1 Chapter Satu

Seperti rutinitas pagi hari, Nadila sudah bangun dari pagi-pagi buta memasak sarapan untuk adiknya, Elmira. Sambil tepekur di dapur dengan masakannya yang simple namun rasanya luar biasa lezat, mulut berbibir tipis itu tak henti-hentinya meneriaki El yang sulit sekali untuk di banguni.

"El, jam setengah tujuh. Kamu mau berangkat sekolah jam berapa?"

Remaja bertubuh mungil yang saat ini masih tergulung selimut tebal di kasur tanpa ranjang itu mengendus, telungkup dan menutup telingannya dengan bantal agar suara pekikan sang kakak tidak terdengar dan merusak mimpi indahnya.

Namun, sial memang suara Nadila sebelas duabelas dengan toa masjid meskipun sudah memakai earphone dan menutupinya lagi dengan bantal kepala, suara teriakan Nadila memanggil namanya masih begitu nyari tertangkap oleh telinganya.

Dengan amat sangat terpaksa pun, El bangkit dari tidurnya. Menyambar handuk yang dia letakkan di senderan kursi belajar kemudian keluar kamar menemui kakaknya sekalian pergi mandi.

"Pagi, kak." Berjalan gontai dengan mata masih setengah tertutup, hidung El mengendus-endus wangi harum nasi goreng kesukannya tercium. Matanya seketika itu juga melotot senang, melihat ke arah Nadila yang tengah asik mengoseng-oseng nasi goreng di dalam wajan.

"Wuah, nasi goreng sosis." El bertepuk tangan bahagia.

"Cepat mandi atau nasi goreng ini kakak bawa kerja semuanya."

Dengan sigap, El masuk ke dalam kamar mandi. Membanting pintu kamar mandi dan langsung menyalahkan shower untuk mandi.

Nadila hanya mampu geleng-geleng kepala melihat ritunitas paginya setiap hari seperti itu.

Tok... Tok... Tok

Pintu rumah terketuk. Buru-buru, Nadila melepaskan Efron masaknya dan menghambur hendak membuka pintu. Entah siapa orang yang pagi-pagi seperti ini sudah bertamu ke rumahnya.

Saat pintu rumah terbuka, betapa terkejutnya dia melihat dua lelaki berbadan kekar berdiri dengan seorang paruh baya tak asing berdiri di belakangnya.

"Paman?" Nadila keheranan dengan kedatangan paman satu-satunya dengan bodyguard besar seperti itu.

"Pagi Nadila. Apa boleh aku masuk ke dalam?" Bram, nama paman Nadila menerobos masuk begitu saja ke dalam rumah Nadila, sebelum gadis itu benar-benar mengijinkannya untuk masuk.

Dia duduk di sofa single ruang tamu. Sementara bodyguard berdiri tepat di belakang Nadila. El yang baru selesai mandi juga tak kalah terkejut dengan kedatangan paman yang sudah sangat lama dia anggap mati.

"Aku perlu bicara dengan mu," Kata Bram kepada Nadila.

"Ada masalah apa, ya paman? Hingga membuat paman tiba-tiba datang mengunjungi kami?" Pelan dan sedikit takut Nadila bertanya.

"Baca ini." Nadila mendongak saat Bram memberikan sebuah kertas putih kusam dengan di bumbuhi tanda tangan dan materai 3000.

"Hutang?"

El bergabung dengan kakaknya, ketika melihat Nadila terkejut dan memekik kata hutang. Rasa ingin taunya memuncah, El juga ingin tau apa yang sebenarnya yang di berikan Bram kepada Nadila.

Tiba-tiba lutut Nadila terasa begitu lemas. Seperti tak sanggup memopang berat badannya yang tak seberapa. Di depan matanya, lelaki yang menjadi satu-satunya orang yang bisa di sebut keluarga oleh Nadila dan El baru saja melemparkan sebuah kertas hutang yang di tinggalkan mendiang ayahnya.

 

Mulut Nadila terngaga, menghitung jumlah angka nol di belakang angka lima. Dia tertegun, seperti melayang-layang di udara saking pusing melihat jumlah hutang yang begitu banyak.

 

"Lima ratus juta, paman?" El yang berdiri di sebelah Nadila tak kalah kaget.

