1 PROLOG

Dua puluh menit sudah ia duduk di sudut kafe dengan segelas coklat panas di atas meja. Tidak henti-hentinya menatap ke jalanan yang sedang dibasahi oleh hujan yang tak juga berhenti. Dan untuk ke sekian kalinya, ia kembali melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah pukul lima sore.

Berulang kali embusan nafas keluar dari bibirnya, dan tetap saja orang yang ditunggunya tidak kunjung hadir bahkan tidak juga memberikan kabar. Sudah banyak dari pengunjung yang berlalu lalang keluar masuk dari kafe, dan tatapan pelayan yang ditujukan olehnya membuatnya semakin kesal.

Ia menyerah. Menegakkan punggungnya, dan mengenakan tas selempangnya. Baru saja ingin melangkahkan kaki keluar, laki-laki perawakan jangkung masuk ke kafe bersamaan dengan bunyi lonceng penanda penghujung yang datang.

"Maaf, aku telat," ucapnya menarik bangku dan duduk. Tidak memperdulikan perempuan di hadapannya yang sudah menahan kekesalan karena menunggu.

"Aku tahu, kau memang selalu sibuk," jawabnya dan kembali ke tempat duduk, memanggil waiters untuk memesan cokelat panas. Lagi.

"Sudah, aku saat ini tidak ingin ribut denganmu." Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa dan mengangkat sebelah kaki bertumpu pada satu kakinya yang lain, "jadi, ada urusan apa kamu ingin bertemu denganku?" sambungnya bertanya.

Pita tertawa sinis, mendekatkan tubuh pada sisi meja kemudian melipat kedua tangan di atas meja. "Aku baru tahu kalau bertemu denganmu harus butuh alasan," celetuknya kembali melemparkan senyum sinis.

"Ck. Kamu tahu sendiri kalau aku---"

"Sibuk? Aku tahu, apalagi dengan jabatan kamu yang sudah jadi manager. Pasti bertambah sibuk."

"Dari mana kamu tahu tentang itu?" tanya lelaki itu menaikkan nada suara. Tidak memperdulikan pengunjung dan pelayan yang merasa terganggu.

"Tentu saja dari orang lain."

Suara dari gawai Pita berbunyi, bersamaan dengan pesan masuk dari salah satu sahabatnya. Pita tersenyum, su-ah pasti temannya kembali menginfokan sesuatu yang membuatnya semakin muak dengan orang di depannya saat ini.

"Aku masih ada urusan. Kita bicarakan lain kali saja," pamit Pita, mengeluarkan uang berwarna merah dan meletak-kan di atas meja. Melangkah meninggalkan laki-laki itu yang geram karena perlakuan Pita yang tak menghargai.

Di balik rasa kesal diterima oleh orang tersebut, Pita merasakan kepuasan atas balas dendam yang sudah membuatnya menunggu dalam waktu yang lama. Orang tersebut tidak pernah berhenti membuat kesal, bahkan ia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika kulitnya akan bertambah keriput hanya karena terus menerus meladeni orang tersebut.

Perubahan yang diterima benar-benar tidak sesuai dugaan, orang yang selalu mendambakan kini tinggal sebatas kata yang sudah selayaknya untuk dibuang. Tinggal tunggu waktunya saja, maka Pita akan menyelesaikan urusannya.

*****

avataravatar