1 HMT 1 - PEMBERONTAKAN DONG TAIYANG

Malam itu udara sangat dingin karena sedang turun salju. Seorang wanita berjubah merah marun tampak sedang berlarian di tengah kegelapan hutan. Dia tidak sendiri. Di belakangnya tampak seorang pria berjubah hitam yang terus mengapit langkahnya.

Sembari mendekap tubuh mungil bayi laki-laki di dadanya, wanita itu terus berlari sebisanya. Napasnya terengah-engah. Dia sudah tak kuat lagi untuk berlari. Sedangkan kejaran para musuh masih mengintai mereka.

Dengan langkah yang sudah sempoyongan wanita itu pun berhenti di bawah sebuah pohon besar.

"Ayo, Yang Mulia. Kita harus segera pergi dari sini," tukas Guru Le, pria jubah hitam yang mengapitnya.

Guru Le adalah perdana menteri di istana Dong Taiyang.

"Guru Le, aku sudah tak kuat lagi untuk berlari," lirih Fang-Yin, wanita yang sedang kita bicarakan tadi. Rupanya dia adalah ratu di istana Dong Taiyang. Kerajaan terbesar di Timur.

Lantas, apa yang membuat mereka berlari di hutan malam-malam begini?

Baiklah, mari kita mundurkan sedikit waktu, dimana lima jam yang lalu saat Guru Le dan beberapa petinggi istana sedang melakukan rapat penting di ruang rapat istana.

"Yang Mulia, bagaimana jika anda setuju saja dengan saran Pangeran Delun? Itu tidak terlalu buruk, bukan?" gagas Hong Li-Jun, salah satu petinggi istana. Pria licik itu sedang menghasut sang raja untuk menaikkan pajak.

"Tidak bisa. Jika pajak dinaikan lagi, bagaimana nasib rakyat kecil? Mereka hanya bisa menikmati panen dua kali saja dalam satu tahun. Aku tetap tidak setuju," jawab sang raja tegas.

Pria bernama Lu Chia-Hao itu memang seorang pria yang sangat murah hati. Rakyat Dong Taiyang sangat makmur di bawah kepemimpinannya selama lima tahun terakhir ini.

Wajahnya yang tampan, keahliannya bermain pedang, serta pengetahuannya yang luas, membuat pria berusia 35 tahun itu akhirnya terpilih untuk menggantikan ayahnya menjadi raja selanjutnya. Ternyata hal itu menimbulkan rasa iri dan dengki di hati dua saudara tirinya yaitu; Pangeran Delun dan Pangeran Disung.

Dua saudara tirinya itu pun akhirnya menyusun konspirasi besar untuk menggulingkan sang raja. Mereka mengajak Yang Jingmi, panglima kepercayaan raja untuk membantu mewujudkan cita-cita mereka.

"Hentikan, Lu Hao! Turunlah dari tahtamu itu! Kau tak pantas menjadi raja Dong Taiyang." Suara lantang itu berasal dari mulut Pangeran Delun. Pria itu berdiri menunjuk lancang pada sang raja menggunakan mata pedangnya.

Tentu saja hal itu membuat semua pejabat istana tercengang melihatnya.

"Apa yang anda lakukan, Pangeran? Anda sudah lancang pada Yang Mulia!"

Sambut Guru Le yang langsung menghunus pedangnya di depan Pangeran Delun.

"Diam kau, Guru Le! Ini bukan urusanmu! Raja harus turun dari tahtanya hari ini juga!" Kali ini Pangeran Disung yang berkoar. Pria itu juga sudah berdiri dengan pedang di tangannya. Bahkan mengarahkan pedang itu pada leher sang raja.

Sedangkan sang raja sangat terkejut melihat dua saudara tirinya itu yang tiba-tiba menyerangnya. Dia pun bangkit dan segera melawan mereka. Namun panglima Yang Jingmi segera maju dan berhasil menusukkan pedangnya tepat pada jantung sang raja.

"Kalian ...," raung sang raja yang sudah terpulai bersimbah darah di bawah singgasananya.

