5 Pesta dan Latihan

°

°

°

Alena sedang bersiap-siap di kamarnya, ia akan ikut keluarganya pergi ke sebuah pesta perusahaan rekan Appanya. Ia memakai dress pink selutut dan mengenakan flat shoes. Alena duduk di tepi ranjang sambil menyisir rambutnya dan bersenandung kecil.

Klek…

Pintu kamar Alena terbuka, mata Alena langsung menoleh ke ambang pintu. Cecil tengah berdiri dan menggendong anaknya, Fransisco. Wanita itu masuk dan mendudukkan anaknya di kasur Alena, setelah itu ia mengambil sisir dan mulai menyisiri rambut panjang milik Alena.

"Rambut panjangmu indah ya." puji Cecil dengan niat mendekati gadis kecil itu.

"Iya, tapi kenapa rambutku kecoklatan?." tanya Alena dan berbalik badan menghadap Cecil dengan raut wajah bingung.

"Maksudnya?."

"Rambut kalian semua hitam, rambutku malah berbeda. Bahkan Frans, dia hitam pekat seperti Appa. Kalian hmm…." ucap Alena terhenti saat ia tengah berlagak tengah memikirkan sesuatu yang membuat Cecil semakin penasaran dengan gadis kecil di hadapannya.

",Kenapa?." tanya Cecil dengan penasaran, ia sangat penasaran dengan maksud Alena.

"Lupakan saja, ayo turun." jawab Alena enteng kemudian berdiri dan melangkah pergi keluar dari kamarnya.

°°°

Saat memasuki ruang pesta, Haru memegang tangan Alena. Ia menuntun gadis kecilnya masuk ke ruang pesta tersebut. Tak hanya itu, Cecil juga ikut mengenggam tangan mungil Alena. Hadirnya keluarga Haru menjadi titik pusat perhatian para hadirin, mereka semua menyambut kedatangan keluarga itu dengan tepuk tangan. Mendapat perlakuan bak tamu penting membuat Cecil merasa bahagia, karena ini adalah pesta perusahaan pertama baginya. Sedangkan itu Alena malah bersikap biasa saja, ia malah lebih memperhatikan meja-meja yang menjadi tempat penyajian berbagai macam donat dan cake kesukaannya.

"Selamat datang Pak Haru, wah…suatu kehormatan anda datang ke pesta ini." ucap rekan kerja Haru yang bernama Jay.

Jay berjalan mendekati Haru sambil tersenyum, ia juga tersenyum pada Cecil, Frans dan tentu saja Alena.

"Ini putrimu? Cantik sekali, anda beruntung." puji Jay pada Haru sambil tersenyum pada Alena yang dianggap gadis itu sebagai senyuman aneh.

Meskipun ia merasakan keanehan senyuman Jay, gadis kecil itu tetap membalas senyuman Jay. Melihat senyuman manis dari Alena, tangan Jay seakan berinisiatif sendiri ingin mengelus puncak kepala Alena.

"Kenapa tangannya terangkat ke arahku?." tanya Alena pada dirinya sendiri.

Senyuman Alena menghilang tiba-tiba dan berganti dengan wajah sinisnya yang membuat Cecil sedikit panik seolah ia bisa menebak apa yang Alena katakana ataupun lakukan. Saat tangan Jay hampir menyentuh rambutnya, tangan mungil Alena langsung menyergah tangan Jay dan sedikit menghempaskannya. Jay merasa kaget namun ia tetap tersenyum seakan memaklumi respon Alena barusan. Alena menatap Jay dengan tajam dan detik selanjutnya ia langsung pindah tempat, ia berdiri di belakang Haru, di belakang Appanya itu 'senyuman penuhnya' terukir.

"Don't touch my hair, Sir." ucapnya dengan suara yang sedikit memberat hingga membuat Haru, Cecil dan Jay kaget.

"Hmm… Pak Jay, maaf untuk perilaku yang kurang mengenakkan dari Alena. Dia memang sedikit kaku untuk bertemu orang baru," ucap Haru beralasan.

