21 Persiapan

°

°

°

Untuk pertama kalinya-di dalam hidupnya -Alena- tak setuju dengan apa yang Riana putuskan untuknya. Seberapa besar pun kekhawatiran Riana terhadap dirinya, tetap saja tidaklah menjadikan itu sebagai alasan yang logis untuk memasukkan obat mandul ke dalam minuman putrinya, benar-benar keterlaluan.

Semenjak hari itu, Alena menjadi sosok yang lebih pendiam, dingin, dan kosong. Yaps, kosongnya Alena dapat diketahui dari sorot matanya yang terus saja sayu sembari menatap ke bawah, entah itu di rumah, sekolah ataupun perpustakaan. Tak hanya itu, lingkaran hitam di area mata Alena juga mulai sedikit mencolok, menarik begitu banyak perhatian teman-teman angkatannya mengenai apa yang sedang menimpa gadis cantik itu.

Seperti sekarang, ia tengah duduk berdampingan dengan Rayna di kantin. Satu tangannya terus saja mengaduk mie di mangkok, tatapannya masih sama, sayu.

Tak tega melihat sahabatnya terus berperilaku seperti itu, Rayna pun berinisiatif untuk memegang satu tangan Alena. Melepaskan sendok yang gadis itu pegang serta menarik tangannya sedikit mendekat. Kehangatan tangan Rayna mulai menyambar dinginnya tangan Alena, Rayna menggerakkan beberapa jarinya untuk mengelus pelan punggung tangan Alena.

"What's going on? Are you sick?," tanya Rayna yang langsung mendapatkan gelengan lemah dari Alena.

"Terus kenapa belakangan ini lo lesu mulu, Len?." tanya Rayna lagi, dan kali ini membuat Alena menatapnya sambil terkekeh sebentar.

"See? Cuma Rayna yang sadar kalau belakangan ini gue lesu." ujar Alena di dalam hati.

"I'm fine, Ray. Lagi ga mood doang, gue kepikiran tentang persiapan Olimpiade entar." Alena menarik tangannya, ia mengambil sendoknya lagi kemudian mulai memakan mie dengan perlahan.

"Lo ga bohongin gue, kan? Lo bisa cerita apa aja ke gue, Len." Rayna turut ikut melahap makanannya.

"Untungnya gue boongin lo apaan?." tanya Alena balik.

"Yaa...ga ada sih."

Rayna menyengir menunjukkan deretan giginya yang putih ke arah Alena, namun tak ditanggapi oleh gadis itu.

Kembali melahap makanannya, Rayna sesekali menyempatkan dirinya untuk menoleh ke arah Alena, ia juga memandangi penampilan gadis itu yang entah kenapa menurutnya mulai berubah.

"Lo...pake sesuatu yang baru, kah?," tanya Rayna yang tak ditanggapi oleh Alena.

"Artinya ngga, tapi kok menurut gue lo jadi rada beda gitu sih?." sambung Rayna dengan alis yang bertaut.

°°°

( Di kamar Aditya )

Aditya duduk di pinggiran ranjangnya, kedua tangannya bergerak dengan tenang melipati pakaian-pakaiannya yang nantinya akan ia masukkan ke dalam koper. Setelah beberapa menit, akhirnya semua pakaiannya sudah terlipat dan tersusun rapi di dalam kopernya. Ia pun berdiri dan melangkah mendekati meja belajarnya, senyum kemirisan langsung terpapar jelas di parasnya yang tampan, dadanya langsung terasa sesak ketika ia melihat sebuah bingkai poto keluarganya, terlihat begitu bahagia padahal semua itu hanyalah kebohongan.

"Kenapa Ayah begitu kejam kepada Ibu? Apa salah Ibu sampai dia memperlakukannya seperti itu?."

Tangan Aditya bergerak dengan sendirinya mengambil bingkai poto itu, ia mengeluarkan poto itu dan duduk di kursinya. Ia lempar asal bingkai poto itu kemudian ia mengambil gunting dari dalam kotak pensilnya.

"Lebih baik Ayah tidak ada di dalam poto ini."

Tangannya pun mulai bergerak, menggunting dengan rapi bagian sisi Ayahnya. Berhasil menyingkirkan Ayahnya dari poto itu Aditya langsung beranjak dan memasukkan poto itu ke dalam kopernya.

°°°°

Aditya berjalan menuruni tangga dengan langkah pelan, kepalanya terus saja mendongak, menunduk, menatap ke arah kanan dan juga kiri untuk sekedar mengamati dan mengenang masa-masa kecilnya dulu yang masih ia anggap bahagia. Ya, untunglah Aditya menganggapnya seperti itu karena saat itu ia masih kecil, ia tak mengetahui dan tak dapat mengerti apapun yang terjadi saat itu. Setidaknya masih ada kenangan manis yang ia punya saat berada di rumah megah itu.

