webnovel

Masalah Xela

     Xela duduk bersila di atas ranjang berukuran mini di kamar kost nya.

Tangannya memijat kepalanya frustasi, sekali gadis itu melirik smartphone yang berdering terus-menerus.

Air mata gadis itu tiba-tiba lolos dari kelopak mata cantiknya, rambut panjang yang terurai berantakan sebagian menempel di pipi yang basah oleh air mata.

Bagaimana bisa, aku tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi ini semua.

Bisa di ketahui gadis itu sedang dalam masalah. Siang yang panas tidak membuatnya gerah, malah rasanya Xela ingin demam.

Sekali lagi smartphone gadis itu berdering, pesan singkat masuk.

Xela bagaimana kehidupan mu kota K, apa kamu bahagia? Apa disana kehidupan mu terjamin?

Tertera disana nama seorang yang mengirim pesan adalah 'Fiana' yang tidak lain adalah kakaknya sendiri.

Xela memiliki kakak dan adik selain kakak sulungnya, ia anak ke tiga dari empat bersaudari.

Kakaknya yang kedua bernama Anna, dan adiknya yang bungsu bernama Chesi

Ayahnya telah meninggal sejak Xela berusia 5 tahun.

Sekarang gadis itu sudah tumbuh dewasa, ia sudah berusia 18 tahun. Xela duduk di kelas dua SMA, ia bersekolah di kota K berkat prestasinya yang mendapatkan beasiswa.

Kembali Xela melihat pesan singkat dari kakak sulungnya. Ia tahu jika kakak sulungnya selalu saja berulah untuk memancing amarahnya.

Xela berusaha menahan amarahnya saat ini. Ia tahu kehidupan di kota sangatlah sulit, pekerjaan tidak mudah didapatkan begitu saja jika tidak di cari dengan serius dan waktu luang yang bisa digunakan untuk  bekerja dengan waktu penuh.

Xela menengadahkan kepalanya, pernapasannya mulai tersumbat oleh karena sedikit isakan tangis.

Ia teringat saat ia berdebat dengan kakak sulungnya sebelum berangkat ke kota K.

    "Lebih baik kamu tinggal di kampung saja Xela. Berkebun, membantu ibu yang masih memiliki hobi berkebun. Barangkali kamu cepat menemukan jodoh dan kamu tidak meresahkan di keluarga ini. Biarkan hanya Chesi yang di perjuangkan nanti agar Chesi lulus sampai sarjana."

Ucap Fiana, kakak sulungnya kala itu.

"Nggak. Aku nggak mau berkebun. Kakak aja yang tidak percaya sama sekali denganku. Aku sering keluar belakangan ini bukan karena ingin berpacaran, tetapi aku ada kegiatan di luar sana yang butuh pelatihan."

Xela membela diri.

"Pelatihan apa? Pergi lebih dari tiga jam. Mana waktu untuk bekerja. Asal kamu tahu hidup itu butuh bekerja. Kalau kamu masih ingin kakak membiayai kamu sekolah, kamu harus bisa menuruti apa kata kakak. Lihat Chesi yang pandai bekerja, sementara kamu kakak nya tidak bisa apa-apa hanya bisa habiskan uang saja."

Ucapan menyakitkan itu terlontar membuat dada Xela sangat sesak.

"Oke kalau begitu. Ingat kak, setelah lulus SMP. Aku akan pergi meninggalkan kampung. Aku pasti akan dapat beasiswa, aku akan tinggal di kota. Aku tidak mau memiliki bakat tetapi tidak di kembangkan."

"Omong kosong Xela. Kamu saja tinggal disini jaga warung tidak becus. Bagaimana tinggal di kota nanti, mau tinggal dimana? Kehidupan ekonomi bagaimana?"

Fiana tersenyum getir menunjukkan rasa tidak percaya kepada omongan Xela.

Xela merasa di remehkan dan disitu semakin kuat keinginannya untuk pergi ke kota dan hidup disana.

"Baiklah kak. Aku tahu aku ini orang yang tidak bisa apa-apa. Aku payah, aku tidak becus bekerja. Tapi aku berjanji selama di kota aku tidak akan mau meminta atau menerima sepeser pun uang dari kakak kalau kakak memang tidak mau membantu ku. Aku berjanji akan menjadi orang sukses kelak.

