1 Malam Itu...

Olivia menggeram marah pada lelaki di depannya, ia sungguh merutuki kenapa dulu ia sempat jatuh cinta kepadanya. Nyatanya lelaki yang sempat dipacari selama 3 tahun tak lebih hanyalah seorang pecundang brengsek.

"Apa maumu?" Olivia berusaha tenang.

"Mauku?" Rio membeo disertai seringai di wajahnya "tentu saja menjadikan kau milikku lagi."

"Aku tidak pernah menjadi milikmu!" Setiap kata penuh penekanan, seolah ia tak gentar padahal kakinya sudah gemetar.

"Ha ha ha." tawanya menggema di lorong yang sepi ini terdengar mengerikan. "kau pasti tidak lupa kan, malam itu bagaimana hebatnya kau menggeliat di bawah kungkunganku. Ahh mengingatnya saja sudah membuatku tegang."

"Jangan macam-macam!" Olivia hilang kesabaan, ia berteriak marah. sekaligus berharap ada seseorang yang mendengar.

"Kalau begitu kembali padaku!" Rio merubah ekspresinya menjadi serius, kilatan matanya begitu mencekam. Olivia telah hilang pertahanannya manakala Rio bergerak menyudutkannya di dinding. Olivia ingin menangis, tapi suaranya tertelan tak mampu diucapkan. Linangan air mata seolah cukup mengatakan bahwa gadis itu sudah diambang batasnya. Kini bibirnya hanya beberapa senti saja dengan pria laknat itu.

"Hei! Kalau mau 'begituan' di kamar, mengganggu pejalan kaki saja."

Pria jangkung yang terhalang oleh sinar lampu jalan tiba-tiba hadir di antara mereka, merupakan sang penyelamat bagi Olivia. Pengganggu itu masih tenang dalam posisinya, tidak dengan Rio yang sudah berjalan mendekat kepada pria itu.

"Sebentar," ucapnya pada Rio yang terlihat ingin menghabisinya. Rio melongo dibuatnya.

"Hei, apa ma—"

Pria misterius itu meletakkan telunjuknya di bibir, seraya memandang Rio.

"Oh gue lagi di pertigaan. Gimana? lo mau ke sini?"

"..."

"Sama siapa? Gue, sama pasangan yang mau 'begituan' di sini."

Rio dibuat melotot yang dihiraukan oleh pria asing itu, akhirnya Rio terpaksa dibuat mengalah dengan mengucapkan sumpah serapahnya kepada pria pengganggu. Olivia tertegun menatap pria itu.

"Makasih, sudah menolong saya." Olivia memandang hormat kepada pria itu, meskipun responnya...

"Loh, bukannya mau 'begituan' ya sama Masnya tadi?" ucapnya terasa menyebalkan di telinga Olivia.

"Ya enggaklah!" Serta merta Olivia melotot. "ya sudah saya permisi, Mas. Sekali lagi terima kasih," ucapnya sambil beranjak. Namun, belum selangkah ia terjatuh. Olivia meringis.

"Eh kenapa kakinya?" Pria itu berjongkok di hadapannya. "permisi ya," izinnya untuk mengecek kaki sang gadis.

"Wah keseleo nih, Mbaknya," ucapnya sambil memandang Olivia. "rumahnya mana?" sambungnya.

"Perumahan Batu Emas."

"Wah searah sama saya, yaudah saya gendong aja," putusnya.

Olivia membelalak "Nggak mau." ia menggeleng.

"Yaudah coba, mbak jalan."

Olivia memandang sangsi kakinya, ia mencoba berdiri dan terpaku begitu lama. Ia tak mampu menggerakkan kakinya barang sesenti pun.

"Sekarang udah malam, Mbak, saya kasih kartu nama sekalian foto copy KTP deh. Mbak, yang pegang nih." Pria itu ingin lekas pulang dan memberikan jaminan kepada gadis itu mungkin bisa mengabulkannya. Olivia memandang kertas tipis itu. Pertama kali ia pandang adalah foto sang pria. Dengan jelas ia bisa melihat bagaimana rupa sosok pria yang menolongnya dan mengingatnamanya baik-baik. Lalu beralih pada pekerjaannya. Ia beralih memandang gaya berpakaian pria di depannya. Cukup stylist untuk ukuran pria dewasa dan mampu menyamarkan umur sebenarnya.

"Gimana, Mbak?" tanya sang pria untuk memastikan.

"Yasudah, Mas." Pria itu sudah dalam posisinya bersiap menggendong kemudian ia merasakan tangan gadis itu menyentuh pundaknya.

"Permisi, Mas." Olivia memberikan tumpuan sepenuhnya di punggung pria itu, yang dibalas gumaman.

