1 Ingkar

"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu."

Sebuah janji yang tidak pernah dapat ditepati.

Pria bertubuh tegap itu menatap sebuah cermin yang memantulkan bayangannya, ia memakai setelan jas lengkap dengan dasi berwarna hitam yang mengikat kerah kemejanya yang berwarna merah maroon.

Setelan jas yang membungkus tubuh tegap dan otot-otot yang tersembunyi dibalik lengan jas yang licin tanpa ada lipatan sedikitpun.

Mata berwarna coklat gelap itu tersembunyi dibalik bulu mata tebal dan sedikit lentik, rahangnya tegas seimbang dengan hidung mancungnya yang lurus tanpa patahan serta bibir dengan berwana peach alami, ada celah seolah bibir bagian bawahnya terbelah. Rambut hitamnya lurus namun tebal, tertata rapih melengkuk kebelakang mengikuti sisiran dengan pome yang membuatnya terlihat bersinar, tampilan maskulin khas pria berumur dua puluh delapan tahun.

Pria sempurna... Begitulah ia disebut.

Tapi di dunia ini tidak ada yang sempurna.

Di balik tampilan fisiknya yang rupawan terdapat luka tersembunyi di lubang hatinya.

"Selamat ulang tahun." Ucapnya tersenyum tipis.

Sebuah ucapan ulang tahun tapi bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk seseorang yang ia bahkan tidak tahu dimana keberadaannya.

"Usiamu sudah dua puluh lima tahun sekarang. Artinya kamu sudah semakin dewasa sekarang." Pria itu berkata lagi, kali ini tidak pada pantulan dirinya di cermin melainkan pada sebuah pohon bonsai yang terletak di tengah ruangan.

"Aku penasaran, apa kamu akan tetap sombong dan mengatakan jika kamu lebih tampan dariku jika kamu melihat penampilanku sekarang." Pria itu tersenyum kecut setelah menuangkan segelas air kepada pohon bonsai yang memiliki tinggi sekitar tiga puluh lima centi itu.

"Seperti tahun sebelumnya, aku harap kamu bahagia dan kita dapat segera kembali bertemu dan..." Pria itu menghela nafas sebelum kembali melanjutkan kalimatnya "...jangan membenciku."

Suara pintu terketuk, pria itu lantas menoleh dan mendapati seorang wanita berumur enam puluhan dengan rambut pendeknya melangkah masuk kedalam ruang ganti pakaiannya dimana ia berada.

"Apa aku mengganggu?" Tanya wantia itu lembut.

"Bagaimana bisa seorang ibu mengganggu anaknya, terlebih ibuku sangat cantik." Pria itu tersenyum mengembang seraya memeluk wanita itu.

"Kamu harusnya merayu seorang gadis dan bukan aku yang sudah tua ini." Sahutnya terkekeh tanpa mencoba melepaskan pelukan putranya itu.

"Ibuku tidak pernah menua, sejak aku datang hingga saat ini, kamu tetap saja menawan." Ucapnya, tidak lupa ia mengecup lembut pipi wanita bernama Jane itu.

"Kamu sungguh pandai merayu. Bagaimana bisa aku hidup tanpa memiliki putra sepertimu." Suara wanita itu terdengar lirih, ia tersenyum namun matanya memancarkan kesedihan.

"Aku harap kamu tidak pernah menyesal menjadi putraku." Ucapnya lagi seraya menangkup wajah pria itu, menatap jauh kedalam sorot matanya yang berbinar namun menyembunyikan kesedihan. Jane tidak akan pernah lupa tentang dosa yang telah diperbuat suaminya kepada pria dihadapannya ini.

"Selama ada dirimu dan Mark, aku tidak akan pernah menyesal." Jawabnya tersenyum sebelum mengecup punggung tangan Jane.

"Kamu sangat tampan Will." Puji Jane sebelum melepaskan pandangannya.