 

Remaja berusia 17 tahun itu bahkan mengusap matanya dan mengerjap cepat. Mencoba menelisik dan menyadarkan saraf otaknya agar tidak melayang-layang pusing seperti Nadila kakaknya.

 

"Lima ratus juga sudah termasuk bunga yang tidak di cicil selama lebih dari tiga tahun." Bram, paman Nadila yang duduk di hadapan kedua adik kakak itu menatap sinis kearah kedua ponakannya.

 

Tak ada rasa iba, atau kasihan sedikitpun dengan yatim piatu itu. Otaknya malah sudah merencanakan ide licik untuk mendapatkan keuntungan lebih banyak dari hutang yang mendiang ayahnya tinggalkan.

 

"Saya... Saya tidak punya uang sebanyak itu, paman." Akhirnya setelah sekian lama hanya diam memandangi deretan angka nol yang begitu banyak, Nadila berkata.

 

Di sofa single berwarna hitam kelabu, Bram sejenak terdiam. Seperti sedang berpikir dan menimbang-nimbang sesuatu. Sedang di depannya, kedua kakak beradik itu saling melemparkan pandangan. Seperti sudah mengerti jika otak pamannya sedang memikirkan sesuatu yang licik dan kotor.

 

"Baiklah," Bram menyentuh rahangnya. Menatap kedua kakak beradik itu nanar bergantian. "Ada dua cara yang untuk kalian dapat melunasi hutang-hutang ayah kalian."

 

"Apa itu paman?" tanya El dengan mata berbinar.

 

"Jual organ tubuh El dan berikan semua hasilnya kepada ku. Atau kau..." menunjuk ke arah Nadila dan menyeringai menyeramkan. "Bekerja dengan ku untuk menjadi koleksi pekerja ku."

 

Nadila tertegun mendengar dua opsi yang keduanya tidak ada yang benar menurutnya. Nadila tidak mungkin membiarkan El menjual organ tubuhnya. El pasti akan mati. Tapi dirinya juga tau arti dari koleksi pekerja pamannya. Yaitu menjadi salah satu pelacur di bar milik pamannya.

 

Dengan cepat Nadila menggeleng. Tidak menyetujui dua opsi yang kedua-duanya tidak ada yang bagus.

 

"Aku tidak mau," jawabnya tegas. "Aku tidak akan membiarkan kau menjual organ tubuh El. Dan aku tidak akan sudi menjadi pelacur."

 

"Jika kau tidak mau kedua opsi itu. Maka dengan terpaksa aku akan membawa paksa El dan menjadikan dia koleksi baru ku. Dia masih remaja. Aku yakin harganya cukup untuk melunasi hutang-hutang ayah mu." Bram sudah berdiri. Di belakang Nadila dan El berdiri dua bodyguard berbadan kekar siap membawa El paksa.

 

Kedua bodyguard itu memerangi tangan El, ketika Bram menginstruksikan untuk membawa El keluar dari rumah kontrakan sempit milik Nadila itu. El tersentak, memberontak berusaha melepaskan diri meskipun percuma dari dua bodyguard berbadan kekar itu.

 

"Kak, El gak mau jadi pelacur, ka?" El berteriak. Mengadu dan menangis kepada Nadila.

 

Nadila yang melihat tidak mungkin membiarkan adiknya di bawa pergi begitu saja. Pikirannya begitu kalut. Dia tidak bisa berpikir apa-apa selain El adiknya yang meronta-ronta minta di lepaskan.

 

"Paman, aku mohon jangan jual, El. Dia masih kecil, paman. Aku mohon." Sudah dalam posisi tersungkur, Nadila berlutut dan mengemis di bawah kaki Bram.

 

Bram yang sejatinya memang sudah merencanakan itu tersenyum penuh kemenangan. Di raihnya dagu Nadila hingga membuat gadis itu mendongakkan kepala. Bram tersenyum, menghapus air mata yang keluar dari manik indah milik ponakannya seraya berkata.

 

"Maka gantikan adik mu untuk menjadi koleksi baru ku. Dengan itu akan ku lepaskan bukan hanya El tetapi juga hutang-hutang mendiang ayah mu."

Nadila tertunduk menatap jari-jarinya yang saling bertautan. Air matanya tak dapat di cegah lagi. Tak ada pilihan lain untuknya kini selain pelacur menyelamatkan masa depan adiknya.

"Baik. Lepaskan El, biar aku yang menjadi koleksi baru mu."

 ****

avataravatar