1 Chapter 01 "Guru Baru di Sekolahku"

Sejauh mata memandang, hamparan awan yang berlatarkan cahaya mentari senja bergelung indah di bawah kakiku. Laksana karpet seputih kapas yang lembut memanja mata. Membuat siapa pun ingin bermain-main di atasnya hingga lupa waktu. Mungkin akan seru jika aku bisa berlarian atau berguling-guling di atas awan. Sayangnya, aku tidak punya teman robot kucing yang akan membantuku mewujudkan hal ajaib seperti itu. Begitu kakiku menjejak di atas awan, aku akan langsung jatuh ke atas tanah dari ketinggian. Nyatanya, memandanginya saja dari dalam pesawat sudah membuatku puas.

Saat ini aku berada dalam perjalanan ke Moskow untuk pertemuan bisnis dengan perusahaan besar dunia yang berpusat di sana. Di usiaku yang telah menginjak dua puluh lima ini, aku telah menjadi seorang pebisnis profesional yang memiliki total kekayaan lebih dari ratusan milyar rupiah. Belasan mobil mewah, hotel berbintang lima, rumah bertingkat, serta vila di pulau tropis dapat kumiliki dalam waktu kurang dari satu tahun. Aku sudah bukan lagi penjual siomay keliling yang berpenghasilan pas-pasan. Saat ini apa pun yang kuinginkan dapat kubeli dengan jentikan tangan.

Contohnya saja, sekarang aku ingin membeli dua buah tas Louis Vuitton keluaran terbaru. Satu untuk digunakan saat bekerja, sementara satu lagi untuk travelling. Aku tinggal menekan tombol pada ponselku seperti ini, lalu voila! Dua buah tas mewah itu akan diantar ke rumahku dalam beberapa hari. Kalian masih belum percaya? Baiklah, kali ini aku akan membeli mobil mewah untuk keseharianku bekerja. Aku menekan tombol lagi seperti ini, dan ... voila!

*BYUUURRR!!!!

"Haaah...!" teriakku sambil membuka mata.

Dipaksa berpindah dari dunia kegelapan dengan cepat membuat gerigi otakku belum bisa berputar semestinya. Aku mendapati diriku terduduk di atas kasur yang basah sembari mengusap-usap mata. Kemudian kepalaku berputar ke sekeliling. Meja belajar yang kayunya sudah lapuk, lemari pakaian tiga tumpuk yang terbuat dari plastik berwarna-warni, serta pintu kayu geser yang selalu mengeluarkan suara nyaring ketika dibuka. Ruangan sempit seluas 3x2 meter ini adalah kamarku.

"Sudah bangun?" ucap seorang wanita paruh baya berdaster berdiri di sampingku. Tangannya bertolak pinggang sembari memegang gayung. Matanya melotot padaku seakan hendak keluar.

"Duh, Ibu! Ngapain sih, bangunin aku pakai ngebanjur!? Aku tadi lagi enak-enaknya mimpi jadi orang kaya. Aku bisa menghasilkan uang satu milyar sehari tanpa meninggalkan rumah. Kenapa ibu—."

"Heh! Lihat ini sudah jam berapa? Matahari sudah tinggi, ayam juga sudah berkokok. Kenapa anak perawan ibu satu-satunya masih enak tidur? Sholat saja engga, bantuin ibu masak juga engga, kalau terus begitu mana ada laki-laki yang mau sama kamu. Kamu bisa jadi perawan tua nanti! Mau??"

"Tapi, Bu—."

*TOK!

"Ngelawan aja kalo dibilangin orang tua!" ucap ibuku geram sembari menggetok kepalaku dengan gayung. "Sudah, cepat mandi sana! Siap-siap berangkat sekolah lalu sarapan! Sudah jam setengah tujuh ini."

"Iya, Bu!"

Ibu segera keluar kamarku dengan mulut yang menggerutu. Sementara aku masih terduduk di atas kasur lantai sembari memegangi dahiku yang baru saja dipukul dengan gayung. Aku lekas menoleh ke arah jam dinding. Benar saja kata ibuku, ini sudah jam setengah tujuh. Lewat malah! Jam menunjukkan pukul 06.40.

Aku buru-buru bangkit dan segera mandi. Jarak sekolah dari rumahku memang terbilang sangat dekat, hanya sekitar satu kilometer saja, dan dapat ditempuh lima belas menit dengan berjalan kaki. Tapi waktu yang tersisa sebelum bel sekolah berbunyi tinggal dua puluh menit, aku pasti akan telat. Belum lagi ditambah dengan berganti baju dan sarapan yang akan memakan waktu lebih banyak lagi.

