1 Chapter 1

Jakarta, Indonesia.

Bagi sebagian besar para gadis yang tengah berulang tahun, pasti selalu merasakan yang namanya kebahagiaan, karena bisa berkumpul bersama orang terkasih, bercanda gurau, mendapatkan kado, banyak makanan, dan lain sebagainya yang mampu membuat hari istimewa itu benar-benar terasa menyenangkan. Namun hal itu tak berlaku pada Keysha Akmareta, di usianya yang baru saja genap 20 tahun itu, ia harus menerima kado terpahit dalam hidupnya saat mendengar kabar kematian sang nenek. Hari istimewa itu bagaikan hari terburuk baginya, ia tak sanggup mendengar kabar itu, otaknya menolak kenyataan jika wanita yang paling ia sayangi di dunia ini, harus berpulang kepada sang pencipta.

Dengan mata yang sembab, Keysha harus rela melihat neneknya untuk yang terakhir kalinya sebelum dikebumikan. Tangisan dalam diamnya, mampu menggambarkan betapa sedihnya ia ditinggalkan oleh sang nenek, yang selalu mengajarinya tentang baik dan buruk, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, yang selalu mengajarinya tentang kehidupan, dan yang selalu berada di sisinya saat kedua orang tuanya sibuk dengan pekerjaan mereka.

"Aku yakin nenek pasti benci jika melihat air mata kita," ucap Verine –kakak Keysha- yang saat ini tengah memeluk adiknya sembari mengusap lembut rambut sang adik. Keduanya sama-sama kehilangan sosok yang bagaikan pahlawan untuk mereka.

"Nenek, pasti akan bilang 'perempuan tidak boleh menangis, nanti bisa diremehkan lelaki," Verine mengangguk membenarkan ucapan Keysha dengan senyuman getir yang tercertak diwajah keduanya, hingga tubuh sang nenek perlahan mulai tertimbun oleh tanah.

Suara tangisan mengudara pada siang itu, terlalu sakit untuk merelakan kepergian sosok yang begitu berharga untuk mereka, namun mereka bisa apa? Tak selamanya manusia akan hidup, akan ada saatnya mereka berpulang ke pangkuan sang pencipta. Dan apa yang sudah pergi untuk selamanya tak akan pernah bisa kembali lagi.

***

Keysha menatap tak percaya pada ibunya yang kini duduk dengan santai di single sofa yang selalu di tempati sang nenek, otaknya tak bisa berpikir dengan jernih setelah mendengar ucapan ayah dan ibunya yang sudah membahas tentang ahli waris. Bahkan makam neneknya pun belum kering, namun apa yang di lakukan anak dan menantunya tak patut dipuji.

Sebegitu gilakah ayah dan ibu pada harta?. Batin Keysha yang hanya bisa menatap kedua orang tuanya dengan mata yang sembab.

"Ma, Pa, bisa tidak kita tak membahas tentang warisan dulu? Memangnya kalian tidak merasa kehilangan?," Verine bersuara, tak begitu setuju dengan ide mamanya untuk membahas masalah warisan.

"Yang sudah pergi biarkan saja, yang masih hidup tentu harus melanjutkan hidupnya bukan? Sudah duduk dan diam saja," ucap Ibu mereka dengan sorot mata yang tajam, di dalam sorot mata itu tak memperlihatkan rasa ke hilangan ataupun kesedihan.

"Warisan, warisan dan warisan saja yang ada di kepala mama. Nenek bahkan baru 30 menit yang lalu di kebumikan ma, dan sekarang mama mau membahas warisan? Apakah warisan lebih penting saat ini?," Verine naik pitam, dengan kelakuan mamanya yang memang terkenal sebagai workaholic dan juga ibu-ibu sosialita. Yang mau tak mau, mengharuskan mamanya itu hanya memikirkan masalah ekonomi dibanding yang lainnya.

Keysha, hanya bisa menunduk, sembari memegang tangan kanan Verine, mencoba menenangkan kakaknya itu. Ia tak mau keluarga kecilnya semakin renggang karena masalah ini. Cukup sudah Keysha melihat bagaimana tak akurnya hubungan keduanya dengan mama maupun ayah mereka.

