2 『DESPAIRS』

" Pikiranku benar-benar menghancurkan diriku sendiri. Aku mencoba untuk tidak berpikir, tapi kesunyian ini perlahan-lahan juga membunuhku. "

Manakala aku terkenang kembali akan hari itu dibulan Agustus 2045 silam, aku masih bisa mengingat semuanya dengan amat jelas. Teriakan orang-orang, ledakan bom, raungan santer monster mengerikan yang menggema keseluruh kota Jakarta.

Hari-hari itu terus menjadi mimpi terburukku selama 8 tahun terakhir ini. Penuh akan keputusasaan, yang bisa kulakukan kala itu hanya diam mematung ketakutan melihat kedua orang tuaku terbunuh tepat didepan matakuku.

Penyesalan, benar! Ini penyesalan akan ketidakberdayaan diriku dulu. Bahkan saat ini pun masih begitu.

Bahkan aku juga tidak bisa melindunginya, kekasihku Lukia. Sesaat setelah aku dan dirinya melarikan diri dari para monster raksasa bersama kedua orang tuaku. Kami terpisah dikerumunan orang-orang yang panik. Genggaman tangan erat kami terpisah dengan mudahnya, saat aku mencoba mencarinya aku terinjak-injak oleh ombak manusia yang dipenuhi ketakutan.

Orang tuaku seketika menarikku pergi menjauh ke tempat yang aman. Itu terakhir kalinya aku melihat Lukia. Bahkan ketika aku dan orang tuaku melarikan diri bersama mereka mati demi menyelamatkan pelarianku.

" Hiduplah Arindra! Ibu mohon selamatlah! " Itu adalah ucapan terakhir dari ibuku.

Kedua orang tuaku mendorongku kearah sebuah mobil pick up yang terhenti sebentar, orang-orang dimobil itu menarikku dengan cepat. Aku diam mematung, mataku hanya terkaca-kaca melihat pengorbanan kedua orang tuaku demi diriku yang tidak berguna ini.

Setelahnya aku bertemu orang-orang baik yang mau memasukanku ke koloni mereka. Mereka memiliki cerita yang hampir sama denganku kehilangan orang-orang terkasih bagi mereka.

Trauma berkepanjangan terus menghantui hari-hariku, karena trauma ini aku tidak bisa menggerakan tubuhku saat monster-monster itu berada tepat didepanku. Oleh karena itu, koloniku memutuskan bahwa diriku tidak bisa untuk melakukan pekerjaan mencari suplai keluar bunker. Aku menjadi pengurus pangan serta merawat Gado dan Roro sepasang kerbau yang koloni ini pelihara.

***

Aku saat ini sedang berada diruang komunikasi, salah satu ruangan dibunker bawah tanah ini. Karena selalu berada disini aku mulai sering tidur disini, kadang-kadang aku berkomunikasi dengan koloni yang selamat dari bencana 'Ragnarok' 8 tahun silam dengan radio.

Ruangan ini cukup kecil tapi nyaman, dinding besinya dipenuhi dengan kabel dan pipa-pipa tua. Hanya ada sebuah layar pengawas disini dengan sebuah radio yang kadang-kadang soak. Aku selalu duduk dikursi yang kainnya penuh dengan tambalan dengan meja logam yang mengintarinya. Koloniku kadang-kadang datang kesini untuk mengawasi anggota lain yang hendak keluar mencari suplai.

Saat ini jam menunjukkan tepat jam 7 pagi, aku sudah membuka mataku daritadi tapi hanya diam dikursiku karena rasa malas yang menghinggapi tubuhku ini. Aku hanya memakai kacamataku yang tergeletak dimeja lalu diam kembali. Selama 8 tahun ini aku mendapatkan kemampuan baru yang menjengkelkan.

Kepada Lukiaku tersayang entah dimana.

Aku hanya menjadi lebih pandai dalam tidak bergerak dan bernafas saat ini.

Alasannya tepat disebelah ruangan ini, adalah kamar Victor dan Emi sepasang kekasih. Hampir setiap hari mereka bercumbu mesra dengan suara cukup nyaring bahkan sampai pagi menjelang, lebih buruknya dengan pintu kamar yang kadang terbuka. Menyebalkan bukan? Aku tidak ingin menggerakan kakiku keluar ruangan ini, jadi aku selalu keluar tepat setelah jam 8 pagi. Coba bayangkan aku memergoki mereka, pasti rasanya akan canggung bukan?

Aku tidak mau itu.

Aku membangunkan tubuhku yang digerayangi oleh rasa malas. Merenggangkan badanku yang lumayan terbentuk ini meraih tombol lampu yang berada tepat diujung mejaku. Cahaya lampunya mulai menerangi ruangan ini sepenuhnya, dapat terlihat dengan jelas rambut hitamku yang sedikit gondrong.

