15 Part Ruby : Girl on Fire

Melihat Ruby yang terus memaksa, akhirnya Emmy mengalah. Ia mematikan motornya dan turun dari sana sambil membuka helmnya.

"Baiklah jika itu maumu. Berhati-hatilah di jalan."Walau sedikit ragu, tapi Emmy tetap mengijinkannya.

"Ya, aku tahu!"

"Pelan saja, jangan ngebut. Jangan sampai menabrak orang. Kita tidak punya banyak uang untuk mengganti kerugi---"

"Mama!!!"Ruby berteriak. Ia segera memotong ucapan Emmy.

Ruby tahu kata-kata seperti apa yang selanjutnya akan Emmy ucapkan . Ia tidak suka mendengar hal buruk seperti itu dari mulut ibunya.

Karena kata-kata adalah doa, ia tidak ingin ucapan Emmy benar-benar menjadi kenyataan dan terjadi kepada dirinya.

Lebih baik mendoakan hal baik saja, bukan? Mengapa harus mengatakan hal buruk?

"Sudah lah! Aku berangkat dulu. Sekarang sudah hampir terlambat."

Ruby sedikit kesal. Bisa-bisanya ibunya sendiri mengatakan hal seperti itu kepada anaknya. Jika itu benar terjadi, bagaimana?

Ruby segera naik ke atas motor. Ia menyalakan mesinnya, dengan pelan mulai menggerakkan gas di tangan kanannya.

"Aku berangkat dulu."

"Hati-hati, sayang!"Emmy melambaikan tangan ketika melihat Ruby sudah melajukan motornya.

Emmy masih berdiri sambil memegang helm di tangannya. Ia menatap kendaraan beroda dua yang kini mulai menghilang dari pandangannya.

Melihat putri kesayangannya sudah pergi, Emmy segera masuk ke dalam rumah.

Di dalam rumah kini terasa hening dan sepi, tidak ada lagi raut wajah ceria seperti yang ia tunjukan tadi kepada Ruby.

Rasa sakit di dalam hatinya perlahan kembali muncul. Perasaan hati diiris dan dicabik-cabik sungguh tidak bisa teralihkan.

Dengan pelan Emmy menjatuhkan dirinya ke sofa.

Ia tidak tahan membendung kesedihan ini lagi.

"Aaaaaaaa .... Ya Tuhan, mengapa Engkau tidak cabut saja nyawaku, sekarang? Jika aku mati, rasa sakit ini tidak akan terasa lagi. Jika aku mati, putriku tidak akan lagi terbebani."

"Dia sekarang sudah dewasa, sudah bisa membiayai hidupnya sendiri. Sekarang aku sudah siap untuk pergi meninggalkan dunia ini."Emmy terus menangis dan berteriak.

Dalam kesendiriannya, dunia terasa hancur. Kini tidak ada lagi cahaya di dalam hidupnya, tidak ada lagi warna di setiap hari-harinya. Ia sudah lelah, lelah harus berpura-pura tegar dihadapan Ruby, lelah harus menunggu suami yang entah kapan akan pulang dan kembali kepadanya. Ia sungguh sangat lelah dengan semua ini.

Lebih baik dirinya mati saja. Sudah tidak ada gunanya lagi dirinya hidup. Sekarang Ruby sudah besar, sudah bisa menghidupi dirinya sendiri, sudah tidak membutuhkan sosok ibu lagi. Bahkan tadi, diantar sampai halte bus pun dia tidak mau.

Apalagi sekarang di sisi Ruby sudah ada teman yang begitu baik dan sangat menyayanginya. Emmy tidak perlu merasa khawatir lagi.

Ya, Juan memang sangat menyayangi Ruby, Emmy bisa melihatnya. Walau Ruby selalu mengacuhkan Juan, tapi Juan tidak pernah menyerah, dia tetap setia berdiri di samping Ruby dan membantunya.

Jadi sekarang Emmy semakin yakin untuk meninggalkan Ruby selama-lamanya.

Jika dirinya mati, Ruby tidak akan terbebani lagi, dia tidak perlu lagi bekerja keras untuk mengumpulkan uang demi biaya hidup dan kebutuhan sehari-hari.

Dulu, ketika Emmy masih muda dan belum menikah, dia merupakan seorang artis yang sering muncul di tv. Tapi sekarang? Dia hanya seorang ibu yang tidak berguna, hanya bisa menyusahkan anaknya saja. Ia bukan lagi seorang artis yang dibanggakan oleh semua orang.

Sekarang hidupnya sungguh tidak berarti lagi, sangat hancur dan menyedihkan.

***

Malam minggu seperti ini kedai kopi tempat Ruby bekerja sangatlah ramai. Dengan bantuan tiga orang pekerja pun Ruby masih merasa keteteran. Biasanya ada Juan yang bertugas di bagian peracikan coffee. Tapi hari ini dia tidak bekerja sehingga karyawan lain yang harus menggantikan tugas Juan.