Tak ada suara yang keluar dari bibir sang mama, yang ada hanya sorotan mata tak perduli. Membuat Verine menghela napasnya berat, gadis berusia 27 tahun itu benar-benar tak habis pikir dengan sifat dan sikap kedua orang tuanya. Hingga seorang pria setengah baya lengkap dengan stelan jas formal dan tas jinjing di tangan kirinya datang, membuat senyuman mama maupun ayah Keysha mengembang.

"Maaf saya terlambat tuan Akmareta," ucap pria—yang bisa dilihat sebagai pengacara ahli waris nenek Keysha—yang kini memperlihatkan rasa hormatnya pada Aiden Akmareta –Ayah Keysha-.

"Tak apa, silahkan duduk," ayah Keysha membalas ucapan pengacara itu dengan begitu manis.

Untuk beberapa menit ke depan Keysha dan Verine hanya bisa menahan rasa kesal mereka saat pengacara itu membaca apa saja yang akan diwariskan. Hingga Tiara dan Aiden –kedua orang tua Keysha- dibuat terkejut, saat mendengar jika ahli waris dari semua harta yang di miliki Veronica Akmareta –Nenek Keysha- jatuh pada Verine dan Keysha.

Ada gurat ke marahan di wajah keduanya, seakan merasa tak senang dengan keputusan Veronica yang memberikan ahli waris pada Keysha dan Verine. Mereka merasa dikhianati, selama ini mereka yang membanting tulang untuk membesarkan perusahaan-perusahaan Akmareta Group, hingga menjadi perusahaan terbesar di Indonesia dan Amerika. Tapi apa? Bahkan kedua putri merekalah yang mendapatkan hasil jerih payah mereka.

"Tapi…Aiden ini anaknya, kenapa warisannya malah jatuh pada kedua cucunya?," Tanya Tiara yang tak terima dengan keuputusan Veronica.

"Tapi, itu yang tertulis di sini. Terkecuali sang ahli waris meninggal dunia, atau memberi hak kuasa pengalihan ahli waris, maka itu ahli waris bisa saja berpindah"

"Dan sepertinya itu tak akan terjadi, aku akan kembali ke Manhattan dan membawa Keysha bersamaku," Keysha terkejut dan menatap tak percaya pada Verine, yang sudah berdiri terlebih dulu. Detik selanjutnya ia beranjak meninggalkan ruang keluarga, tak lupa dengan membawa Keysha bersamanya.

Keysha hanya bisa memasukkan baju-bajunya ke dalam koper setelah mendapatkan tiket untuk ke Manhattan malam itu juga. Sebenarnya berat bagi Keysha untuk meninggalkan Indonesia, apalagi di saat hatinya tengah berduka. Namun ia bisa apa? Saat Verine yang merupakan kakak sekaligus ibu baginya benar-benar muak dengan kehidupan keluarga kecil mereka, yang selalu diukur dengan harta maupun uang.

"Kalau aku ikut kakak, bagaimana kuliahku?," Keysha memberanikan diri untuk bicara, setelah sekian lama menutup mulutnya rapat-rapat.

"Kau bisa berkuliah di sana, kebetulan Rachel sahabatmu itu juga berkuliah di sana. Apapun yang terjadi kau akan tetap ikut bersamaku, aku tak bisa meninggalkanmu bersama kedua orang itu,"

"Tapi kedua orang itu mama dan papa,"

"Yah, untuk saat ini kata itu yang akan kau ucapkan. Tapi setelah melihat apa yang akan mereka lakukan padamu dan padaku, aku yakin kau bahkan tak sudi untuk menyebut nama mereka. Ingat mama dan papa dari dulu hanya mengejar warisan bukan kasih sayang," Keysha tertunduk, hatinya sakit menerima kenyataan jika keluarga kecilnya hancur hanya karena warisan. Ingin sekali keysha memberikan ahli warisnya pada mamanya jika dengan seperti itu, mamanya mau berubah.

