7 Chapter 6 : Verittam Kelima

Di Pemukiman Aras

Hari masih gelap, bahkan bintangpun masih menghujam cantik di langit. Fajar masih belum mau menyingsing, begitu juga dengan kumpulan ayam yang masih enggan untuk mengeluarkan suara kokoknya. Tapi, beberapa penghuni Aras sudah terlihat berlalu-lalang di jalanan, terbangun dengan kebiasaan mereka yang selalu percaya bahwa keberuntungan selalu datang untuk orang-orang yang sudah bekerja sebelum fajar.

Mereka tidak pernah tahu apa yang bisa terjadi di dunia yang sudah keras ini. Sesuatu yang tak masuk akal selalu bisa saja terjadi di sekitar mereka. Tapi, karena hidup mereka yang sudah sulit dan juga keras, terkadang bisa membuat mereka tidak terlalu peduli ataupun memperhatikan apa yang bisa terjadi di tengah-tengah mereka.

Seperti sekarang, mereka tidak tahu meskipun rumah tetangga mereka menghilang dengan tiba-tiba. Ataupun dengan dua lelaki bertubuh aneh yang berjalan perlahan mendekati tanah rata itu dengan memanggul sebuah boomerang dan juga kapak besar.

Dua orang itu berdiri menatap tanah rata yang beberapa saat lalu masih berdiri sebuah rumah reot beratapkan papan dan juga terpal. Tatapan tajam dan bengis berusaha menembus dan mencari petunjuk ke mana rumah itu pergi.

"Menurutmu ke mana mereka?" tanya lelaki bertubuh gempal dengan suara serak yang kasar.

"Memangnya kau pikir siapa yang bisa meratakan tanah sebagus itu?" jawab temannya yang bertubuh tinggi dengan suara malasnya.

"Edaf?" seru pria bertubuh gempal sambil mendengus kasar. "Membosankan, jadi kita tidak dapat bagian apapun?"

Si pria bertubuh tinggi lalu berbalik dan berjalan menjauh. "Kita buang-buang waktu saja di sini, lebih baik kita kembali dan menyusul Glara menuju Verittam."

Pria bertubuh gempal itu masih mematung sesaat. "Memangnya apa yang bisa kita lakukan di sana? Alto dan Lana sudah pergi dengannya, apa tidak sebaiknya kita senang-senang sedikit di sini," usulnya sambil melirik sadis pada pria paruh baya di seberangnya yang sedang menata dagangannya di atas sepeda.

Si pria tinggi tampak berdecak malas." Kita tidak ada urusan dengan orang-orang Bumi, jadi hentikan! Tapi kalau kau mau kembali ke dalam penjara silahkan saja!" serunya sambil berlalu meninggalkan temannya itu.

Pria bertubuh gempal itu kembali mendengus kasar, namun akhirnya dia melangkah menyusul pria tinggi di depannya. "Apa menurutmu Penjelajah Rania yang lain juga akan ikut campur?"

"Jelas sekali. Mereka tidak akan membiarkan kakek itu mati sendirian bukan?" Si pria tinggi langsung tertawa diikuti temannya yang juga tertawa-tawa terbahak-bahak.

"Sialan sekali bau tempat ini, pantas saja Arkala tidak bisa mendeteksi keberadaan mereka. Dan kenapa juga orang-orang ini bisa hidup di tempat seperti ini?" gerutu si pria tinggi sambil mempercepat jalannya karena sudah tidak tahan dengan bau sampah yang terlalu kuat. Keduanya lalu segera keluar dari Pemukiman Aras dan mencari tempat yang cocok untuk membuka portal menuju Verittam.

-

Huekkk...

Aku tidak bisa menahan lagi rasa perutku yang terlalu mual. Kepalaku pusing berputar, belum lagi aku mendarat dalam keadaan mengenaskan saat lubang sialan itu menjatuhkanku di atas batu yang tentu saja keras.

Perutku benar-benar tidak bisa dikontrol, tapi mual ini bukan karena aku mencium bau yang tidak enak atau semacamnya. Tapi karena hawa dingin yang terlalu menusuk dan membuat tubuhku menggigil hebat sampai membuat gigiku tidak berhenti berbunyi sejak tadi.

