webnovel

1 - Anak Haram?

"Dasar anak haram! Belagu! Ayo, kita pergi!"

"Iya! Gak usah main sama Rayya!"

"Huh! Kasian gapunya temen! Hahaha!"

Begitulah beberapa ingatan yang teringat saat aku kecil. Entah, mungkin lima atau enam tahunan pada masa itu.

Aku yang saat itu masih kecil, tak sempat bertanya-tanya "apa itu anak haram?" tidak. Namun, keenggananku untuk tak bertanya pada orangtuaku, bukan berarti aku tak penasaran.

Aku mencari-cari apa itu haram. Lantas, aku yang masih baru bisa membaca—belum banyak kosa kata yang kuhapal betul, benar-benar polos untuk memahami apa itu anak haram? apa itu haram pada diriku? apakah aku serupa babi? Yang muncul di kepalaku hanya itu. Sebab aku pernah mendengar ustadz saat aku mengaji, beliau pernah bilang bahwa kita tidak boleh mamakan babi, karena haram dimakan.

Apa mungkin aku serupa babi bagi mereka, teman-temanku? Ah, teman-teman? Bahkan, aku bukan teman bagi mereka.

Lantas, aku meredam gelisahku dengan sengaja pergi ke warung Bu Narti. Tanganku asik memilih chiki—jajanan di warung Bu Narti ini memang banyak variasi. Saat memilihnya, aku tak sengaja melihat logo aneh bertuliskan huruf arab entah apa.

Logo itu sangat kecil, putih kehijauan. Aku belum bisa terlalu jelas melihatnya. Namun, mataku begitu tertarik padanya karena ada kata halal di sana. Setauku, lawan dari haram adalah halal.

Karena begitu penasaran, aku bertanya ke pedagangnya alias Bu Narti.

"Bu, ini gambar apa, ya?" Sambil aku menunjuk gambar yang kumaksud.

"Ouh, itu logo halal, Nak Rayya. Masih ingat kan kata Ustadz waktu itu? Pas ngaji di Mushola setelah subuh? Kita harus makan makanan yang halal. Nah, makanan ini tanda aman, alias boleh dimakan."

Bu Narti—memang salah satu teman akrab orangtuaku. Ia juga rajin mengaji seperti Ibu di rumah.

Hari itu, aku mengetahui bahwa makanan halal adalah yang memiliki logo bulat bertuliskan arab dan ada kata halalnya. Ya, hanya itu yang kuingat.

Bukannya rasa penasaran itu berhenti, tapi malah terus bertumbuh di kepalaku.

"Bu, Kalau ada logo makanan halal berarti ada logo makanan haram? Bukannya kata Ustadz lawannya halal adalah haram?"

Mendengar pertanyaanku, entah kenapa Bu Narti malah tersenyum.

"Pertanyaan yang bagus, tapi kalau pada makanan, hanya ada logo halal, Nak Rayya."

"Ouh begitu, yah. Itukan makanan ya Bu Narti. Lalu, kalau anak haram itu apa?"

Mendengar pertanyaanku lagi, Bu Narti terdiam seketika. Entah apa yang sedang dirasakannya. Ia menarik napas cukup panjang. Lalu, tak lama kemudian membuat garis senyum seperti sebelumnya.

"Nak Rayya mau jajan apa? Atau laper? Makan di rumah Bu Narti aja, ya?"

Yang kudengar, bukanlah jawaban. Malah sebuah penawaran lainnya. Hal itu membuatku sangat penasaran. Namun, reaksi dari Bu Narti saat itu, membuatku ingin mencari tahunya sendiri.

Dua kata itu lahir dan terus bertumbuh di kepalaku. Aku berjalan bukan dengan langkah semangat menjalani kehidupan. Bukan pula tumbuh dengan teman-teman dan keceriaan. Namun, aku tumbuh dan memulai hari dengan pencarian makna dua kata itu, "Apa itu anak haram?"

***

Setelah memilih chiki dari warung Bu Narti, aku memutuskan pulang ke rumah. Tak kusangka, di jalanan aku bertemu lagi dengan beberapa anak sebayaku.

Beberapa anak yang kemudian, menatapku dengan pandangan aneh. Satu di antaranya berpenampilan bagus. Celana jeans dan kaos yang terlihat sangat keren.

