1 P R O L O G

"Tolong diterima kak, bunga ini saya belikan khusus untuk kakak." Seorang gadis dengan rambut terkepang dua memberikan sebuket bunga lily kehadapan Liam.

Cowok dengan baju dikeluarkan tersebut sontak mundur dua langkah, matanya melotot marah. Tanpa rasa kasihan, Liam mengambil bunga lily tersebut kemudian menjatuhkannya ke lantai koridor dan memijak hingga hancur tidak bersisa. "Gue alergi bunga lily! Lo mau buat gue meninggal, hah?" sentak Liam tidak berperasaan.

Gadis itu terkesiap kaget, menerima penolakan dari Liam bukanlah hal baru untuk kaum hawa disana, namun tetap saja rasanya menyakitkan. "M-maafkan saya kak, saya —"

"Lo pikir maaf lo bisa membangkitkan gue kembali, kalau seandainya gue mati karena nerima itu bunga?" rahang Liam mengeras, pandangannya kaku dan tajam.

Orang-orang dikoridor kelas XII menutup mulut mereka tidak percaya, kilatan lampu ponsel memenuhi indera penglihatan Liam dan gadis cupu dihadapannya. "Gue —"

"Liam, udah!" tarikan kasar menghentikan aksi Liam yang mencoba mendorong gadis dihadapannya. Liam menyentak kesal pegangan Christian.

"Lo jangan main kasar sama cewek, mendingan balik ke kelas. Bel masuk udah bunyi." Kali ini Andreas mencoba menengahi ketegangan yang tengah terjadi. Tidak ada yang seberani itu untuk menghalangi Liam dalam bertindak kecuali keluarga dan sahabatnya.

Liam menghela nafas kesal, kemudian menyorot tajam gadis yang masih berdiri kaku didepannya. "Jangan pernah sekali pun, lo munculin wajah lo lagi dihadapan gue!" setelahnya, Liam, Andreas, dan Christian berlalu memecah kerumunan yang padat disekeliling mereka sehingga menyisakan kebisuan.

Tanpa disadari oleh mereka semua, bahwa Tuhan telah menyiapkan pelajaran kepada Liam, untuk tidak bersikap kasar dan semena-mena. Hukuman yang manis dan menarik.

****

Seorang gadis dengan rambut tergerai menelusuri koridor dengan langkah panjang dan cepat, tubuh rampingnya dapat dengan mudah menyelip diantara kerumunan yang padat, siswa siswi berebutan memasuki kelas agar tidak mendapatkan hukuman dari guru.

Sheila Antariksa menggerutu sebal, kelasnya yang berada di ujung koridor kelas XII sangat menyusahkan, ingatannya melayang jauh ketika berada dikantin tadi.

'Kalau aja tadi gue nggak numpahin jus ke seragamnya Lilya, pasti gak bakalan telat gini kan masuknya!' Batin Sheila berteriak frustasi.

Matanya berkilat bahagia kala melihat koridor tidak ramai lagi karena mayoritas murid sudah memasuki kelas. Dengan mempercepat langkah, Sheila menelusuri koridor hingga berlari tanpa menyadari bahwa tali sepatunya sudah terlepas.

Saat sedikit lagi hendak mencapai posisi kelasnya, sebelah sepatu Sheila terlepas dari kakinya. "Astaga!" pekiknya terkejut sambil menoleh kebelakang. Sheila menggeram kesal, kemudian beranjak hendak mengambil sepatunya.

Baru saja ingin melangkahkan kaki, seseorang memijak sepatu Sheila, kemudian tergelincir dan terjatuh. Seseorang berbadan besar tersebut mendesis perih, "Shit!" umpatnya kesal sambil mengusap bokong.

Sheila meringis sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sosok yang terjatuh tadi berdiri tegap dihadapannya. Sheila merasa ciut dan kecil dibandingkan orang tersebut, dengan perasaan bersalah mendalam Sheila mendongak. Tatapannya bersitubruk dengan seorang pemilik wajah tampan, Sheila meneguk salivanya susah payah. "M-maaf —"

"APA? MAAF?!" Sheila terpelonjak kaget, matanya menatap horor Liam yang berada dihadapannya.

'Wajah saja tampan, namun kelakuan seperti dajjal!' Batin Sheila mencibir karena merasa menyesal sudah mengangumi wajah Liam meskipun hanya sebentar saja sebelum cowok maskulin dihadapannya mengeluarkan suara. "Iya, Maafin gue karena udah buat lo jatuh."

Liam tertawa sumbang namun iris matanya menggelap. "Maaf setelah buat gue nyaris kehilangan nyawa?" rahangnya mengetat menahan geraman rendah. "Gila ya lo!"

Sheila tergagap, bagaimanapun dirinya tetap salah dan tidak termaafkan karena hampir membuat cowok yang diagungkan disekolah ini kesakitan. "Iya, gue tau gue salah." Sheila menggaruk kepalanya frustasi, matanya berkaca-kaca.

"Kalau tadi gue kenapak-kenapa lo —"

"Demi Tuhan, gue nggak mau itu terjadi. Gue nggak mau dosa!" suara Sheila bergetar. 'Perasaan sialan, kenapa harus nangis disaat gue dituntut tanggung jawab?!'

Liam terperangah, alisnya menukik tajam. "Kenapa jadi lo yang nangis?!" hardiknya sebal, menghadapi perempuan menangis itu menyulitkan.

"G-gue minta maaf..." Sheila terisak dalam, "Lo mau apa dari gue?"

Liam mendengkus sebal, namun hanya sebentar karena sebuah ide terlintas dibenaknya. "Jadi pacar gue!"

avataravatar
Next chapter