1 PROLOG

Badai angin dan hujan deras tampak menyelimuti sebuah pemukiman yang terlihat kumuh. Petir seolah siap menyambar apapun yang berada di dekatnya. Kegelapan total menyapu sebuah tempat lapang yang dipenuhi dengan puluhan petak rumah kecil. Angin menerpa perkakas yang berserakan termasuk rumah-rumah yang hanya terbuat dari beberapa lapis kayu dan juga plastik bekas yang dipaksa menjadi atap-atap darurat oleh penghuninya.

Orang normal tentu akan takut dan merinding saat melihat betapa mengerikannya badai malam itu. Namun para penghuni di sana seperti tidak peduli, mereka tidak mau repot dan hanya duduk dalam hujan sambil melihat saat amukan badai itu menerjang seluruh pemukiman mereka. Seolah apa yang terjadi itu bukan hal baru dan harus dihindari.

Bahkan para penghuni itu terlihat acuh dan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mereka justru asik mengobrol dan bermain catur dengan ditemani lampu minyak yang terbungkus oleh mika tebal. Para wanitapun hanya terduduk tanpa ekspresi sambil menyaksikan anak-anak mereka yang tampak girang berlarian di bawah badai hujan. Beberapa orang gelandangan bisa tertidur pulas hanya dengan tubuh yang terbungkus plastik usang yang sepertinya tidak berguna sama sekali.

Kilat kembali menyambar selama satu detik, memberikan penerangan sesaat pada pemukiman beserta para penghuninya. Saat itu tak jauh dari tempat pemukiman, tampak bayangan sesosok lelaki tinggi yang berlari tergesa-gesa dengan jubah besar yang menutup hampir seluruh tubuhnya. Di sampingnya berlari seorang anak lelaki memakai jubah besar yang sama. Tangan anak itu pucat dan basah, mencengkeram erat jubah pria tinggi di sampingnya seolah takut akan tertinggal.

Beberapa kali dia menoleh ke belakang dengan manik mata yang terlihat cemas dan takut. Seolah takut akan ada seseorang yang mengejar dan menerkamnya tiba-tiba, namun berapa kalipun dia menoleh yang ia lihat hanyalah kegelapan total. Jujur saja ia merasa lega. Meskipun tempat ini sangat asing, kumuh dan berbau sangat busuk, namun setidaknya ini adalah tempat paling aman yang mereka tuju saat ini.

Anak itu kembali menatap ke depan, tepat ketika sebuah lubang hitam besar tiba-tiba saja muncul dari belakang dan bergerak cepat menuju dua sosok itu. Sebuah kilat merah menyambar dari dalam lubang, akar-akar cahaya itu mencoba merangkak keluar melewatinya. Anak kecil itu terbelalak takut dan langsung membeku di tempat. Cengkeraman tangannya terlepas, tubuhnya kaku dan berat, matanya terlihat nyalang menatap kilat akar cahaya merah yang terus berusaha keluar dari lubang hitam tersebut.

Suara raungan terdengar begitu nyata dan menyeramkan, anak itu masih membeku di tempat seolah tinggal menunggu lubang besar dan akar cahaya itu akan melahapnya seketika. Dia ingin berlari, namun tubuh dan kakinya tidak bisa ia gerakan.

Lubang itu semakin dekat. Semakin dekat dan terang.

Rasa sakit tiba-tiba menyerang anak itu, seperti sebuah tombak yag terlempar dan menusuk ulu hatinya dengan keras. Dia tidak akan selamat dengan semua ini, terlebih saat kilat cahaya itu menampakkan wajah dan matanya yang memerah karena amarah yang meluap.

Anak itu terduduk lemas dengan pandangan kabur, nafasnya tercekat, tangannya meraba-raba mencoba mencari pertolongan di sana. Namun yang ia rasakan hanyalah kegelisahan, ketakutan dan keputusasaan. Dan sebelum matanya terpejam dia melihat akar cahaya itu melambai dan mengibaskan ekor padanya.

"Ayaaahh.."

BOOM!

Sebuah cahaya putih tiba-tiba menghantam kilat merah itu. Pria tinggi tadi tiba-tiba sudah berdiri di depan anak laki-laki yang sudah tergeletak lemas di tanah. Ia mengayunkan tongkat kayunya tanpa mengucapkan apapun. Namun apa yang ia lakukan barusan membuat kilat akar cahaya itu meledak dengan bunyi dentuman yang sangat keras.