"Apakah setelah ini, Ibu akan tetap diperlakukan secara manusia oleh orang-orang di rumah ini?." tanyanya dalam hati.

Aditya duduk di sofa yang berada di ruang tamu rumah itu, ia menaruh koper di sampingnya dan menyesap teh hangat yang sudah disiapkan oleh ART di rumah itu.

Tak berselang lama, Ayah dan Ibunya ikut turun dan duduk bersamanya. Diperhatikannyalah wajah Ibunya yang kian memucat, ia memegang tangan Ibunya dan mengelusnya pelan.

Perlahan-lahan, sepasang mata yang menatapnya sendu itu mengeluarkan air mata, menangis tanpa isakan yang kencang.

"Bu, jangan menangis." ujar Aditya tersenyum dan menghapus jejak air mata di wajah Ibunya.

"Untuk apa kamu menangis, Aditya sudah besar, bisa mengurus dirinya sendiri." sahut Ayahnya Aditya yang kini menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Bagi seorang Ibu, anaknya tetaplah seorang anak kecil. Tak perduli seberapa tinggi ia tumbuh dan seberapa besar perkembangannya, ia tetaplah anak kecilku." jawab Ibunya.

Ibunya Aditya mengusap-usap pelan kedua sisi wajah putranya itu dengan penuh kasih sayang, ia sungguh tak bisa merelakan kepergian Aditya meski hanya dua tahun saja. Sedangkan, di sisi lain Ayahnya Aditya memperhatikan pemandangan itu dengan seksama. Sebenarnya, bukan hanya Ibunya Aditya yang berat melepaskan Aditya, dirinya juga merasa berat melepaskan anak laki-lakinya itu. Tapi apa boleh buat? Ia sudah memikirkan hal ini dalam waktu yang lama. Mengirim Aditya keluar negeri agar ia bisa mengenyam pendidikan dengan fokus, tanpa perlu memikirkan perselisihan yang terjadi di keluarga mereka.

"Ini semua demi Aditya." ucap Ayahnya meyakinkan di dalam hati.

°°°

"Benar-benar gila, tak puas dengan satu wanita." Alena menggeleng-gelengkan kepalanya bingung, harus bagaimana ia mendeskripsikan Appa-nya itu?

Jika sebelumnya Cecil-lah yang merusak rumah tangga Appa dan Eomma-nya, maka sekarang tantenya sendirilah yang menjadi benalu di pernikahan baru Appa-nya.

Dari atas rooftop, Alena memandangi Appa-nya dan Tantenya dengan pandangan malas dan muak. Bagaimana bisa laki-laki itu menjadi seseorang yang amat sangat serakah untuk urusan wanita?

Ia sudah menikahi seorang wanita tapi terus-terusan bermain gila dengan wanita lain, dan 'hal itu' dilakukan di dalam kolam renang rumahnya sendiri, benar-benar berani.

"Apakah Eomma Cecil tau hal ini?." tanya Alena kepada dirinya sendiri.

Alena mengeluarkan hp dari dalam sakunya, kemudian ia meng-klik aplikasi camera dan memotret kelakuan nakal Appa-nya.

Senyum penuh kepuasan terpancar jelas di wajahnya, lalu dengan cepat ia memasukkan kembali hpnya ke dalam saku dan berlari cepat untuk masuk kembali ke dalam kamarnya.

Di kamarnya, Alena melemparkan hpnya ke arah ranjang tidurnya. Ia mendekati meja belajarnya, menatap tumpukan buku Sains yang ia pinjam. Helaan nafaspun terdengar beberapa kali hingga ia menarik kursi yang ada didekatnya dan mendudukinya.

Ia menyalakan lampu belajar, mengambil kacamatanya dan mulai mempelajari buku-buku itu.

Waktu pun terus berjalan mengiringi gerak mata Alena yang bergerak beraturan membaca kalimat-kalimat panjang di buku itu. Mencermati tiap gambar yang tertera di dalam bacaannya. Alena mendongak ke arah jam dindingnya, dan ternyata sudah pukul 1 malam.

"Harus lanjut, atau tidur?." tanyanya bingung, ia pun mendongak sekali lagi dan memutuskan untuk menghabiskan bacaannya dulu, apalagi buku itu hanya tinggal 20 halaman saja.

°°°°°°°°°°°°°°°°°°

Assalamualaikum.

Selamat Pagi/Siang/Sore/Malam.

Happy reading

Instagram : @meisy_sari

@halustoryid

Maafkan bila terdapat typo🙏🏻

Tinggalkan saran kalian❤

avataravatar
Next chapter