"Cepatlah turun, Ayahmu dan Mark telah menunggu di meja makan." Ucapnya sambil lalu dan keluar dari dalam kamar pria bernama William Alexander itu.

Seorang monster yang merantaimu dan kamu harus memanggilnya Ayah.

****

"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu."

"Pembohong besar!" Pria berambut coklat itu tersenyum kecut menatap pantulan dirinya di cermin. Dengan tatapan marah yang tersembunyi dibalik sorot mata kelamnya.

"Kamu akan menyesal karena telah meninggalkanku." Ucap pria berbadan tegap dengan tato bertuliskan "Alone" di lengan kirinya.

Pria berhidung mancung dan kedua mata besar dan jernih dengan bulu matanya tebal dan lentik namun teduh membuat matanya terlihat sayu tapi justru membuatnya semakin terlihat mempesona, bibirnya berwarna peach membentuk seperti hati.

"Aku akan selalu lebih tampan darimu." Pria itu tersenyum sebelum berlalu kearah tempat tidur besarnya lalu meraih sebuah jaket kulit yang terletak di atas tempat tidur dan memakainya sebelum akhirnya melangkah keluar dari dalam kamarnya.

"Kejutan!" 

Langkah pria itu terhenti tepat diambang pintu yang belum dilaluinya. Seorang wanita tersenyum manis kearahnya dengan membawa sebuah kue ulang tahun ditangannya.

"Gadis nakal. Kamu ingin membuatku terkena serangan jantung?" Pria itu mengomel tanpa sungkan tapi suaranya tetap terdengar lembut.

Wanita berambut panjang itu smaa sekali tidak gentar mendengar omelan dari pria yang lebih tinggi darinya itu.

"Kamu terlalu lama di dalam sana, kakiku sampai kram tahu!" Ucapnya mendumal, tidak lupa ia mengerucutkan bibirnya dan membut wajah cantiknya berubah menjadi menggemaskan seketika.

Pria itu tersenyum lalu mengambil alih kue yang dipegang wanita berambut coklat itu sebelum menarik wanita itu kedalam pelukannya.

"Maafkan aku." Ucapnya menyesal.

Wanita itu, melepaskan pelukannya dan menggeleng pelan "Jangan meminta maaf, aku hanya bergurau." 

"Selamat ulang tahun Ray, kekasih ku." Lanjutnya sebelum berjinjit dan mengecup lembut pipi pria bernama Rayhan itu.

Rayhan tersenyum, ia lantas meniup lilin yang tertancap diatas kue.

"Apa permohonan mu?" Tanya wanita bernama Rose itu dengan antusias.

"Tidak ada." Jawabnya singkat sebelum melangkah menuntun Rose menuju meja di depan televisi.

"Kamu harusnya membuat permohonan." 

"Aku tidak menginginkan apapun, karena aku sudah memilikimu." 

Wajah Rose merona mendengar rayuan dari kekasihnya itu, bukan tanpa alasan karena Rayhan sangat jarang sekali melontarkan kata-kata rayuan.

"Lihatlah, kamu tersipu." Goda Rayhan sambil memotong kue ulang tahun miliknya dan memberikan suapan pertamanya pada Rose.

Sambil mengunyah Rose bergumam "Aku tidak tersipu." Elaknya.

"Benarkah? Padahal wajahmu sangat cantik jika sedang tersipu." 

"Oh ayolah Ray, jangan menggodaku terus!" Protes Rose gugup, kini ia benar-benar tidak dapat menyembunyikan lagi rona diwajahnya karena Rose daoat merasakan jika wajahnya terasa memanas.

Rayhan kemudian tersenyum sebelum meletakan kuenya dan menyentuh lembut tangan Rose.

"Aku ingin menikahimu." 

Rose mengangkat bulu matanya dan menatap Rayhan, membaca raut wajah kekasihnya itu apa ia tengah bergurau atau memang bersungguh-sungguh.

"Apa kamu mau menikah denganku?"