"Kau baik-baik saja Kazo?" seru Arga sambil tangannya menyodorkan selembar mantel padaku. Aku tertegun sebentar, kenapa tidak sedari tadi dia memberikannya padaku? Batinku kesal.

Aku langsung menyambar mantel itu dan mengenakannya. Memang tidak ada bedanya, tapi setidaknya ini sudah cukup membuatku merasa hangat. Bahkan Arga, Ayah dan Kakek Kyu juga sudah mengenakan mantel yang sama.

Sampai saat itu aku masih tidak sadar tempat di mana kami mendarat, karena sejak tadi aku sibuk memuntahkan isi perutku dan juga menahan hawa dingin ini. Namun saat kesadaranku sudah pulih sepenuhnya, aku kembali tertegun mematung dan baru tahu kenapa aku bisa menggigil hebat seperti ini.

Kupikir saat ini kami berada di dalam gua bawah tanah atau semacamnya, karena suasananya juga begitu gelap. Namun pemandangan yang ku lihat ini sama sekali tidak terlintas dipikiranku. Aku tertegun di atas lingkaran batu yang berada tepat di tengah-tengah lautan.

Memandang lautan yang tak terlalu luas tampak diselimuti oleh kabut tebal dan tinggi di ujungnya. Lalu di antara batu itu terdapat dua belas jalan yang menghubungkan batu itu menuju tempat di ujung kabut sana. Aku hanya bisa menatap pemandangan luar biasa itu dengan mata terpana.

"Te-tempat apa ini?" tanyaku dengan suara tergagap sambil terus memandang kilau cahaya bulan yang terpantul di permukaan air yang tenang. Sebenarnya pemandangan itu bisa dikatakan terlalu indah, apalagi saat melihat langit hitam penuh bintang tanpa setitik awanpun di atas. Hanya saja, hawa di situ membuatku terus menggigil dan tidak bisa berpikir tenang padahal tidak ada hembusan angin sama sekali.

"Kita sudah berada di dalam Verittam kelima. Setiap Verittam memiliki bentuk dan strukturnya masing-masing, dan Verittam ini termasuk yang paling berbahaya di antara Verittam yang lain," jelas Kakek Kyu sambil maju perlahan menuju salah satu dari dua belas jalan yang ada di sana.

"Paling berbahaya?" gumamku sambil memandang berkeliling mencari tentang bahaya yang baru saja dikatakan oleh kakek.

"Bahaya itu bukan di sini, tapi tempat di ujung kabut itu." Ayah menunjuk ke arah depan. Aku langsung menatap pada kabut tebal yang membentuk sebuah dinding yang mengelilingi ujung jalan itu. Aku benar-benar penasaran apa yang ada dibaliknya.

"Tapi kenapa ada ada 12 jalan di sini? Bagaimana kalian tahu ini jalan yang benar?"

"Semua jalan ini terhubung ke satu tempat yang sama. Dan aku sudah ratusan kali melewati jalan ini, jalan ini bisa dikatakan yang paling aman dibanding yang lain. Karena kemungkinan besar kita bisa menghindari bertemu dengan Red Valhi," jelas Kakek Kyu sambil berhenti di depan kabut tebal yang menjulang tinggi bagaikan dinding kokoh. Ia tiba-tiba menarik tongkat yang selama ini ternyata disembunyikannya dan langsung menusukkan ujungnya ke arah kabut tebal itu. Tiba-tiba kabut itu terbelah perlahan, dan membentuk sebuah jalan gelap di dalamnya.

Kakek Kyu lalu melangkah mendahului. "Sebaiknya kita cepat!" serunya.

WUSH

Belum sempat aku ikut melangkah, tiba-tiba sebuah hembusan angin melaju cepat melewati bahuku dan langsung menghantam lubang gelap itu yang membuatnya langsung tertutup kembali. Kami tertegun, dan langsung menoleh waspada ke arah belakang.

"Kenapa kalian buru-buru sekali?" seru seorang wanita berambut panjang sambil tersenyum. Seorang gadis berpakaian nyentrik yang kutemui di Aras beberapa hari lalu.

Gadis itu lagi.

avataravatar
Next chapter