Tepat mereka akan mendekati halte, hujan tiba-tiba turun dengan angin yang cukup kencang terpaksa mereka berteduh. Ada beberapa pejalan lain yang ikut berteduh dan kian lama halte yang mereka tempati cukup ramai. Olivia dan pria asing berada di barisan belakang dengan posisi Olivia memunggunginya. Karena semakin terdesak akhirnya Olivia tak sengaja terdorong ke belakang menyebabkan punggungnya menempel pada dada pria itu. Untung saja sang pria langsung sigap menahan bahu Olivia.

"Maaf ya, Mas Raynar," ucapnya dengan canggung manakala matanya menatap dagu Raynar dengan jarak cukup dekat. Dengan jarak beberapa senti dengan Raynar, ia bisa melihat tatapan lembut yang dipancarkan oleh netra coklatnya. Tidak seperti saat Olivia bersama pria lucknut yang menunjukkan ekpresi tengil menyebalkan.

"Nggak papa," ujarnya sambil menatap tepat di kedua mata belo Olivia, dan jangan lupakan senyumnya yang sungguh menawan itu. Olivia butuh beberapa detik untuk tersadar dari permainan pikirannya sendiri.

Olivia memegang dadanya saat tahu jantungnya berdetak dengan cepat, mengetahui itu Raynar mendekatkan wajah supaya mengetahui keadaan gadis itu, apakah ia baik-baik saja.

"Kenapa? Ada yang sakit?"

Gila gila deket banget, bisa gila gue!

Kali ini gadis yang tengah salah tingkah itu sudah mampu mengendalikan ekspresinya, jadi ia hanya berkata 'Nggak papa, Mas,' dengan sok kerennya.

"Oh ya, kakinya gimana? Nggak papa berdiri lama?"

"Aslinya udah nahan sih, Mas dari tadi tapi ya mau gimana lagi." Olivia tersenyum seolah mengatakan tidak masalah.

Raynar melihat sekelilingnya sudah tidak sepadat tadi, hujan pun sudah kian mereda. Ia menimang-nimang apakah idenya nanti disetujui oleh sang gadis.

"Mau pergi sekarang nggak, Mbak?" tatapnya kepada Olivia, "mumpung hujannya agak reda tapi nanti Mbak mungkin agak basah daripada kakinya Mbak nahan sakit. Tapi terserah Mbak kok saya nggak maksa," sambungnya.

"Boleh, Mas."

"Oke." Raynar mencari tempat lapang supaya bisa berjongkok, Olivia naik dengan perlahan namun tidak secanggung tadi. Tanpa tedeng alih seluruh orang yang tersisa melihat adegan itu dengan perasaan iri, celetukan jahil mulai terdengar bersahut-sahutan.

"Cie mesra amat yang gendong-gendongan."

"Saya juga mau dong, Mas digendong."

"Gentle banget ya, Masnya, kelihatannya juga cakep tuh. Duh gue kapan bisa kayak gitu."

Mendengar berbagai reaksi itu Olivia membenamkan wajahnya di pundak Raynar, tanpa menoleh sedikit pun, sedangkan Raynar hanya tersenyum menunjukkan keramahan.

Olivia teringat sesuatu, lelaki itu belum tahu namanya. Tapi, masa tanpa ditanya ia menyebutkan namanya sih? Kan gengsi.

"Belok kanan atau kiri, Mbak?"

"Kanan." Ia tak bisa menahannya lebih lama lagi, "Mas Raynar, nama saya itu Olivia jangan pangil mbak-mbak terus."

"Ohh, iya saya belum nanyain namanya ya tadi ha ha ha," Raynar tertawa renyah, "maaf deh, Olivia."

Mendengar itu mau tidak mau Olivia juga tertawa, "Iya deh dimaafkan."

"Oke, udah sampai," Olivia menunjuk rumah bercat biru muda itu. "masih jam 10 Mas Ray mau mampir? Olivia bikinin teh buat menghangatkan badan."

"Di rumah ada siapa," Re bertanya sambil kepalanya sedikit mencuri pandang ke dalam.

"Olivia tinggal sendiri."

"Nggak usah deh, lain kali aja." entah kenapa tangannya terulur begitu saja untuk mengusap kepala gadis itu. Ia juga tidak menyadari tindakannya memberikan efek tersendiri bagi Olivia. "Saya pamit." Re berbalik.

"Mas Raynar!" Olivia berseru. Dibalas tatapan tanpa kata oleh Raynar.

'Kapan-kapan ada waktu senggang nggak? Olivia mau ajak makan sebagai ucapan terima kasih.' Hanya mampu terucap dalam hati, dan yang terucap malah, "Hati-hati."

Raynar hanya tersenyum sebagai balasan.

avataravatar