Karena itulah aku mempersingkat waktu mandiku dengan membatalkan konser mini yang biasa kulakukan di kamar mandi.

"Ya ampun, Erlin! Belum juga lima menit! Kamu mandi apaan?" tukas ibu setelah melihatku keluar kamar mandi.

"Mandi bebek!" jawabku singkat.

Setelah berganti baju dengan seragam sekolah, aku segera membereskan tas, yang sialnya lupa kulakukan kemarin malam. Tanganku mengeluarkan buku-buku dari dalam tas, dan menggantinya dengan jadwal pelajaran hari ini. Sebelum berangkat ke sekolah, tidak lupa aku memberi riasan kecil pada wajah, serta mengikat rambut panjangku dengan gaya kunciran panjang seperti ekor kuda.

Sebenarnya, aku lebih suka dengan potongan rambut pendek sebahu. Karena tidak terlalu gerah dan tidak susah untuk merawatnya. Tapi karena ada suatu alasan, aku membiarkannya tumbuh panjang. Kendati demikian, aku merasa gaya kunciran seperti inilah yang cocok dengan diriku. Aku merasa minder bila membiarkannya tergerai karena rambutku sedikit ikal.

Beberapa menit kemudian aku menuju pintu depan dengan tergesa-gesa. Memakai sepasang sepatu berwarna hitam yang menjadi peraturan umum di banyak sekolah negeri ini.

"Erlin, kamu tidak sarapan dulu?" panggil ibu dari dapur.

"Enggak, Bu! Erlin sudah telat. Nggak bakalan sempat kalau sarapan dulu. Aku pergi dulu, Bu! Assalamu'alaikum!"

Begitu keluar rumah, aku langsung berlari-lari kecil di sepanjang jalan. Mataku melirik ke arah jam tangan yang kukenakan. Pukul 06.50. Tersisa sepuluh menit lagi untuk sampai ke gerbang sekolah. Karena begitu pukul tujuh tepat, satpam sekolah akan menutup gerbangnya apa pun yang terjadi. Kalau sudah seperti itu, murid yang telat baru bisa masuk setelah mendapat izin dari guru BK, yang tentu saja akan mencoreng angka kehadiran di laporan nilai semester.

Sebagai murid dengan kehadiran sempurna selama tahun pertama, aku tidak mau merusak rekor itu. Aku mempercepat langkah hingga setengah berlari.

Akhirnya beberapa menit kemudian aku sampai ke sekolahku, SMA Pelita Harapan setelah benar-benar berlari kencang. Bulir-bulir keringat menetes dari dahiku, sebagian bajuku pun basah oleh keringat, napasku juga memburu seperti baru saja dikejar anjing. Tapi ini semua masih lebih baik dari pada terlambat.

Baru saja aku hendak melangkah menuju bangunan sekolah, gerbang sudah ditutup oleh satpam, mengurung beberapa murid yang terlambat beberapa detik saja. Aku merasa kasihan, namun di sisi lain merasa senang karena tidak termasuk di antara mereka.

Mengabaikan jeritan keputusasaan di belakang punggung, aku bergegas menuju ruang kelasku. Kuambil langkah cepat melewati bangunan pertama yang menjadi tempat belajar murid kelas tiga. SMA Pelita Harapan memiliki tiga bangunan utama. Bangunan pertama diperuntukkan kepada murid kelas tiga, sengaja dipisah dengan kelas satu dan dua yang menempati bangunan kedua. Sementara bangunan ketiga yang paling besar adalah gabungan antara ruang guru, ruang kepala sekolah, aula, kantin, perpustakaan, serta laboratorium. Sekolah ini juga memiliki dua lapangan, satu lapangan utama yang cukup besar, serta satu lagi di belakang sekolah dekat kolam ikan. Fasilitas sekolah ini cukup bagus di antara sekolah lainnya di sekitar rumahku. Karena itulah aku memilih tempat ini untuk bersekolah.

"Ya ampun, Erlin! Kamu habis maraton sepuluh kilo? Kok keringetan begitu, sih?" tanya Nana, teman sebangkuku, begitu melihatku yang baru saja sampai di kelas.

"Kalau aku nggak lari, aku bakal terlambat," ujarku yang terengah-engah, menaruh tasku di atas bangku. Kemudian mengambil sebuah buku dari dalam tas dan mengipaskannya pada badan.

