1 First Kiss

Sore tibanya, Friska datang untuk menemui Bryan. Di sana Helen berdiri menyambut Friska dengan baik. Sampai sekarang Bryan belum juga kembali dari seminar. Sudah disampaikan oleh Bryan, dia akan menemui seseorang. Tapi, tidak tahu siapa dia jumpai. Helen mencoba untuk mencari alasan agar Friska tidak marah. Jika pun marah, ia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Sebagai sekretaris itu sungguh menyiksa banget daripada karyawan biasa.

"Bryan-nya ada?" tanya Friska tengah berdiri di depan meja kerja Helen

"Maaf Bu, Pak Bryan sedang tidak ada di tempat," jawab Helen sopan dan ramah.

"Apa? Tidak ada di tempat? Kamu sudah beritahukan kepadanya hari ini

di restoran Sunda?" cicit Friska mencurigai Helen tidak memberitahukan padanya.

"Sudah, Bu," kata Helen.

Friska pun mengentakkan kedua kakinya kesal, lalu ia kembali pergi segera menelepon Bryan. Helen lega tidak mendapatkan amukan dari Friska. Sudah pukul setengah enam. Helen bersiap untuk pulang.

Bryan sedang bercinta dengan salah satu sahabatnya yakni Indri, teman hubungan seks-nya. Setiap Bryan mendapat masalah dengan kantornya. Hanya Indri yang bisa memuaskan nafsunya.

"Aahhh..." desah Indri yang seksi.

Deringan ponsel milik Bryan berbunyi, Bryan membiarkannya. Dia sedang mencapai puncak saat ini. Tapi tetap saja telepon berbunyi kembali. Membuat Indri tidak bisa menikmati dengan tenang.

"Sayang, angkat dulu teleponnya, mungkin penting," ucap Indri, Bryan mendengus mau tak mau pun menunda hubungan intimnya. Ia pun mengambil ponsel dilihat dari Friska.

"Ya, ada apa?!" tanya Bryan kesal.

jawab sambungan dari Friska yang manja.

"Aku sudah beritahukan ke sekretarisku, kalau aku sedang menemui seseorang," ucap Bryan tenang.

"Baiklah, sebentar lagi aku ke sana." Ditutup ponselnya kemudian ia bangun dari posisinya dan mencium bibir Indri, ia harus bersiap ke restoran Sunda.

"Siapa? Dari tunanganmu?" tanya Indri melihat Bryan telah memakai semua pakaiannya.

"Iya, maaf kita tidak bisa melanjutkannya. Mungkin lain waktu kita melakukannya," jawab Bryan keluar dari apartemennya.

Di dalam mobil, Bryan akan memarahi Helen. Ia pun menuju ke restoran Sunda. Di sana Friska sudah menunggunya dengan beberapa hidangan di meja.

Sedangkan Helen, baru sampai di rumah kontrakannya, hari ini benar-benar sangat melelahkan, ia langsung membersihkan diri. Kemudian setelah selesai mandi ia pun langsung memasak indomie untuk mengisi perut yang sudah kosong.

Tidak butuh waktu yang lama, cukup lima menit sudah jadi indomie polos ala Helen. Sejak kerja di kota tetangga, Helen memang sengaja sewa rumah kontrakan dan terlihat mandiri.

Ponselnya berbunyi, baru saja ingin masuk ke mulut satu suapan harus tertunda. Dirogoh tas mencari ponselnya yang berbunyi itu.

Helen langsung mengangkatnya. "Ya, Pak," sambut Helen sopan.

perintah Bryan dari seberang.

"Tapi, Pak. Saya baru saja mau—" Belum selesai membantah.

bentaknya lalu dimatikan panggilan telepon itu.

Helen menjauhkan ponselnya dari telinga menatap layar sudah tidak menyala. Kemudian Helen mendengus sebal atas sikap bos-nya.

"Bisa nggak sih kasih hidupku lebih tenang!" omel Helen geram. Indomie yang ia masak harus ditunda, tapi ia menyuap satu sendok dulu di mulut agar bisa terkumpul tenaganya.

Bryan menggoyangkan kakinya menunggu Helen tidak kunjung datang. Sudah lewat lima menit. Jam arloji Bryan kecepatan 1 menit.