Aku lalu keluar menggeser pintu yang sudah agak bobrok ini. Dan tepat saat aku membuka pintu disampingku mereka masih melakukannya. Bubar woy!

Aku mengabaikan mereka dan berjalan lurus menyusuri lorong bunker ini, tepat dipertigaan sebelah kananku merupakan dapur. Benar, ini adalah wilayah tempatku berperang dengan bahan masakan aneh yang dibawa oleh George dan Satou-san setiap kali memperbaharui suplai. Jika bukan karena diriku mungkin mereka sudah mati keracunan oleh bahan makanan ini.

Tak memakan waktu sejam, aku sudah selesai dengan kegiatan memasakku. Aku menekan sebuah tombol mic yang menempel ditembok tepat dibelakangku.

*Beep

" Halo semuanya, ini Arindra! tolong segera berkumpul untuk sarapan dan hentikan aktifitas kalian dulu, kumohon! " pintaku sopan.

*Beep

Tak berselang beberapa menit, mereka bergerombol datang mendatangiku didapur. Aku sudah menyiapkan meja makan untuk semuanya. Dan seperti biasa posisiku berada ditengah karena ganjil sedangkan mereka duduk saling bersebelahan. Aku tidak mempersalahkannya sungguh, lagipula mereka sangat baik sekali kepadaku. Hanya saja ini menyebalkan dan kau tahu, kadang-kadang tingkah mesra mereka membuatku ingin meledakan gas dibunker ini.

Koloni ini dihuni oleh orang dari berbagai negara sebelum 'ragnarok'. Victor dan Emi dari Inggris, George dari australia, Satou-san dari jepang, yang sedang diduduk dikiri dan kananku ini adalah Maya dan Reffa dari Amerika lalu sisanya ada Amir dari Bahrain dan disebelahnya Chen dari China. Rata-rata usia mereka adalah 29-32 tahun, mereka adalah seniorku yang berharga dan kadang menyebalkan.

" Arindra, sepertinya kau bersemangat membuat hidangan kali ini! " kelakar George sambil membuka bir ditangannya.

" George ini masih pagi, letakkan birmu dan makanlah dengan tenang! " pinta Maya menahan tangan George.

" Ahahahaha, Tidak apa sayang ini hanya rutinitas pagi saja! " seru George tertawa lepas.

Beginilah keseharian kami. Makan, tidur, berburu dan mengobrol untuk membuang sepi. Tidak ada banyak hal yang bisa kami lakukan dibunker sempit ini.

Setelah sarapan, aku membereskan kekacauan yang disebabkan George karena mabuk. Saat aku sedang mencuci piring Satou-san menepuk pundakku dari belakang. Ini juga rutinitas harianku, Satou-san adalah seorang pemburu handal, dia orang yang tidak banyak bicara jadi saat Satou-san menepuk pundakku itu tanda latihanku dimulai.

" Baik aku segera ke dojo setelah mencuci piring " jawabku cepat.

Satou-san menepuk pundakku beberapa kali lagi tanda setuju lalu dia pergi. Aku sedikit menghela nafas pendek.

5 Bulan yang lalu, aku minta Satou-san untuk melatihku ilmu beladiri Ju-jitsu dan cara untuk berburu. Meskipun masih takut jika berhadapan langsung dengan monster-monster brengsek itu, aku tetap ingin tahu cara untuk melindungi diriku sendiri. Jika aku tidak berubah dan dibiarkan seperti ini terus, aku akan berakhir membunuh diriku sendiri dalam keputusasaan. Yang lainnya juga mendukung latihanku ini.

***

Didalam dojo, Satou-san sudah berdiri dengan kuda-kudanya menatap kearahku. Dia tidak mengatakan apapun dan hanya memberi tanda kepadaku untuk maju. Aku maju dengan gegabah melawannya dan seperti biasa tubuhku dibanting beberapa kali.

Aku tergeletak kesakitan dilantai dojo.

" Ugh... Terima kasih seperti biasanya Satou-san! " pekikku lirih.

Dalam keheningan seperti biasanya ini, tiba-tiba alarm peringatan berbunyi dengan nyaringnya. Ada monster yang membobol perimeter bunker kami. Satou-san langsung bergegas mengambil perlengkapan yang menggantung ditembok dojo, sebelum pergi dia berbalik dulu kearahku.

" Jangan kemana-mana dan pergi berlindung dengan yang lain! " titahnya tegas.

Satou-san orang yang biasanya jarang berbicara, kini dia berbicara dengan tegas kepadaku menandakan seberapa buruknya situasi saat ini. Dia langsung berlari keluar dengan pakaian Dogi yang masih menempel dibadannya.