Dalam lelahnya, Ruby terus menyemangati dirinya sendiri, "Ayo Ruby .... Semangat! Demi uang kau harus tetap semangat!"

Ya, itu memang benar. Jika bukan demi uang, dirinya tidak akan mau bekerja sekeras ini. Jika bukan karena demi uang, dirinya tidak akan memohon kepada Juan untuk dapat bekerja di kedai ini.

Awalnya Ruby sama sekali tidak tertarik dengan tempat kerja Juan. Tapi bulan lalu ketika Juan mengajaknya pergi ke kedai Butterfly ini untuk menghabiskan waktu bersama, Ruby merasakan perasaan yang berbeda.

Apalagi pada saat Ruby melihat nama kedai ini, 'Butterfly', entah mengapa ia merasa sangat tertarik dan ingin sekali menjadi bagian dari kedai Butterfly ini.

Untunglah Juan mengabulkan permintaan Ruby agar bisa bekerja di kedai ini. Juan berhasil membujuk sang pemilik kedai untuk menerima Ruby bekerja. Walau tidak seperti Juan yang bekerja setiap hari di kedai ini, tapi Ruby sudah sangat puas.

Tapi hingga saat ini Ruby belum pernah sekalipun bertemu dengan pemilik kedai ini. Entah pemilik kedai ini menyukai dirinya atau tidak, ia tidak tahu. Tapi yang jelas, Ruby sangat senang.

Di kedai ini Ruby memang tidak bekerja setiap hari seperti Juan. Karena dari hari senin sampai jumat, Ruby bekerja di tempat lain sebagai pekerja paruh waktu. Walau sebenarnya sangat lelah, tapi ia harus tetap semangat.

"Ruby, antar ini ke meja no 13."Seseorang membuyarkan lamunannya.

Ruby segera mendekat. Ia tidak berani lagi melamun dan membuang-buang waktunya lagi.

Kedai sangatlah ramai. Jika dirinya terus berleha-leha, ia takut dirinya akan dilaporkan oleh rekan kerjanya yang lain kepada pemilik kedai, dan pada akhirnya dirinya akan dipecat. Ia tidak mau itu terjadi.

"Baik!"

Ruby mengambil nampan yang berisi makanan dan minuman itu,ia segera mengantarnya ke meja no 13.

Ketika Ruby sampai di meja no 13, ia meletakan makanan dan minuman yang ia bawa, ke atas meja.

"Silahkan!"Ruby membungkuk dan bersiap untuk kembali ke belakang.

Tapi, baru satu langkah ia berjalan, tiba-tiba seseorang meraih pergelangan tangannya dan bertanya dengan ragu,

"Ruby? Apa ini kau?"

Mendengar seseorang menyebutkan namanya, Ruby segera berbalik dan melihat.

Di depannya terlihat ada seseorang yang sangat tidak asing. Seorang wanita berambut pendek dan berponi, sedang berdiri sambil memegang tangannya dan menatapnya dengan dalam.

Tadi ketika dirinya meletakkan makanan yang ia bawa, ia tidak melihat siapa tamu yang ada di meja ini. Tidak tahu pula siapa yang sedari tadi terus memperhatikannya.

Ternyata, dia adalah ….

"Diandra?"

"Ruby, kau sungguh melupakan aku?"Wanita yang bernama Diandra ini menepuk bahu Ruby dengan keras. Merasa kesal dan marah karena sekarang Ruby tidak mengenalinya.

"Apa kau sungguh tidak ingat kepadaku? Ruby, kau sungguh keterlaluan!"Diandra semakin kesal tatkala Ruby hanya terdiam tanpa ekspresi, menatapnya.

Melihat teman lamanya ini marah, Ruby segera tertawa pelan, merasa bahwa teman lamanya ini masih sama seperti dulu.

"Mana mungkin aku melupakanmu, Diandra!"Ruby segera memeluknya dengan erat.

***

Tidak terasa, waktu sudah menunjukan pukul 19.00. Ruby hanya bekerja dari jam 09.00 sampai jam 19.00.

Sudah waktunya dia pulang. Sebenarnya tadi Juan memberitahunya kalau kedai akan buka selama 24 jam. Tapi Ruby diperbolehkan pulang lebih awal agar besoknya bisa menggantikan karyawan lainnya yang lembur malam ini.

Akhirnya Ruby keluar dari kedai dan bisa segera pulang ke rumah. Ia sangat capek dan badannya terasa pegal karena terus bergerak tanpa henti. Ingin rasanya ia merebahkan tubuhnya sekarang juga.

Tapi bagaimana bisa? Saat ini dirinya masih harus mengendarai sepeda motornya agar bisa sampai ke rumah.

avataravatar
Next chapter