11 Teman Baru

Setelah beberapa minggu masuk sekolah, Emma mulai mengenal sekelilingnya. Karena ia adalah seorang gadis yang tertutup dan selalu berusaha untuk tidak menonjol, ia tidak pernah ikut ke kantin untuk makan siang di waktu istirahat.

Emma selalu membawa bekal dari rumah dan memakannya di kelas sambil meneliti bahan pelajaran berikutnya dan mempersiapkan bahan-bahan les untuk kelima muridnya.

Ia tidak ingin menerima belas kasihan orang dengan mendapatkan uang dari Haoran dan teman-temannya tanpa bekerja dengan baik. Karenanya ia berusaha sebaik-baiknya.

Mary dan Nadya adalah dua teman sekelasnya yang paling dekat karena mereka duduk di sebelahnya. Mereka sudah memperhatikan bahwa Emma tidak pernah keluar kelas di saat istirahat dan penasaran mengapa gadis itu tidak tertarik untuk bersosialisasi.

Nadya malah menduga Emma tidak mempunyai uang bekal untuk makan di kantin, karenanya ia mencoba mendekati gadis itu dan mengajaknya keluar dengan hati-hati.

"Hai Emma, kau mau makan siang ke kantin?" tanya Nadya dengan hati-hati. "Hari ini ulang tahunku, dan aku ingin mentraktirmu."

Ia dan Mary saling bertukar pandang, berusaha menilai ekspresi Emma, apakah gadis itu tersinggung atau tidak.

Emma tertegun mendengar ajakan Nadya. Ia memandang kotak bekalnya dan kemudian menatap Nadya. Ia melihat pandangan gadis itu tampak tulus, dan hatinya menjadi luluh. Pelan-pelan Emma pun mengangguk.

"Terima kasih. Aku akan senang sekali."

"Wahh.. baguslah kalau begitu. Ayo, sekalian kutunjukkan ada apa saja di sekeliling sekolah kita." Nadya menjadi bersemangat dan menarik tangan Emma keluar kelas. Mary segera mengikuti mereka dari belakang.

Selama beberapa minggu terakhir ini, interaksi Emma dan teman-teman sekelasnya hanya terbatas pada sapaan selamat pagi dan selamat siang, serta sedikit pembicaraan dalam tugas kelompok, tetapi lebih dari itu tidak ada.

Emma tidak terbiasa punya teman karena selama ini ia dijauhi oleh anak-anak di panti asuhan atas perintah Mabel, sehingga ia tidak tahu caranya mendekati teman baru. Ia sudah merasa aman sendirian dan mengurusi dirinya sendiri.

Namun, mendapat dua orang teman sekelas yang bersikap ramah kepadanya, kebekuan Emma perlahan-lahan mencair. Ia hanya memperhatikan celoteh Nadya dan sesekali tersenyum menanggapinya.

Ketika mereka tiba di sebuah kafetaria besar yang terdiri atas beberapa konter makanan dan puluhan kursi dan meja makan siang, Emma seketika kembali merasakan bahwa dirinya menarik perhatian orang-orang yang sedang makan dan mengantri makanan. Ia tidak suka perasaan ini.

Selama ini Emma selalu berusaha tiba di sekolah lebih awal dan pulang sekolah terburu-buru tanpa menarik perhatian, sehingga tidak banyak siswa yang melihatnya.

Ia tidak suka menjadi pusat perhatian, dan itulah salah satu alasannya menghindari tempat ramai seperti lapangan dan kantin. Tetapi karena hari ini Nadya berbaik hati mengajaknya, ia merasa tidak enak untuk menolak.

"Di sini kantin sekolah kita. Kau bisa memesan apa saja, aku yang traktir," cetus Nadya dengan gembira. Emma mengangguk. Ia berusaha tidak mempedulikan pandangan orang-orang yang menatapnya dari berbagai arah.

"Aku akan memesan apa yang kau pesan," katanya sambil tersenyum. "Kau pasti lebih tahu apa makanan yang enak."

"Baiklah kalau begitu..." Nadya memesankan steak ayam yang enak untuk dirinya dan Emma, sementara Mary memesan nasi ayam. Mereka membawa kartu pesanan mereka dan mencari meja kosong untuk duduk sambil menunggu pesanan mereka diantar.