"Bagaimana kita langsung ke depan saja? Saya rasa semuanya sudah menunggu?." sambungnya.

Jay mengangguk setuju kemudian mempersilahkan Alena dan Cecil bergabung. Setelah itu Jay dan Haru langsung menuju meja depan untuk membuka pestanya.

Cecil menarik tangan Alena, ia mengajak Alena ke meja yang ada di sudut ruangan. Meja yang sedikit jauh dari kerumunan orang-orang. Alena menurut saja dengan tarikan tangan Cecil, saat sampai di meja yang Cecil maksud, Alena langsung duduk dan menyantap donat-donat yang ada di sana.

"Jaga etikamu, setidaknya sampai kita pulang dari sini." bisik Cecil.

Perlahan-lahan, Alena menoleh ke arah Cecil. Ia juga menunjukkan 'senyuman penuhnya' yang membuat Cecil mulai bergidik ngeri kumudian sedikit menjauhkan tubuhnya dari gadis kecil itu.

"Jangan tatap aku dengan tatapan seperti itu Alena." Cecil memalingkan wajahnya dari Alena dan ikut menyantap donat-donat di meja itu.

"Kenapa? Apa aku harus menatapmu dengan mengeluarkan mataku? Tapi dengan apa aku harus mengeluarkan mataku? Dengan garpu?," ucap Alena sambil mengangkat garpu dan mengarahkannya ke matanya sendiri.

"Ah…sudahlah, jangan mengajariku tentang etika. Sebelum mengajari harusnya Eomma belajar dulu, oke." sambung Alena dengan santai kemudian menurunkan garpunya dan kembali menyantap donat-donat di meja itu.

Cecil tertegun mendengar ucapan Alena, kenapa gadis kecil ini selalu berbicara pahit kepadanya? Ada apa dengan Alena? Kenapa dia selalu berbicara atau seolah sedang mengajaknya untuk membahas sesuatu di masa lalu? Apakah gadis kecil ini mengatahui semuanya? Semua pertanyaan itu memenuhi kepala Cecil hingga membuat kepalanya sedikit sakit.

"Dia normal, kan?." tanya Cecil dalam hati

°°°

Tak ada yang spesial dari pesta itu, bagi Alena pesta itu sangat membosankan . Sesampainya ia di rumahnya, Alena berlari masuk. Ia berlari sampai memasuki kamarnya dan menguncinya, Alena mengeluarkan ponselnya dan berjalan menuju balkon kamarnya. Ia duduk di lantai dan bersender di dinding, ia mencari kontak Riana yang ia beri nama 'Tante Senyum'. Ia hanya berjaga-jaga jika saja Haru atau siapapun mencoba memeriksa ponselnya, setidaknya mereka tidak akan menemukan nama Riana di sana.

Ketika menemukan kontak Riana, Alena langsung menekan tombol telpon, ia ingin menceritakan kejadian aneh mengenai Jay di pesta tadi.

Tak perlu waktu lama, telpon Alena langsung terhubung dengan Riana.

"Hallo, kenapa sayang?." ucap Riana dengan nada santai seperti biasanya.

"Hmmm, Ma. Eomma kenal Jay? Rekan kerja Appa? Dia aneh." ucap Alena terpotong-potong sambil melirik kanan kiri, ia hanya berjaga-jaga jika ada yang berniat mengupingnya.

"Kenal, kenapa?."

"Jadi gini…."

Alena mulai menceritakan perilaku aneh Jay, mulai dari cara Jay menyentuhnya, meliriknya bahkan raut wajah Jay sangat aneh.

"Dan parahnya Ma, pas Alena ke wc…dia ngintipin Alena!."

°°°

Keesokan harinya, Alena bangun sangat terlambat. Ia melirik jam dinding dengan malas, 07.24 am. Tidak ada yang membangunkannya?.

"Sial, seakan aku bener-bener ga dianggap." keluh Alena.