Aku masih muda, bukankah bodoh sekali perkataan mu sebelumnya kak. Kakak mengatakan kepada cepat mendapat jodoh. Aku masih 16 tahun kak. Lucu dan bodoh kalau misalnya nikah muda."

Itulah kilas balik tentang Xela. Ingatan itu membuat gadis 18 tahun itu semakin mengacak rambutnya dan ingin berteriak meratapi nasibnya. Tapi apa boleh buat, jika ia berteriak di kamar kos mini yang ia tempati pasti penghuni kost yang lainnya akan terganggu atau bahkan penasaran akan apa yang terjadi keadaanya.

Gadis itu memilih meringkuk saja daripada membuka mulut selebar mungkin dan mengeluarkan suara berisik seperti orang frustasi berat pada umumnya, ia tahu berada di lingkupan tembok alias lokasi kos padat yang banyak penghuni tentu membuatnya harus menjaga image agar ia hidup tidak mudah di cela dan masalah hidupnya pun tidak akan orang lain tahu.

    Disaat gadis itu berusaha menenangkan diri agar air matanya tidak tumpah sebanyak mungkin. Ia pun memilih untuk memikirkan apa yang akan ia kerjakan, merancang hal yang berguna. Toh, percuma buang air mata sebanyak mungkin dan membuat wajah cantiknya menjadi bengkak.

'DRRTT'

Xela mendengar lagi deringan smartphonenya.

Segera ia membuka pesan singkat WhatsApp yang ternyata dari sahabatnya, Ghea.

    Xel, Lo sibuk gak?

Isi pesan Ghea.

  

    Oh nggak ni. Ada apa?

Xela segera membalas pesan singkat sahabatnya itu.

    Oke, to the point aja ya Xel. Gue tahu lo butuh pekerjaan. Gue mau tawarin lo pekerjaan, hasilnya lumayan kalau lo berhasil melayani clien dengan baik.

Pesan balasan dari Ghea membuat Xela segera mengubah air mukanya. Mukanya berseri-seri seperti bunga mekar setelah mendapatkan energi.

Xela membalas pesan lagi dengan semangat.

    Wah rau aja sahabat gue. Iya gue mau deh. Gue terima tawaran lo. Tapi pekerjaannya apa ya kalau boleh tahu?

    Kalau gitu datang aja kesini. Gue gak bisa ngomongnya lewat via chat. Lo dateng, gue akan kasi alamat soalnya gue nggak dirumah.

Balasan pesan yang dinanti Xela akhirnya sukses membuatnya bergegas untuk bersiap-siap karena alamat yang akan ia tuju untuk menemui Ghea sudah terkirim.

    Oke gue otw. Tapi maklumi kalau lama, soalnya gue jalan kaki.

Balas Xela jujur, kebetulan alamat yang di beri Ghea tidak jauh letaknya dari kostnya, kira-kira hanya butuh waktu selama 20 menit saja jika berjalan kaki.

    Gadis itu dengan semangat bersama langkah pastinya, pakaian yang ia gunakan sederhana hanya sepasang kameja putih kotak-kotak berlengan panjang yang pas di tengah tubuh rampingnya dan jeans berwarna biru laut, ia menggunakan sepatu putih agar selaras dengan kameja yang di gunakannya.

Semoga kali ini pekerjaan yang aku jalani bisa menunjang kehidupanku di kota. Dan kakak Fiana, aku tidak akan malu lagi terus di remehkan karena sebentar lagi aku memiliki pekerjaan dan mampu menabung untuk kehidupan ku disini.

Gadis itu membatin dan berharap penuh dengan lengkungan bibir menghiasi wajahnya sepanjang perjalanan. Meskipun terlihat jalanan macet di alun-alun kota, tidak membuat gadis itu kalut, lagipula ia berjalan kaki, kemacetan dijalan raya tentu mempengaruhi langkah kakinya.

Bersambung ..

Salam kenal, penulis baru nih di platform ini. Semoga suka ya dengan cerita fantasi ku ini.