"Kau sangat menarik perhatian, ya?" komentar Mary yang sudah menyadari betapa banyak pasang mata yang menoleh ke arah mereka. "Kau memang cantik sih. Kalau boleh tahu kau berasal dari mana?"

Emma hanya mengangkat bahu. "Prancis."

"Oh... kau sering ke Paris, dong? Pantas saja kau mau ikut karyawisata ke Paris," komentar Nadya. Ia menyikut Mary yang ada di sebelahnya. "Kau sih memilih ikut karyawisata ke China, aku jadi tidak ada teman. Untung Emma juga ikut ke Paris. Nanti aku akan mengajak Emma berbelanja."

"Kau tahu aku hanya memilih karyawisata ke China karena Haoran akan ikut," jawab Mary sambil mengerucutkan bibirnya. "Yolisa di kelas F yang melihat pendaftarannya waktu itu."

Emma mengerling ke arah Mary saat mendengar gadis itu menyebut-nyebut nama Haoran.

Apakah Mary menyukai Haoran?

Nadya memandang Emma dan menghela napas. "Temanku ini benar-benar payah. Dia sudah menyukai Haoran Lee dari kelas 2F sejak masih kelas 1. Hanya gara-gara Haoran menolongnya waktu itu. Apa sih yang bisa diandalkan dari anak seperti itu? Tahun lalu dia kelas 2F, tahun ini juga masih di kelas yang sama."

Ia melanjutkan, "Dia tidak naik kelas dua kali. Orang-orang bilang ia sengaja mengosongkan semua lembar ujiannya. Untuk apa coba? Coba kau cari laki-laki lain untuk ditaksir. Cari yang kaya dan pintar, jangan hanya tampan. Ketampanan tidak bisa dimakan dan tidak bisa membayar biaya listrik."

Emma hanya bisa menahan batuknya saat mendengar kata-kata Nadya. Kaya dan pintar? Ia belum bertemu pemuda yang lebih kaya dan pintar dari Haoran di sekolah ini. Berdasarkan dari kegiatan mereka belajar bersama selama beberapa minggu ini, Emma bisa melihat sebenarnya Haoran lebih pintar dari Cedric, juara kelas bertahan di 2A.

Seandainya kau tahu, Nadya, pikirnya sambil tersenyum tipis.

"Memangnya yang kaya itu seperti siapa?" tanya Emma kemudian. Ia menjadi penasaran karena Nadya menyebut Haoran tidak kaya. Kalau Haoran yang rumahnya sebesar istana itu dianggap tidak kaya, maka siapa yang dimaksud Nadya sebagai orang kaya?

Emma sudah mendengar dari Alex (dalam salah satu sesi gosip mereka saat Alex mengantarnya pulang setelah les) bahwa ayah Haoran adalah pemilik Lee Industries Group yang merupakan orang terkaya kelima di Asia. Tentunya hanya sedikit orang yang lebih kaya dari keluarga Lee, kan?

Nadya tersenyum lebar. Matanya tampak berbinar-binar saat ia menyebutkan suatu nama.

"Seperti Allan Wu. Ayahnya adalah salah satu direktur di grup perusahaan terbesar di Singapura. Mungkin kau pernah mendengar Lee Industries? Itu tempat ayahnya bekerja dan keluarganya juga memiliki saham di situ. Ahh.. Allan juga sangat tampan."

Emma berkedip-kedip menatap Nadya dengan pandangan tidak percaya.

Apakah mereka tidak tahu siapa Haoran sebenarnya?

Astaga... Emma baru menyadari bahwa bukan hanya dirinya yang sengaja tidak menarik perhatian di sekolah. Rupanya bahkan para siswa di St. Catherine tidak tahu bahwa Haoran adalah putra pemilik Lee Industries.

Ia hanya bisa menahan diri dan tidak mengatakan apa-apa. Haoran tentu tidak suka kalau orang-orang mengetahui siapa dirinya dari Emma. Lagipula, itu bukan urusannya.

"Uhm.. begitu, ya?" komentar Emma akhirnya. "Apakah Allan Wu ini pintar?"