***

Keysha hanya bisa terdiam saat melihat pertengkaran hebat antara Verine dan mamanya yang melarang keduanya untuk melangkahkan kaki dari rumah, sebelum masalah ahli waris terselesaikan. Iris coklat Keysha menatap kosong ke arah depan, benar yang dikatakan Verine untuk saat ini mungkin 'Mama dan Papa' akan ia ucapkan tapi lama kelamaan, jangankan menyebutkannya meningatnya saja sudah akan membuat Keysha muntah.

Aiden, yang hanya duduk menyaksikan pertengkaran antara istri dan putri pertamanya itu. Tengah berpikir keras bagaimana caranya agar ahli waris pindah ke tangannya dan sang istri.

Bahkan jika dengan menyingkirkan mereka berdua bisa membuatku mendapatkan ahli waris, maka aku siap. Batin Aiden, sembari mengalihkan pandangannya pada Keysha, yang sama sekali tak menyimak dengan begitu baik pertengkaran yang terjadi.

Untuk sesaat Aiden menatap putri keduanya itu dalam, melihat ekspresi Keysha yang benar-benar bagaikan mayat hidup, senyuman dan tawa yang selalu menghiasi hari-hari gadis itu seakan hilang bersama dengan kepergian sang nenek.

"Mama?... Mama katamu? Kalau begitu di mana mama saat Keysha sakit bahkan harus dilarikan ke rumah sakit saat ia berumur 10 tahun? Di mana mama, saat aku lulus SMA dan saat acara wisudaku?, dimana Mama saat Keysha lulus SMA dan saat aku diterima sebagai dokter di Manhattan, tidak… lebih tepatnya apa peran mama dalam membesarkan dan mendidik kami berdua? Dimana?,"

"Aku akui mama yang mengandung dan melahirkanku juga Keysha, dan aku berterimakasih akan itu, sungguh.... karena mama aku dan Keysha bisa melihat dunia ini. Tapi… apa peran mama dalam membesarkan kami berdua dan mengajarkan baik dan buruknya dunia ini? Dimana saja mama selama ini?" Keysha menatap Verine yang berucap dengan air mata yang mulai menghiasi wajah cantik kakaknya itu.

"Tidak ada kan? hanya nenek yang selalu ada untuk aku dan Keysha, hanya nenek yang mengajari kami berdua menjadi manusia yang rendah diri, hanya nenek ma, ingat. hanya. nenek," Verine menekan kata terakhirnya sebelum beranjak dari tempatnya, tak lupa ia menarik tangan Keysha untuk meninggalkan rumah besar yang bagaikan neraka untuknya.

"Katakan kakak tidak membenci mama dan papa," gumam Keysha setelah mereka berhasil masuk ke dalam mboil.

"Mereka sendiri yang membuat kakak ataupun kau nantinya membenci mereka," balas Verine, sembari menghembuskan napasnya untuk menenangkan hati dan pikirannya. Hingga detik selanjutnya ia berbalik ke arah Keysha dan menangkup wajah adik ke sayangannya itu, jangan lupakan senyuman manis yang tercetak di wajahnya. "Kita akan baik-baik saja di Manhattan, kau bisa melanjutkan hobymu menulis novel dan berkuliah, kakak janji kita akan baik-baik saja," Lanjut Verine yang di angguki Keysha. Tak tahu, jika kehidupan yang akan dijalaninya saat di Manhattan akan membawanya pada perubahan yang besar.

Soho, Manhattan, New York.

Door~ Door ~ Door~

Suara tembakan berulang kali mengudara dan terdengar seakan memecah keheningan di malam yang gelap di Manhattan, para lelaki maupun wanita tengah berdiri sejajar sembari menodongkan pistol ke arah depan, membidik, dan mengosongkan pikiran mereka sebelum menekan pelatuk untuk mengenai sasaran di depan sana. Seorang lelaki tengah berjalan di belakang para penembak, dengan begitu santai, sesekali ia memperbaiki posisi tangan seorang gadis sembari tersenyum lalu melanjutkan aktivitasnya, yaitu memantau sembilan orang yang tengah berlatih menembak.

"Zarel, mereka menunggumu," lelaki dengan perawakan tinggi, dengan sebuah tato yang menghiasi lengan kirinya itu menoleh. Hanya anggukan kecil yang diberikannya membuat orang yang memanggilnya tadi pergi begitu saja.

