1 PROLOG

Seorang gadis berparas cantik sedang menatap pantulan dirinya di cermin yang ada di kamar mandi. Senyumnya perlahan terukir dengan jantung yang berdebar kencang. Tangannya terangkat untuk memegang dada kiri.

"Gue ... jadi deg-degan." Perutnya seperti tergelitik membuat senyum yang terukir tak pudar sedikit pun.

"Ah, gue jadi gak sabar."

Tangan gadis itu meraih sebuah jaket berbulu yang berwarna hitam lalu memakainya. Tas hitam sudah bertengger manis di bahu kanannya. Kaki jenjangnya melangkah keluar dari kamar mandi menghampiri seorang pria paruh baya yang duduk di sofa. Suara langkah kaki yang dia timbulkan membuat pria itu menoleh ke arah datangnya suara.

"Kamu yakin dengan keputusanmu?" Pria itu menatap ragu putri semata wayang yang untuk pertama kalinya akan keluar dari sangkar emas yang menghalanginya untuk bergerak dengan bebas.

"Aku yakin, Pa!" Gadis itu menjawab dengan tegas. Tangannya terkepal erat, sebenarnya dia sedikit gugup karena untuk pertama kali dia akan melihat dunia seutuhnya.

"Tapi, Papa enggak yakin." Senyum gadis itu perlahan memudar, matanya menatap kecewa pada pria yang sudah berdiri di depannya.

"Kenapa begitu?" Gadis itu menghela nafas berat, wajahnya berubah murung. Setelah persiapan yang dia lakukan beberapa hari yang lalu untuk menyambut hari yang dia tunggu-tunggu, sekarang kenapa ayahnya malah berubah pikiran?

"Papa selalu mempercayai kamu. Jadi, jangan pernah merusak kepercayaan dari Papa." Pria itu tersenyum hangat, tangan kekar yang dipenuhi bekas luka mengelus rambut putrinya. Sebenarnya dia tak rela jikalau putrinya pergi dari pengawasannya, dia ingin putrinya tak perlu melihat dunia seutuhnya. Tapi, sifat keras kepala yang menurun darinya, membuat keinginannya tak bisa dibantah.

"Iya, Pa, aku janji untuk itu. Aku berangkat ya, Pa, di luar sudah ada sopir pribadi yang menunggu. Kalau terlalu lama nanti dia akan mengamuk, hehe." Gadis itu menyalami tangan ayahnya dan melenggang pergi keluar rumah. Dia menghampiri mobil berwarna putih yang sudah menunggunya sedari tadi.

"Lama banget sih!"

Ucapan bernada kesal yang menyambut gadis itu ketika sudah duduk di kursi depan di samping kursi pengemudi. Tatapan kesal dari pria itu dibalas dengan tatapan sinisnya. Dagunya terangkat dengan gaya yang begitu angkuh membuat pria itu berdecak kesal.

"Kacung enggak usah banyak bacot!"

"Heh! Gue bukan kacung lo, ya! Enak aja ganteng-ganteng gini dibilang kacung!"

Gadis itu menatap rendah pria itu, lalu mengendikan bahunya acuh tak acuh. "Ngomong apa lo, jelek! Udah buruan jalan! Awas aja kalau sampai telat! Gue kubur lo hidup-hidup!" Mata gadis itu melotot sangar membuat pria itu bergidik ngeri. Dengan kesal, dia menjalankan mobil dengan kecepatan pelan.

"Biar aja lo terlambat! Gue enggak peduli!"

"Dasar kacung sialan, lo!" Gadis itu menatap kesal pria yang menjalankan mobil dengan sesuka hati, berusaha membuatnya terlambat.

"Bodo amat! Gue enggak denger!" Pria itu dengan santai menjalankan mobil sedangkan gadis yang duduk di sampingnya melontarkan sumpah serapah karena terlanjur kesal. Perjalanan mereka diselimuti oleh keheningan sebelum akhirnya gadis itu bersuara heboh setelah melirik arlojinya.

"Dito, udah jam 7! Gue bisa terlambat sialan!" Tangan gadis itu memukul bahu pria bernama Dito dengan keras. "Percepat mobilnya atau gue tendang lo sekarang juga!"

Ancaman gadis itu tak pernah main-main, membuat Dito mempercepat laju mobilnya karena dia tak ingin ditendang keluar dan berakhir mengenaskan di jalanan. Mereka akhirnya sampai di depan gerbang sekolah dengan gapura bertuliskan SMA Merpati. Jam menunjukkan pukul 07.15, tapi anehnya gerbang sekolah masih terbuka lebar walaupun sudah sepi.

"Tuh, kan! Gue terlambat gara-gara lo!" Gadis itu menunjuk Dito dengan raut wajah kesal. Dia keluar dari mobil dengan tas yang bertengger di bahu kanannya, jaket yang sempat dia gunakan tadi sengaja dia biarkan di mobil. Pintu mobil dia banting dengan keras membuat Dito memekik.

"Woy! Pelan-pelan dong! Mobilnya baru gue beli, nanti bisa rusak!"

Gadis itu melangkahkan kakinya tanpa peduli teriakan kesal dari Dito. Matanya menangkap dua pria yang berpakaian seragam sepertinya sedang berdiri di samping gerbang seperti menunggu kedatangan seseorang.

"Kalian kok ada di sini sih!"

"Maaf Nona, kami mendapat perintah dari Tuan Aditya untuk mengawasi Nona di sekolah." Salah satu di antara mereka yang bernama Nick menjawab dengan formal.

Gadis itu menatap kesal kedua pria tersebut. "Jangan bilang kalau kalian juga sekolah di sini!"

Nick dan Edward, pria yang satunya saling melempar pandangan lalu menunduk tak berani menatap Nona mereka. "I-iya, Nona, kami sekolah di sini."

"Argh, menyebalkan!!"

avataravatar
Next chapter