"Telat? Rumahmu kan dekat dari sini. Kok bisa telat? Kamu tidur larut malam kemarin?"

Aku mengangguk sambil nyengir. "Semalam ada semifinal Liga Champions. Sayang dong kalo gak ditonton?"

"Duh, Erliiiiin...! Kamu ini cewek apa cowok, sih?"

"Memang salah kalo cewek nonton bola?" balasku merengut. "Gak ada aturannya, itu cewek gak boleh nonton bola. Jadi ga masalah, kaaan?"

"Terserah kamu saja deh!"

Bel sekolah berbunyi pukul 07.15 tepat. Menandakan jam pertama kegiatan belajar-mengajar di sekolah ini telah dimulai. Seluruh murid di sekolah ini tampaknya sudah berada di kelasnya masing-masing karena aku tak melihat satu pun murid di luar kelas. Aku duduk di bangku paling depan sebelah kiri, tepat di samping jendela dan di depan meja guru.

Pada saat hari pertama masuk sekolah di tahun kedua, tak ada yang mau menduduki kursi angker ini. Kebanyakan murid di kelasku lebih memilih memadati bangku dari pertengahan hingga belakang, yang menurut mereka aman dari pengawasan mata guru-guru yang setajam elang. Maka dari itu aku dan Nana terpaksa menempatinya hingga sampai detik ini.

Aku mengeluarkan buku paket Bahasa Inggris yang menjadi mata pelajaran pertama di hari ini. Kucoba mengulas sedikit tentang bab-bab sebelumnya. Di saat itulah Nana menyenggol sikutku.

"Etdaaah ... sok-sokan belajar nih?" goda gadis berambut sebahu itu dengan nada yang mengejek. "Guru baru kita nanti katanya laki-laki muda. Kamu sengaja belajar biar di dikira pintar sama guru itu, ya?"

"Apaan sih? Aku belajar biar enggak lupa," tukasku dengan ketus. "Lagian aku gak peduli guru itu laki-laki atau perempuan. Selama dia bisa mengajar, ga masalah."

"Yakiiiin? Kalau nanti gurunya cogan, awas saja kalo kepincut!"

Mengabaikan suara tawa Nana yang terkekeh-kekeh, aku memfokuskan diriku pada materi yang kubaca. Untuk pelajaran yang satu ini aku butuh usaha ekstra untuk memahaminya. Entah mengapa sejak Bahasa Inggris ada di pelajaran sekolah dasar, aku masih belum bisa menguasainya. Terkadang aku dibuat kebingungan dengan tenses yang digunakan, atau irregular verb, atau lagi susunan kalimat yang benar. Banyak orang bilang Bahasa Inggris itu mudah. Nyatanya, aku yang sudah mempelajarinya dari SD tetap tak bisa. Seakan-akan aku memang tidak berjodoh dengan pelajaran ini.

Aku tengah serius dengan materi tenses, hingga akhirnya aku menyadari ada sesuatu yang salah. Suasana kelas yang semula riuh oleh percakapan orang-orang, mendadak membisu. Semua suara seakan lenyap tanpa bekas. Saat itulah aku mendapati seseorang yang tengah memasuki ruang kelas, menjadi pusat perhatian kelas ini.

Ia adalah seorang pria muda dengan seragam krem tua, setelan yang sama dengan semua guru di sekolah. Namun aku tidak mengenalnya. Tinggi badannya cukup bisa dibanggakan untuk ukuran seorang pria sepertinya. Hidungnya mancung seperti orang Arab. Matanya yang datar memberi kesan misterius dan tertutup pada dirinya. Seakan memang sengaja membuat orang lain ingin mengorek lebih dalam lagi tentangnya. Janggut dan kumis yang dicukur tipis terlihat sangat serasi dengan wajah berlian yang pria itu miliki. Secara keseluruhan ia orang yang cukup menarik.

Pria itu menaruh beberapa buku yang ia bawa ke atas meja guru. Setelah itu menatap ke seluruh kelas dengan pandangan yang dalam. "Perkenalkan, nama saya Adrian. Dan mulai saat ini, saya yang akan mengajar Bahasa Inggris di kelas ini."

Jujur saja, itu adalah pertemuan yang terbilang cukup biasa. Namun saat itu aku tidak menyadari bahwa ... pria ini yang akan menjadi suamiku beberapa bulan mendatang.

avataravatar