"Lanjutkan tanpa aku, ingat, fokus, kosongkan, bidik, dan.."

"Door," serempak kesembilan orang itu membuat lelaki yang di panggil Zarel tersenyum tipis. Ingat hanya senyuman tipis.

Semua orang yang melihat Zarel melintas di sepanjang jalan, sesekali tersenyum dan memberi hormat. Menandakan jika Zarel memegang peran penting di dalam gedung yang terlihat begitu menakutkan. Tak ada senyuman yang menghiasi wajahnya yang ada hanya tatapan datar dan dingin, seakan lelaki itu sama sekali tak memiliki emosi.

Pintu yang terbuat dari baja terbuka setelah Zarel meletakkan tangannya pada sensor pengenal yang terletak disamping pintu, memperlihatkan beberapa orang penting yang saat ini tengah mengelilingi meja berbentuk oval.

"Kau pasti akan senang melihat ini," ucap seorang lelaki yang memiliki perawakan hampir mirip dengan Zarel, yang membedakan hanya tinggi mereka saja.

Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut Zarel, tatapannya fokus pada layar besar di dinding yang memperlihatkan foto dan biodata seorang wanita dan seorang lelaki paruh baya. Tak membutuhkan waktu lama untuk Zarel mengamati profil kedua pasangan itu, hingga akhirnya ia menatap lelaki yang hampir mirip dengannya itu dan menaikkan sebelah alisnya.

"All right, get the team ready," ucap Vero sembari menepuk tangannya keudara, membuat orang yang berada dalam ruangan itu segera berpencar. Saat ruangan itu hanya diisi oleh Zarel dan Vero saja, saat itu juga Vero berdiri di depan adiknya sembari melipat kedua tangan di depan dada.

"Kau tak ikut?," Tanya Vero yang hanya di balas tatapan datar oleh Zarel.

"Kita bahkan masih menyusun rencana Vero, membunuhnya tak semudah yang kita duga," balas Zarel dengan nada datar yang selalu saja stabil.

"Semuanya akan mudah dan berjalan dengan lancar, jika kau mau turut andil dalam misi ini, tak selamanya kau hanya duduk dan menjadi otak dalam setiap misi. Setidaknya aku akan bangga jika kau bisa ikut, sekali-kali kita bisa berkolaborasi di misi ini, kau mau?"

Untuk sesaat Zarel terdiam, memikirkan ucapan kakaknya itu. Tak ada salahnya untuk kali ini dan akan menjadi yang terakhir kalinya. Batin Zarel sebelum ia mengangguk, menyetujui ucapan sang kakak.

"Okay, we'll run missions the day after tomorrow," Setelah mengucapkan apa yang harus ia ucapkan, Vero berjalan meninggalkan Zarel yang masih asik memandangi profil yang akan menjadi sasaran mereka.

***

Untuk pertama kalinya Keysha menghirup udara malam hari di Manhattan, senyuman yang sempat hilang selama sehari kini telah kembali menghiasi wajahnya. Apalagi saat Verine meninggalkannya di apartemen dengan berbagai makanan lezat yang sudah tertata rapi di atas meja. Dengan sebuah sticky notes yang tertempel di salah satu mangku yang terisi sup.

Maaf harus meninggalkanmu, saat kau masih tidur. Tiba-tiba aku ditelfon, bahwa akan ada operasi mendadak. Maafkan kakakmu ini, sebagai permintaan maaf, aku sudah memasakkanmu makan malam, kau bisa memakannya sembari mengerjakan novelmu.

"Kakak selalu saja bisa membuatku senang," ucvap Keysha lalu segera duduk didepan meja makan, dan menyantap makan malamnya dengan begitu tenang.

Drrt~ Drrt~

Getaran ponselnya, mengalihkan fokus Keysha. Nama 'Rachell' tertera di layar ponselnya, seketika juga ia tersenyum senang.

"Rachelllll," teriak Keysha dengan begitu antusias, membuat Rachel yang berada di seberang telefon menjauhkan sedikit ponsel dari telinganya karena suara Keysha.