Raungan ganas terdengar menggema di bawah badai hujan yang sudah hampir mereda. Kilat cahaya itu menggeliat penuh kesakitan, akarnya mencoba meraih dan menampar apapun yang ada di sana. Bunyi dentuman terus bersahutan, begitu juga dengan akar cahaya itu yang terus membuat benda di sekitarnya hancur menjadi serpihan abu dan bara hitam.

Makhluk itu menggeliat marah, namun ia juga tidak bisa melakukan apapun. Karena lubang hitam itu akhirnya tertutup sendiri dengan perlahan. Suara raungan itu menggema semakin menjauh, sampai akhirnya hanya meninggalkan suara petir dari kejauhan. Tepat bersamaan dengan badai dan angin yang sudah hampir mereda.

Laki-laki itu masih berdiri tegak di sana. Menatap tajam pada udara kosong tempat dimana lubang itu akhirnya menghilang. Ia masih berdiri sesaat sampai akhirnya ia kembali menyembunyikan tongkatnya ke dalam jubah. Ia lalu melirik pada anak laki-laki yang sudah tergeletak di bawah dalam keadaan lemas dan pucat pasi.

"Itu tadi ganas sekali!"

Suara berat seseorang terdengar menyahut dari balik tumpukan rongsokan di samping laki-laki tadi.

"Kyuron? Kaukah itu?" sahut lelaki itu dengan sikap waspada. Ia menyipitkan mata sambil menatap menyelidik pada tumpukan barang rongsok di sampingnya. Saat itu muncul sesosok pria tua dengan rambut putih pucat yang tertutup oleh topi baret yang tampak usang. Pria itu berjalan mendekat dengan tongkatnya, sinar mata zamrud terlihat tajam menatap lelaki tinggi yang seketika langsung mendengus lega.

"Kenapa Red Valhi bisa mengejar sampai ke sini? Kau sudah menutup gerbangnya dengan tepat?" sergah si pria tua bernama Kyuron dengan tajam sambil menarik tangan anak laki-laki yang masih terkapar di tanah. Pria tua itu terlihat lemah namun ternyata dia sanggup membopong anak laki-laki itu hanya dengan satu tangannya.

"Aku tidak bisa melakukannya dengan sempurna, tubuh anak ini sudah melebihi batas. Ditambah dia masih harus bertahan dalam Verittam itu. Kami masih beruntung karena bukan para Arya yang datang mengejar," ujar si lelaki yang kini berjalan mengikuti pria tua di depannya.

"Lalu bagaimana sekarang keadaannya?" tanya Kyuron.

Lelaki tinggi itu berhenti sesaat lalu membuka jubah hitam besar yang sedari tadi menutupi seluruh tubuhnya. Sesosok wajah mungil yang terlihat memerah karena kedinginan tampak tersembul dari balik jubah tersebut. Rambut biru perak tampak menutupi matanya yang terpejam dengan begitu indah. Kebisingan yang terjadi di tempat itu sepertinya tidak mengganggu tidurnya sama sekali. Dan untuk sesaat dua pria itu menatap bayi mungil itu dengan wajah penuh haru dan senyum yang menenangkan.

"Apakah benar ini tempat yang harus kami tuju?" tanya si lelaki tinggi sambil kembali menutup jubahnya, melindungi bayi mungil itu dari hawa dingin yang semakin menusuk. Ia memandang berkeliling dengan sikap tidak yakin.

"Ini memang tempat paling buruk untuk membesarkan anak itu. Tapi bau tempat ini akan melindungi kalian dari penciuman Arkala. Segel dan mantra yang kubuat di tempat ini hanya bisa melindunginya selama 12 tahun. Selebihnya...anak itu harus menghadapi takdir yang sudah tertulis untuknya. Dia tidak bisa bersembunyi selamanya didunia ini." Kyuron menatap lekat pada pria tinggi di sampingnya. Menegaskan semua kalimat yang dia ucapkan, yang membuat lelaki tinggi itu mengangguk dengan mantap.

"Aku tahu. Dia adalah tanggung jawabku. Aku akan melindunginya sampai waktunya untuk kembali ke Porta Loka tiba."

avataravatar
Next chapter