Alena turun dari ranjangnya dan mandi. Sekitar 30 menit kemudian, Alena sudah siap dengan pakaian sekolahnya. Ia turun dari kamarnya dengan membawa tasnya, ia duduk di meja makan bersiap sarapan. Alena menghela nafasnya, ia menyadari kehidupannya yang memang berbeda dengan anak normal seumurannya persis seperti yang Riana telah jelaskan kepadanya.

"Aku ga beruntung ya?." tanyanya dalam hati.

Mendadak Alena kembali ke sifat aslinya, sifatnya sebelum mengenal Riana. Ia menjadi sedikit sensitif, bahkan ia hampir saja menangis saat memasukkan potongan kecil roti tawar ke mulutnya. Terlintas dipikirannya, kebahagiaan yang Cecil dapatkan. Kebahagiaan yang berasal dari kasih sayang Haru, Appa kandungnya. Kasih sayang yang tidak pernah ia dapatkan secara nyata, kasih sayang yang hangat untuk membimbing jalannya, ia tidak pernah dan mungkin tidak akan pernah mendapatkannya.

"Non? Kenapa ga panggil Bi Ina aja untuk siapin sarapan?." ucap Bi Ina di ambang pintu dapur yang kemudian mendekat ke Alena, ia menuangkan susu cair full cream kesukaan Alena ke dalam sebuah gelas kaca berukuran sedang.

Bi Ina kemudian menyodorkannya ke Alena, gadis kecil itu 'tersenyum penuh' ke arah Bi Ina kemudian mengambil gelas susu tersebut dan menaruhnya di samping piring roti tawarnya.

"Non Alena kenapa pake baju sekolah?." tanya Bi Ina yang bingung melihat Alena mengenakan seragam sekolahnya padahal Bi Ina yakin Alena sangat tahu jika sekarang sudah terlambat untuk datang ke sekolah.

Alena tidak menjawab pertanyaan Bi Ina, ia buru-buru menyelesaikan sarapannya. Tanpa pamit, Alena langsung berjalan keluar dari rumah itu. Bi Ina hanya memandangi punggung kecil Alena yang kian menjauh tanpa berniat menghentikan langkah gadis kecil itu.

°°°

Sekitar 40 meter dari rumahnya, Alena berhenti di sebuah warung. Ia membeli minuman botol dan duduk di kursi warung itu. Lagi-lagi gadis kecil itu mencari kontak Riana dan mengiriminya pesan.

"Aku mau bertemu, Eomma. Tunggu sebentar lagi, aku di perjalanan."

"Jangan ke sini, nanti sa- saja." jawab Riana dengan nafas yang tersenggal-senggal.

"Eomma baik-baik saja?." tanya Alena panik. Jelas saja, sekarang malah Alena yang sedikit ketakutan mendengar nafas Riana yang tersenggal-senggal tak seperti biasanya.

"Eomma tidak apa-apa, jangan ke sini. Nanti saja." jawab Riana dan langsung memutuskan sambungan telpon Alena.

Tubuh Alena mulai sedikit gemetar, ia berdiri dan melangkahkan kakinya secepat mungkin menuju sebuah pangkalan ojek.

"Antarkan saya ke alamat ini, bisa Pak?."

°°°

Alena langsung berlari memasuki perkarangan rumah Riana, ia memperhatikan sebuah mobil hitam yang terparkir di halaman samping rumah itu.

"Mobil siapa?."

Dengan langkah cepat yang ia bisa, Alena langsung memasuki rumah itu. Ia memasuki ruang tamu tapi ruangan itu sepi, bahkan rumah itu terasa sangat hening.

Crak…

"Bukankah itu seperti suara tulang yang patah?." tanya Alena dengan suara pelan.

Kepala Alena mendongak menyadari bahwa suara itu berasal dari lantai atas. Alena langsung mendekati tangga dan pelan-pelan ia menaiki tangga itu sambil melirik kanan dan kirinya.