"Pintar sekali. Ia selalu masuk ke kelas A. Sekarang dia sudah ada di tahun terakhir.. Ah... aku hanya bisa melihatnya satu semester lagi." Nadya tampak benar-benar menyukai Allan dari caranya membicarakan pemuda itu. Wajahnya tampak diliputi senyum dan ekspresi kebahagiaan. Namun, sesaat kemudian, ekspresi itu berubah menjadi keruh saat sosok Bianca terlihat muncul dari pintu kafetaria. "Ugh.. sayangnya Bianca sudah mengklaim Allan sebagai miliknya. Mereka akrab karena sama-sama mengurusi dewan siswa. Allan masih menjabat sebagai ketua dewan siswa sampai akhir semester ini, dan Bianca menjadi wakilnya."

Emma ikut menoleh ke arah Nadya mengerling dan melihat Bianca yang datang bersama tiga orang teman sekelasnya yang ia tahu selalu bersama Bianca, hampir seperti dayangnya.

Pada saat yang sama Bianca kebetulan melihat ke arah Emma dan untuk sesaat mereka saling bertatapan. Emma melengos acuh karena merasa tidak punya urusan dengan gadis itu.

"Kau tahu, Bianca menganggapmu sebagai saingannya," bisik Mary tiba-tiba. "Sejak kau masuk ke kelas kita, ia tidak lagi menjadi gadis paling cantik di kelas A."

Emma tidak menanggapi kata-kata Mary dan hanya tersenyum.

"Makanan kita sudah tiba," kata Nadya tiba-tiba. Seorang pelayan telah datang dengan nampan berisi pesanan mereka dan memastikan semuanya sesuai. Ia menata makanan ketiga gadis itu di meja dan mengambil kartu pesanan mereka.

"Selamat makan," katanya sambil permisi.

"Terima kasih," kata ketiga gadis itu bersamaan.

"Selamat ulang tahun," kata Mary kepada Nadya. Emma juga mengangguk.

"Selamat ulang tahun, Nadya. Terima kasih untuk makanannya."

"Sama-sama. Ayo makan."

Mereka makan sambil mengobrol tentang pelajaran berikutnya. Ketika makanannya hampir habis, Emma yang merasa kehausan lalu permisi untuk membeli minuman tambahan.

"Aku mau membeli minum. Kalian mau pesan apa biar sekalian kubelikan," katanya sambil bangkit berdiri.

"Aku tidak usah. Ibuku bilang sebaiknya jangan minum banyak-banyak sesudah makan," jawab Mary.

"Aku minta lemon tea, ya," kata Nadya. "Terima kasih."

Ia menyerahkan kartunya kepada Emma, tetapi gadis itu menolak.

"Tidak usah, aku ada uang, kok."

"Oh, baiklah."

Emma berjalan ke konter minuman dan memesan dua buah lemon tea. Sambil menunggu minumannya disiapkan ia melihat-lihat ke sekelilingnya dan mendapati Alex tampak sedang berjalan ke arahnya.

"Hei.. tumben kau ke kafetaria. Aku tak pernah melihatmu sebelum ini," komentar pemuda itu. Ia lalu memesan minuman juga dan menunggu bersama Emma.

"Aku ditraktir," jawab Emma jujur. "Tidak enak menolaknya."

"Oh.. dasar pelit. Kau hanya mau makan di luar kalau ditraktir," goda Alex sambil menampakkan lesung pipinya saat tersenyum.

Dalam hati Emma harus memuji ketampanan pemuda ini. Sayangnya, ia menduga Alex tidak tertarik kepada wanita karena sikapnya yang halus.

"Oh, ya... aku harus baru tahu bahwa ternyata seorang teman sekelasku sengaja ikut karyawisata ke China karena Haoran," komentar Emma sambil mengerling ke arah Mary yang masih asyik makan sambil mengobrol dengan Nadya. "Aku tidak tahu bagaimana kecewanya dia nanti kalau tahu ternyata Haoran malah ke Paris."

Alex mengikuti arah pandangan Emma dan kemudian tertawa kecil.

"Ah, itu bukan urusanmu, kan?" katanya acuh tak acuh.

avataravatar
Next chapter