"Harusnya dari dulu saja aku membunuhmu, Lu Chia-Hao!" Pangeran Disung dan Pangeran Delun tertawa senang melihat sang raja meregang nyawa. Namun tak disangka tiba-tiba Yang Jingmi menyerang mereka juga.

"Kalian juga harus mati!" Yang Jingmi segera menghunus pedangnya.

"Bedebah! Apa yang kau lakukan, Yang Jingmi?" Pangeran Delun yang pertama mendapat sabetan pedang dari Yang Jingmi tak bisa berkutik lagi. Pria arogan itu pun tumbang bersimbah darah.

"Bajingan, rasakan ini!" Pangeran Disung segera maju. Namun panglima Yang Jingmi langsung menyambutnya dengan sabetan pedang yang bertubi-tubi.

Meski Disung dan Delun seorang pangeran, namun tehnik pedang mereka sangatlah payah. Jauh dari rasa serakah mereka yang begitu besar. Ingin menggulingkan raja dengan mengajak panglima Yang Jingmi bekerja sama, tampaknya bukanlah ide yang bagus.

Lihat saja, kedua pangeran bodoh itu akhirnya gugur di tangan Panglima Yang Jingmi. Mungkin mereka tak tahu jika Yang Jingmi juga memiliki ambisi yang besar untuk menaiki tahta kerajaan Dong Taiyang.

Bahkan, Yang Jingmi sudah mempersiapkan semuanya. Hampir semua prajurit kerajaan sudah diancamnya untuk bergabung memberontak pada sang raja. Dan kebetulan sekali dua pangeran bodoh itu mengajaknya bekerja sama. Akhirnya hari ini pun tiba.

"Matilah kalian semua, keturunan dinasti Lu!" Panglima Yang Jingmi mengangkat pedangnya dengan bangga. Dia pun menoleh pada semua petinggi istana yang tampak ketakutan melihatnya, termasuk Guru Le.

"Kalian pilih sekarang, takluk padaku atau mati?" tanya Yang Jingmi dengan tatapan tajam pada mereka.

Para petinggi istana pun saling pandang antara bingung dan ketakutan.

"Cepat pilih! Aku sudah tak sabar ingin menebas leher kalian!" Yang Jingmi menodongkan pedangnya pada wajah-wajah ketakutan para petinggi istana itu.

"Aa--aku ikut denganmu, Panglima! Aku setuju kau menggantikan Raja Lu. Ayo, naiklah pada tahtamu, Yang Mulia." Hong Li-Jun yang takut akan kematian segera berbaik hati pada Yang Jingmi. Bahkan ia mengantarkan pria itu untuk menduduki singgasana raja.

"Bagaimana dengan kalian?!" tegas Yang Jingmi pada semua petinggi istana yang lain.

"Aku setuju!"

"Aku juga setuju!"

"Hidup Yang Mulia, Yang Jingmi!"

"Hidup!"

Karena rasa takutnya, para petinggi istana pun mendukung Yang Jingmi sebagai raja baru mereka. Hal itu membuat Guru Le sangat murka. Namun dia tak mungkin bisa melawan penghianat itu seorang diri.

Saat semua orang sedang mengagungkan Yang Jingmi, Guru Le segera meninggalkan ruangan rapat. Dia berlari menuju kamar Ratu Fang Yin. Benar, istri sang raja pasti belum mengetahui kekacauan yang sedang terjadi di ruang rapat.

Dia harus menyelamatkan sang ratu dan pangeran sebelum Yang Jingmi datang untuk membunuh mereka.

"Yang Mulia Ratu!" tergopoh-gopoh Guru Le memasuki kamar Ratu Fang Yin.

"Guru Le, apa yang kau lakukan? Lancang sekali kau memasuki kamarku!" sang ratu marah besar melihat pria itu memasuki kamarnya. Terlebih dirinya baru saja menidurkan puteranya yang baru berusia satu tahun.