Kelompok yang keluar untuk memeriksa serangan monster itu berpencar ke beberapa arah, diluar pintu ruangan ini merupakan labirin yang sengaja didesain untuk menahan gerakan monster yang datang.

Aku segera berlari keluar, kearah ruang komunikasi untuk melihat mereka yang sedang bertarung diluar. Aku melihat George sedang berhadapan langsung dengan seekor kecoak raksasa setinggi 4 meter dan sedang terdesak. Oh tidak, aku harus membantunya! Aku berlari dengan cepat mengambil sebuah crossbow yang menggantung dekat pintu. Maya mencoba menghentikanku tapi aku sudah berlari dengan cepat keluar.

Saat ini tepat didepanku monster itu sedang menindih George yang mencoba menahannya dengan pedang besar ditangannya. George menyadari kedatanganku dan menoleh dengan tatapan panik.

" Arindra?! pergi! cepat lari dari sini, bodoh! " teriaknya memaki.

Monster itu berbalik kearahku, mungkin karena diriku terlihat lebih lemah dan mudah untuk dimakan monster itu mengabaikan George dan berlari kearahku. Melihat monster itu secara langsung tubuhku kembali mematung, aku sekilas melihat ingatan-ingatan mengerikan dimasa lalu, semuanya terlintas dengan jelas dipikiranku.

George berteriak kearahku, aku tidak bisa mendengarnya sama sekali. Monster itu sudah tepat berada didepanku. Aku akan mati! tapi aneh, rasanya aku sudah pasrah menerimanya seolah-olah niatku keluar sejak dari awal hanya untuk mati.

Dalam sekejap saat monster itu hampir menerkamku Satou-san berlari dengan cepat menebas kepala monster itu hingga terputus. Aku menengok kearahnya masih bergidik dan mematung. Dia memelototiku dan melayangkan tinjunya tepat kearah wajahku, itu membuatku tersadar dalam sekejap.

" Dasar bodoh! " maki Satou-san.

Satou-san menarikku dengan paksa masuk kembali ke bunker. Mereka memasukkanku ke ruang komunikasi dan mengunci diriku disana. Aku sempat hilaf, sebenarnya apa yang aku pikirkan tadi. Aku mendengar suara mereka yang gaduh diluar sana, Maafkan aku.

Saat aku sedang duduk tertunduk dibawah meja aku mendengar respon radio yang renyuk-renyuk tepat diatasku.

*Bzzz *Bzzz *Bzzz

" Disini 2003! siapapun disana tolong jawabannya... " Itu suara seorang wanita.

Aku meraih radio itu dengan cepat dan menjawab.

" Disini 4500! dengan Arindra, siapa disana? " jawabku cepat.

" Arindra itu kau?! oh tuhan, syukurlah kau selamat! "

Aku mengingat suara ini dengan jelas, bahkan meskipun suara dari radionya renyuk-renyuk pun aku bisa tahu suara siapa ini.

" Lukia... oh tuhan! itu kau Lukia? dimana kau sekarang tolong jawab aku! " teriakku berkaca-kaca.

*Bzzz *Bzzz

" Aku ada di area 11! ini mungkin pesan terakhirku, koloni-- " jawab Lukia terpotong-potong.

*Bzzz

" --Kami diserang, disini menjadi sangat berbahaya! Ari ada hal yang ingin-- "

*Bzzz *Bzzz

" --Kusampaikan kepadamu, aku mencintaimu! aku bersyukur kau masih hidup. apa kau masih mengingatku disana? kumohon hiduplah dengan baik! "

*Bzzz

" Tunggu Lukia! aku akan kesana segera, kumohon bertahanlah dan tunggu aku! "

" Ap--?! jangan bodoh, jangan kesini! pergilah jangan-- "

*Bzzz *Bzzz *Bzzz

*Beep

Respon radio itu berakhir.

" Lukia? Lukia kau masih disana? Lukia! " Aku memukul radio soak itu beberapa kali.

" Sialan! " teriakku lantang.

Aku kembali terduduk dibawah mejaku dengan wajah tertunduk. Aku menggertakan gigiku dengan kencang. Aku berdiri dengan sigap lalu mengemasi barang-barangku dengan cepat, tak lupa radio butut itu juga aku kemasi. Perasaanku yang ingin mati sebelumnya berubah menjadi gejolak semangat, aku sangat bahagia Lukia masih hidup. Mulai muncul kilatan dimataku.

Dia membutuhkanku sekarang, aku tidak ingin menyesali ini untuk kedua kalinya. Aku akan berjuang dan berdiri kali ini bahkan meskipun harus mengorbankan nyawaku.

***

avataravatar