"Kamu tidak sedang menggodaku kan?" Tanya Rose hati-hati, ia tidak ingin terlalu berharap banyak karena sebelum mereka benar-benar menjalin kasih, Rayhan pernah mengatakan jika ia tidak akan pernah menikah.

Rayhan tersenyum, ia kemudian melepaskan tangan Rose dan kembali menatap layar televisi.

"Apa kamu tidak ada jadwal hari ini?" Tanyanya mengalihkan pembicaraan.

Dia hanya bergurau...

Rose menelan bulat-bulat rasa kecewanya dan mencoba untuk tetap tersenyum "Aku memang harus segera kembali latihan, konser tunggal ku akan diadakan dua minggu lagi." Ucapnya, Rose segera meraih tasnya dan beranjak bangun.

"Aku akan pergi sekarang." Ucapnya berpamitan.

Rose tidak bisa, walaupun ia mencoba menahan rasa kecewanya namun ia dapat merasa jika air matanya mendesaknya untuk menetes dan menyesakkan dadanya.

"Rose." Rayhan memanggil kembali membuat langkah Rose terhenti.

"Ya?" Jawabnya tanpa menoleh, sementara air matanya sudah menepi di pelupuk matanya bersiap untuk menetes.

"Aku tidak menggoda mu." 

Air mata Rose akhirnya benar-benar menetes tidak terbendung, saat tangan kekar Rayhan perlahan memeluknya dari belakang dan mendekapnya hangat.

"Mari kita menikah." Bisiknya, perlahan Rayhan membalikan tubuh Rose menghadap kearahnya.

"Oh aku membuatmu menangis. Aku sungguh minta maaf." Ucapnya terkekeh pelan, ia tidak menyangka jika Rose akan sampai menangis karena ia memang senang menggoda kekasihnya itu tapi lamaran yang baru saja ia ucapkan memang tulus berasal dari keinginan dalam hatinya untuk segera memiliki Rose seutuhnya, kekasihnya yang sudah cukup lama bersamanya.

"Aku ingin hidup selamanya bersamamu." 

Rayhan mengecup singkat kening Rose sebelum memakainya sebuah kalung dengan inisal R berbubuhkan berlian di leher jenjang Rose.

"Pria jahat!" Umpatnya sebelum memukul pelan dada Rayhan pelan dan kembali menangis.

"Aku mencintaimu." Ucap Rayhan lembut.

"Aku membencimu." Balas Rose yang masih merasa kesal, ia sudah merasa sangat kecewa sebelumnya dan ternyata Rayhan hanya mempermainkannya. Walaupun Rose merasa bahagia sekarang tapi tetap saja masih ada sedikit kekesalan didalam hatinya.

"Jadi kamu sudah tidak mencintaiku? Kamu menolak lamaranku?" Tanya Rayhan, nada suaranya terdengar seolah-olah ia kecewa padahal ia tahu jika Rose hanya mengungkapkan kekesalannya.

"Tentu saja aku terima!" Sahutnya dengan cepat sambil mendongakkan kepalanya menatap Rayhan, pria tampan yang masih tersenyum menggodanya. "Kamu tahu bukan jika aku sangat mencintaimu." Cicitnya pelan sebelum menenggelamkan wajahnya di dada bidang Rayhan.

"Awas saja jika kamu berani berhenti mencintaiku." Ancam Rayhan.

"Tidak akan pernah!" Jawab Rose tegas, dan tentunya senyuman Rayhan semakin mengembang kini.

"Sayang sekali aku ingin memelukmu lebih lama tapi kamu harus pergi latihan." Goda Rayhan membuat Rose kembali memukul dadanya.

"Oh ayolah Ray! Kamu menyebalkan."

'Permohonan ku adalah, aku ingin kembali bertemu dengan kakak ku dan menunjukkan kepadanya jika aku memiliki kehidupan sempurna walau ia meninggalkan ku.'

.....

avataravatar
Next chapter