"Maafkan hamba, Yang Mulia. Tapi kita harus segera meninggalkan istana sekarang!" jawab Guru Le dengan wajah diselimuti ketakutan.

Ratu Fang Yin menatapnya heran,"Apa maksudmu?" tanyanya sembari menggendong bayinya di dada.

"Yang Mulia, Panglima Yang Jingmi telah membunuh Raja dan kedua Pangeran Lu. Sekarang pasti dia sedang menuju kemari untuk membunuh anda dan juga Pangeran," jawab Guru Le tanpa memadamkan wajah cemasnya.

"Apa? Panglima Yang Jingmi sudah membunuh Yang Mulia Raja?" Ratu Fang Yin sangat terkejut mendengar berita buruk itu. Sepasang netranya mulai berkaca-kaca menatap Guru Le.

"Benar, Yang Mulia. Ayo ikutlah denganku. Kita harus segera pergi dari sini," ajak Guru Le meyakinkan sang ratu.

"Tapi aku belum melihat mayat suamiku, Guru Le!"

"Tak ada waktu lagi, Yang Mulia. Ayo kita pergi!"

Dengan tangisnya yang tak tertahankan sang ratu pun menurut. Dia segera menggendong bayinya meninggalkan istana. Namun ternyata tak semudah itu, karena Yang Jingmi mengerahkan banyak pasukkannya untuk mengejar mereka.

"Cepat cari Ratu Fang Yin dan bunuh dia beserta puteranya!" teriak Yang Jingmi sembari duduk di atas kudanya. Dia sudah menaiki kudanya cukup jauh untuk mengejar Ratu Fang Yin dan Guru Le.

Malam yang sangat mengerikan bagi Ratu Fang Yin. Dia sangat sedih atas kematian suaminya. Namun dia harus menyelamatkan pangeran.

Itulah sebabnya malam ini dirinya dan Guru Le berada di tengah hutan.

Fang Yin menatap wajah naif puteranya. Dia tersenyum pahit memandangi wajah mungil itu. Tangannya melepaskan kain yang mengikat sang putera dari tubuhnya.

"Guru Le, pergilah dan bawa Pangeran. Tinggalkan aku di sini. Aku sudah tak kuat lagi," guman sang ratu sembari menyodorkan bayinya pada Guru Le.

"Tidak, Yang Mulia. Anda tak boleh menyerah. Ayo kita pergi dari sini," balas Guru Le.

Dengan wajah cemas dia meraih pangeran kecil itu dari tangan sang ratu, lantas mendekapnya erat di antara dada kekarnya.

"Jangan pikirkan diriku, Guru Le. Cepat kau bawa pangeran pergi. Besarkan dia bersamamu," lirih Fang Yin sembari menangis.

Tapi, Yang Mulia ..." Guru Le tampak masih ragu untuk meninggalkan sang ratu seorang diri di tengah hutan begini.

"Itu mereka!"

"Ayo tangkap mereka!"

Celaka. Para prajurit Yang Jingmi sepertinya berhasil menemukan Fang Yin  dan Guru Le. Suara sepatu kuda mereka pun terdengar mulai mendekat. Ratu Fang Yin dan Guru Le semakin ketakutan karenanya.

"Cepat pergi, Guru Le. Cepat!" perintah sang ratu sembari mendorong bahu kekar Guru Le.

Guru Le sangat kebingungan. Namun tak ada jalan lain lagi, dia harus menyelamatkan pangeran. Pria berambut panjang itu pun membungkuk pada sang ratu, lantas segera berlari menembus kegelapan hutan.

Fang Yin menangis mendengar suara tangisan bayinya. Sedangkan Guru Le terus berlari hingga terbang meninggalkan hutan. Dia mendekap erat sang pangeran kecil di dadanya. Pikirannya masih pada sang ratu yang ia tinggalkan sendiri di tengah hutan.

Entah apa yang terjadi pada sang ratu. Guru Le menoleh sejenak pada sang pangeran kecil yang mulai tertidur di dadanya. Dia pun terbang semakin tinggi menuju Barat.

                  ___________________

avataravatar