Aku tak tahu ia memakai merk apa. Pun, aku tak begitu memahami merek bajunya. Namun, sekedar melihatnya saja aku mungkin akan setuju bahwa ia adalah anak orang kaya. Anak orang mampu.

Itu semakin kusetujui, begitu melihat sepatunya yang baru. Tiga anak di sampingnya itu seperti pengawal baginya.

Begitu mereka menatapku. Pandangan mataku langsung ciut. Aku seperti mendapat beban yang sangat berat. Sudah tak bisa melawan, kini hanya mematunh di hadapan mereka.

Entah kenapa kakiku terasa ngilu. Bukan hanya ngilu, malah kini kakiku terasa sangat berat sekali. Seperti ada beban tersendiri yang menahanku untuk tidak pergi. Diam di siti saja.

Kulihat sandalku yang mulai rusak. Sandal jepit sederhana yang dijual di warung Bu Narti—sebuah sandal jepit yang semua orang bisa membelinya. Pasti, belum ada apa-apanya dengan sepatu yang dipakai anak yang kini berdiri di hadapanku itu.

Aku tak tahu mereka akan melakukan apalagi padaku. Mengatakan anak haram seperti biasanya? atau mereka akan mengejekku dengan sebutan lain? Kepalaku lantas memikirkan berbagai kosa kata yang kemungkinan akan terucap oleh mereka. Setidaknya anak di depanku itu.

"Hei, anak haram! Ngapain berdiri di sini?! Cepat pergi!!" pekiknya.

Aku masih tak berani menatap wajahnya. Namun, aku masih ingat bagaimana rupanya. Aku pun masih ingat ia anak siapa. Ya, aku masih sangat jelas mengingatnya.

Aku pun memiliki rahasia yang selama ini kusimpan. Namun, aku enggan menceritakannya pada Ibu di rumah. Kepalaku terasa bising sekali. Aku belum beranjak sedikitpun dari tempat mereka berdiri.

"Heh!! Gak denger?! Pergi!!"

"Udah anak gak guna, budeg lagi! Cepat pergi darisini???!!"

"Iya, dasar anak haram gak guna! Pergi sana!"

pekik dua temannya saling bersusulan meledekku dengan kata itu. "Anak haram."

Mendapati caci dan ejekan yang kian membuat telingaku terasa bising, kulangkahkan kaki secepat mungkin. Kutahan air mata sedih, yang kian menyesakkkan mata.

"Aku gaboleh nangis!" gumamku.

"Heh! Ngomong apa kau! Hahaha! Dasar anak haram! Pantas saja gapunya temen! Aneh gitu!"

"Sudah, sudah! Dia sudah pergi! Ayo, kita main!"

Aku menghentikan langkahku di sebuah gang sempit menuju rumah. Cahaya matahari kurang bisa masuk lewat gang ini. Dinding antar rumah terdekat pun masij terbuat dari kapur—bukan cat rumah seperti orang-orang modern hari ini.

Saat mulai mengelupas, anak-anak biasanya memungutnya sebagai mainan. Kadang dibuatnya menjadi sangat remuk—seperti sebuah adonan makanan. Lalu dibuatnya masak-masakan.

Sejenak, aku membayangkan hal itu. Aku sering melihat banyak anak perempuan asik dan begitu ceria bermain masak-masakkan dari bahan apa saja. Bahkan, daun yang terlihat tak berharga sekalipun, bisa menjadi berharganya saat digunakan sebagai pengganti uang—sarana bertransaksi.

Aku tersenyum memandang bulir dan beberapa gumpalan kapur yang terlepas dari dinding rumah itu. Kuambil yang cukup besar, kucoret pada tembok yang belum dicat alias setengah jadi. Tembok itu berwarna abu, entah kenapa aku ingin menuliskannya di sana.

"Anak Haram. Apa itu anak haram? Apakah aku seperti babi yang tak boleh dimakan seperti kata ustadz yang kudengar saat aku mengaji? atau aku seperti chiki yang tidak punya tanda halal, jadi tak boleh dimakan? Itu sebabnya aku dihindari? Itu sebabnya aku tak punya teman?"

Hari ini, aku pertama meluapkan kegelisahanku di tembok itu. Entah, siapa yang akan membacanya. Aku pun tak pernah punya harapan akan hal itu.