proyek selanjutnya akan segera dimulai. Dana yang hilang adalah dana untuk memulai projek tersebut. Kalau Newt gagal dalam projek ini, apa Nona sanggup membayar ganti ruginya?"

Anna menggigit bibirnya kuat-kuat. Wajahnya memucat. Ia merasa tidak berdaya dan lemah. Uang tabungan Anna tidak akan cukup untuk membayar dana tersebut, tapi apabila ia tidak membayar, Anna akan dituntut untuk membayar uang tambahan ganti rugi proyek. Bahkan jika Anna menjual organ tubuhnya pun, hutang ini tidak akan hilang.

Ruan tidak berkedip sama sekali, ia menikmati kegelisahan dan penderitaan Anna. Dia dengan dingin tersenyum tipis, "Nona bisa menarik harta kekayaan keluarga Nona."

Secara refleks Anna berteriak, "Tidak!!"

Salah satu alis Ruan terangkat ke atas. Wajahnya penuh dengan kesenangan yang tertutupi. Ruan amat menantikan respon Anna.

Keluaga Anna tidak memiliki apa-apa kecuali rumah peninggalan orang tuanya yang meninggal saat Anna masih remaja. Satu-satunya keluarga yang tersisa hanyalah seorang adik laki-laki yang saat ini sedang berada di bangku SMA dan masih membutuhkan dukungannya.

Anna tidak sanggup mengecewakan adiknya dengan menjual rumah dengan kenangan orang tua mereka.

"A-Apa... Apa tidak ada cara lain?"

Ruan mengetuk jarinya pelan diatas meja.

Tap.

Tap.

Tap.

Bunyi itu terdengar kencang di ruangan yang sunyi. Anna memeriksa ekspresi Ruan secara tidak yakin.

Detik berikutnya Ruan menjawab, "Ada."

avataravatar
Next chapter