Sesampainya ia di lantai atas, Alena melangkahkan kakinya lebih pelan-pelan lagi dengan langkah besar. Ia mendekati sebuah ruangan yang dimana hanya ruangan itu lampunya menyala. Alena mendekati pintu ruangan itu yang sedikit terbuka dengan was-was, perlahan-lahan ia membuka pintu itu dan…

"Ah…kamu masih datang."

Alena terduduk di lantai, matanya melotot tak percaya. Ia melihat Eomma kandungnya, Riana sedang menduduki seorang laki-laki. Bukan! Bukan itu yang membuat Alena kaget, gadis kecil itu kaget melihat Riana duduk dengan memegang sebuah palu dan parahnya lagi kepala laki-laki itu sudah pecah dan dapat Alena simpulkan jika Riana…membunuh laki-laki itu.

Riana berdiri, ia melempar palu itu dan mengelap wajahnya yang terkena cipratan darah laki-laki itu. Riana tersenyum ke Alena dan mendekati gadis kecil itu, ia berdiri dan akhirnya berjongkok menyejajarkan tinggi Alena. Riana menatap mata Alena dengan lekat, ia menyadari jika mental Alena memang belum 100% kuat untuk menghadapi ini. Ia menarik tangan Alena, mengajaknya berdiri dan meninggalkan ruanagan itu, ruangan yang menjadi saksi bahwa Riana telah membunuh seseorang tepat di depan mata Alena.

Riana mengajak Alena duduk di balkon, ia meninggalkan gadis itu sendirian untuk mengambilkan beberapa cemilan.

"Tunggu di sini, jangan ke ruangan tadi." ucap dan peringatan dari Riana.

Alena mengangguk kemudian membuang pandangannya ke arah lain, ia memandangi taman hijau di perkarangan rumah itu. Ia memandanginya, benar-benar memandanginya seakan menyukai hal itu.

"Terlihat damai." pujinya.

Setelah beberapa saat, Riana kembali dan duduk di samping Alena. Ia meletakkan berbagai macam bungkus keripik dan 2 botol teh dingin. Riana melirik Alena, gadis kecilnya itu terlihat sangat lemas. Beberapa detik kemudian, Riana 'tersenyum penuh' dan menarik Alena agar duduk di pangkuannya. Alena tak menolak, ia duduk dan menatap mata Riana.

"Eomma mau tanya." ucapnya memecah keheningan.

"Apa?."

"Kaget?." tanya Riana memastikan yang langsung mendapat anggukan dari anaknya.

"Harus terbiasa, mau coba."

°°°

Alena melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, ia pulang dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia masih bingung, bagaimana Eommanya bisa memancing Jay datang ke rumahnya. Tapi ia senang, berkat adanya Jay ia bisa belajar menjadi lebih berani.

"Eomma emang keren!," serunya dalam hati ketika mengingat kejadian tadi, kejadian dimana Riana mengajarinya cara memukul kepala menggunakan sebuah palu.

"Ah…itu mayat. Bagaimana bisa aku berani jika itu sekedar mayat." sambungnya kecewa dalam hati.

Alena melewati ruang keluarga, ruangan yang sedang diisi oleh sebuah keluarga kecil bahagia. Ia melewati keluarga kecil itu dengan senyuman miris. Tanpa sengaja Alena mengalihkan padangannya ke Frans, tiba-tiba saja sebuah ide muncul di benaknya. Alena berlari menaiki tangga dan langsung masuk ke dalam kamarnya. Ia mengunci kamarnya dan berdiri di dekat pintu balkon dengan perasaan yang sedikit membaik dari sebelumnya.

"Apa aku harus mencobanya? Frans? Bagaimana jika dia saja?."

°°°°°

Nah lhoo, gimana nasib Frans kalau beneran Alena bakal jadiin dia bahan latihannya?

Assalamualaikum.

Selamat Pagi/Siang/Sore/Malam.

Happy reading

Instagram : @meisy_sari

@halustoryid

Maafkan bila terdapat typo🙏🏻

Tinggalkan saran kalian❤

avataravatar
Next chapter