Helen pun sampai namun ia terengah-engah kehabisan napas setelah berlari maraton gara-gara lift rusak, jadi ia menggunakan tangga darurat menuju lantai enam. Ia pun mengatur napasnya kemudian menekan bel itu, lalu tidak berapa lama kemudian seseorang membuka pintu itu.

"Terlambat 2 menit," ucapnya datar.

"Ada apa memanggil saya?" tanya Helen ketus.

"Cuma temani saya makan," jawabnya duduk di sofa dan di mejanya sudah ada terdapat beberapa makanan khas Sunda.

"Hanya temani? Kenapa mesti harus saya? Ini bukan jam kerja, Pak?!" protes Helen kesal.

"Iya tahu bukan jam kerja, sudah ikut makan saja, kok ribet. Saya tahu kamu belum makan," ucap Bryan senyum.

"Tidak perlu saya sudah keny—"

suara perut Helen berbunyi, Bryan menatapnya sejenak dan senyum miring.

"Tidak perlu malu, saya tidak mau sekretaris saya sakit. Nanti dibilang Bos-nya kejam lagi," lanjutnya berkata. Helen pun melangkah duduk berhadapan dengannya.

"Memang kok, kejam," gumam Helen.

"Kamu bilang apa tadi? Saya dengar," ucap Bryan datar.

"Tidak, Bapak tampan, baik banget sampai tahu saya belum makan dari tadi," balas Helen dusta.

"Oh..."

Helen mulai makan bersama Bryan tanpa bersuara. Bryan melihat sesekali paras wajah Helen tanpa make'up. Lebih

dan lebih cantik daripada make'up. Rambut sembarangan diikat, tanpa ada lipstik dibibirnya. Merah merona, baju kasual polos santai. Bryan menelan salivanya tergiur sama tubuh sekretarisnya.

Helen merasa diperhatikan terus sama manusia di depan, ia pun meletakkan piring di atas meja, dan telah selesai memakan sajian itu. Sementara Bryan diam-diam mencuri pandangan sosok bidadari cantik di depannya.

"Uuhh ... Kenyang banget, Terima kasih, ya, Pak, makanannya. Sering-seringlah agar saya tidak asyik makan indomie instan di rumah," ucap Helen menepuk-nepuk perutnya yang rata itu.

"Kamu sering makan Mie instan?" Bryan terkejut mendengarnya.

"Iya, bagaimana saya bisa makan seenak seperti Bapak. Pulang kerja saja sudah sore banget. Belum lagi jalanan macet, sampai rumah sudah jam tujuh malam. Apalagi Bapak kadang suka-suka panggil saya secara mendadak seperti tadi baru satu suap indomie belum ke mulut sudah ditelepon datang ke sini," mengeluh Helen mengadu pada Bryan. Bryan mendengarnya pun ikut memprihatin.

"Ya sudah, mulai besok kamu tinggal di rumahku dan di kulkas banyak sayur, mungkin kamu bisa masak sesukamu," ucap Bryan bersimpati pada Helen.

"Tidak perlu, Pak. Tidak enak sama yang lain. Nanti dikira saya di gosip yang tidak - tidak lagi sama orang kantor," tolak Helen sedih.

"Yang meminta kamu tinggal di sini, saya. Bukan orang lain. Buat apa mereka gosip yang aneh-aneh. Kalau ada gosip siap-siap amplop putih di meja mereka atau seperti Cindy?" tegas Bryan menatap nanar pada Helen.

"Tidak apa-apa, Pak. Saya sudah terbiasa kok. Saya tidak perlu dikasihani. Sudah terbiasa hidup seperti ini kok, Pak. Ya sudah, Pak. Tidak ada lagi kan. Saya permisi pul—" Suasan di apartemen berubah entah apa yang merasuki lelaki ini sehingga berani mencium bibir merah merona tanpa seizin dari pemiliknya. Helen berdebar-debar tidak karuan apa lagi, syok dengan yang barusan terjadi.

.

"Tinggallah di sini. Semua kebutuhan saya yang tanggung," ucap Bryan pelan. Helen seperti terhipnotis hanya karena ciuman.

Ini yang disebut ciuman panas, ciuman yang mengesan oleh seluruh wanita yang akan mulai jatuh cinta saat jantung menopang debaran tidak teratur.

avataravatar
Next chapter