"Santai aja key, gak usah make toa segala. Kamu di mana?," suara lembut Rachel menghiasi indra pendengaran Keysha, membuatnya dengan segera memperbaiki posisi duduknya tak lupa ia meneguk segelas air terlebih dulu.

"Aku? Aku diapartemennya kak Verine, kamu kesini gih. Kayaknya kak Verine pulangnya pagi deh, dia ada operasi mendadak soalnya," jawab Keysha sembari merapikan piring kotor dengan tangan kananya.

"Oke, 15 menit lagi aku di sana, udah matiin," tanpa basa-basi lagi Keysha memutuskan sambungan telefon, lalu beranjak untuk menyimpan piring kotor ke tempat cuci piring.

***

Zarel membaca sebuah dokumen yang kini tergeletak dengan indah di atas meja, matanya terpejam sejenak dan dengan kesal ia menghembuskan nafasnya. Kepalanya benar-benar pusing saat otaknya harus dipaksa untuk memikirkan rencana misi yang sama, namun kali ini korbannya bukan orang biasa, melainkan seorang pengusaha yang banyak menebarkan kebaikan palsu di depan publik.

'Hhh'

Helaan nafas yang kedua kalinya lolos dari mulut Zarel, hingga pintu baja itu terbuka menampakkan sosok Vero yang baru saja datang dari pertemuan para tim.

"Kenapa? Otakmu tak bisa berpikir kali ini?," tanya Vero yang dibalas anggukan kecil dari Zarel, membuat Vero tertawa melihat jawaban adiknya itu. "Maka dari itu, aku mengatakan padamu untuk segera memacari seorang gadis, jadi saat kau seperti ini kau bisa pulang padanya."

Zarel hanya memberikan lototan kesal pada Vero yang saat ini sudah duduk di depannya sembari meraih dokumen yang tengah ia baca itu. Tak lama setelahnya seorang lelaki bertubuh besar datang bersama seorang wanita yang mengenakan pakaian hitam.

Vero menatap ke arah Zarel, kali ini tatapannya serius membuat Zarel mau tak mau menghela nafasnya sebelum memperbaiki posisi duduknya. Kemudian setelah itu ia mengangguk pada lelaki bertubuh besar itu, dengan segera sang lelaki keluar dari ruangan namun sedetik kemudian ia kembali bersama seorang lelaki bertubuh sedikit kurus, dengan parut kecil di pipi sebelah kirinya.

"Kali ini target kita adalah Robert Walker, dia merupakan seorang pengusaha multi media terbesar di beberapa negara, dan ini juga fakta yang membuat kita sulit untuk membunuhnya tanpa masalah. Namun yang menjadi masalah adalah, selain ia menebarkan kebaikan di publik dia juga menumpuk kejahatan di belakangnya," Zarel menjelaskan latar belakang Robert yang merupakan sasaran mereka dalam misi ini. Tangannya bergerak meraih remot dan mengarahkannya pada layar besar di sampingnya.

"Rachel Bustami, gadis kelahiran Indonesia ini, merupakan mahasiswi di jurusan kedokteran yang pernah mengalami pelecehan seksual oleh Robert, dan karena seringnya mengalami itu oleh orang yang sama ia meminta bantuan kita. Jadi, sebelum kita mengambil kasus ini dan membunuh orang berpengaruh seperti Robert, maka kita harus mengamati kedua orang ini. Ganesha, Antoni dan Gilbert, kalian akan mengamati Robert, cari bukti yang kuat kenapa kita harus membunuhnya... biar aku dan Vero yang akan mengamati Rachel," lanjut Zarel sembari memperhatikan keempat anggota timnya, yang saat ini tersenyum sembari mengangguk.

"Baiklah, tak ada lagi yang harus dibicarakan bukan? Karena aku ada janji makan malam dengan kedua orang tua angkatku," timpal Ganesha -perempuan dengan pakaian serba hitam, dan rambut panjang- yang di angguki Zarel. Sesaat Ganesha tersenyum sebelum beranjak meninggalkan ruangan itu.

TBC

avataravatar
Next chapter