4 Chapter 3: Alam Bawah Sadar & Pria Aneh

Hawa dingin dan juga kilatan itu kembali lagi. Aku terbangun dengan rasa sakit yang luar biasa, seperti ada sebuah benda tajam yang menusuk ulu hatiku. Aku bangkit dan memandang berkeliling. Tanah lapang gersang yang terhampar itu kembali membuatku berada dalam rasa takut, sakit dan juga lelah. Dan lagi-lagi, lubang hitam besar itu juga ada di sana. Menganga lebar dengan kedalaman yang tidak bisa kuperkirakan.

Tapi lubang itu bukan lagi menjadi hal yang paling mengejutkan untukku. Aku sudah mulai terbiasa melihatnya. Dan sekarang yang membuatku begitu terkejut adalah sosok itu. Sosok yang berdiri tegak di samping lubang besar itu, yang membuatku sadar bahwa aku tidak lagi sendirian di sini.

Seorang pria dengan rambut berwarna biru. Tingginya mungkin sekitar 178 cm. Memakai baju terusan berlengan pendek dan juga celana cargo yang semuanya berwarna hitam. Kakinya dibalut sepatu yang tampak aneh, panjangnya mencapai betis dan terlihat tipis seperti kain.

Belum lagi kedua tangannya yang tertutup oleh perban hingga menutup sampai batas sikunya. Tangan kanannya menggengam erat sebilah pedang panjang bermata biru dengan gagang berwarna hitam. Namun yang paling mengerikan adalah bola mata merah terang yang menatap tajam penuh dengan kebencian dan kesombongan. Bibirnya tampak menyeriangai congkak, menampilkan deretan giginya yang putih dan kuat.

Aku tidak tahu harus beraksi seperti apa? Tapi jelas yang kurasakan ini bukanlah ketakutan. Aku justru penasaran siapa dia, dan apa yang dilakukannya di tempat ini. Apakah dia berasal dari sini dan tahu tempat apa ini? Semua pertanyaan itu tertulis jelas di kepalaku.

Tapi bagaimana aku menyapa dan memulai pembicaraan ini, karena sepertinya ia sedang dalam kondisi tidak cocok untuk diajak bicara. Karena jika dia tiba-tiba menyerang, aku tidak bisa melawan dengan apapun. Karena lagi-lagi aku tidak bisa menggerakkan kakiku dan hanya bisa mematung di tempat. Tapi jika aku tidak memulai maka aku tidak akan pernah mendapat jawaban apapun.

"Siapa kau? Apa yang kaulakukan di sini?" tanyaku akhirnya.

Tidak ada sahutan apapun, hanya bunyi gemuruh dan sambaran kilat yang terdengar. Pria itu masih terdiam dengan ekspresi wajah yang sama.

"Aku tanya sekali lagi? Apa yang kaulakukan di dalam mimpiku?" teriakku dengan nada suara yang lumayan tinggi, karena kupikir dia tidak mendengar karena jarak kami yang cukup jauh.

Kali ini dia sedikit bereaksi dengan menaikkan sudut bibirnya menjadi lebih tinggi, lalu disusul dengan tawa pelan yang terdengar congkak dan menyeramkan. Ia lalu mengangkat tangan kanannya dan meletakkan pedangnya di bahu.

"Mimpimu? Berani sekali kau sebut ini mimpi? Dan berani sekali bocah lemah sepertimu datang ke tanah kelahiranku."

Mataku membelalak terkejut. Suaranya menggema dan terdengar nyata sekali, seolah dia baru saja berbicara menggunakan microphone atau semacamnya. Aku mengernyit heran mendengar pernyataannya barusan saat ia menyebut tentang 'Tanah Kelahiran'.

"Apa maksudmu dengan tanah kelahiran? Jadi maksudmu kau tinggal di sini?"

Pria itu kembali tertawa lebih keras, suaranya melengking dan semakin manakutkan. "Dengar bocah! Aku sudah ribuan tahun hidup di sini sambil menjaga benda menyebalkan itu. Pria tua itu menjanjikan aku bisa keluar saat pemilikku datang dan mengambil benda ini. Dan sepertinya, waktunya memang sudah tiba, karena Agome tadi sempat menghilang dari tanganku." ia menggerakkan pedang di tangan kanannya. Dia juga baru saja menunjuk lubang besar itu dengan sebutan 'benda itu'.

"Tapi tidak mungkin kau orangnya bukan?" tanyanya dengan nada suara yang terdengar merendahkan. "Tidak mungkin bocah lemah sepertimu adalah pemilikku?"

Aku mencoba mencerna semua kalimat dan penjelasannya. Terdengar rumit dan tidak masuk akal, tapi jika aku ingat kejadian yang tadi menimpaku jelas ini bukan hanya khayalan semata. Dan jika pria ini juga nyata, mungkinkah yang kualami ini bukan mimpi? Tapi alam bawah sadarku sendiri. Aku menyipitkan mata, kembali menelisik penampilan pria itu dan juga pedang yang dipanggulnya.

"Aku ingin tahu apa yang kau maksud dengan 'benda itu' dan juga pria yang mengikat janji denganmu?"

"Kenapa juga aku harus memberitahumu, bocah?"

"Jika kau tidak melihat orang lain selain aku di sini. Berarti aku memang pemilikmu, bukan?" Pria itu terlihat mengernyit, menatap gusar dengan mata merah yang menyala terang. Seperti enggan menerima kalimat yang ku utarakan barusan.

"Jadi kau memang ingin mengatakan bahwa kau memang tuanku, Begitu? Hahahahhahaha...." Aku bisa mendengar suara tawanya yang menggelegar, menggema hingga mengalahkan gemuruh petir di belakang. Dia menatap tajam sambil mengibaskan pedangnya yang langsung menimbulkan hembusan kencang.

"Hentikan omong kosongmu bocah sialan! Aku tidak menerima tuan lemah sepertimu, Lagipula apa yang bisa kau buktikan bahwa kau memang tuanku dan bukannya penyusup?"

Aku menegakkan badan, mencoba bersikap tenang. Apalagi saat melihat pria itu tampak gusar dan mulai terdengar nafasnya yang tidak beraturan. Tangannya terlihat gatal sudah ingin menebaskan pedangnya ke arahku.

"Pedangmu, Agome. Dia terbuat dari elemen es yang bisa memecah menjadi serpihan jarum bukan?"

Aku bisa melihat ekspresi wajahnya yang tercekat. Matanya terbelalak merah, dan helaan nafasnya yang tertahan terdengar begitu jelas. Jelas aku tidak mungkin lupa dengan padang yang baru tadi kugunakan untuk menebas tiga pengacau di Aras. Tapi ekspresi itu hanya sebentar, pria itu kembali menatap nyalang dengan mulut terkatup rapat. Semakin terlihat marah dan enggan menerima meskipun aku sudah menjelaskan dan membuktikan bahwa aku adalah tuannya.

"Cih! Baiklah kalau begitu!" serunya. Tiba-tiba saja dia melebarkan kaki, mengambil posisi kuda-kuda yang membuatku langsung bersikap waspada.

"Apa yang akan kaulakukan? Tidak mungkin kau akan menyerangku yang tidak membawa senjata, bahkan aku...."

Wush!

Dia melesat cepat tanpa menungguku menyelesaikan satu kalimat. Aku bisa melihat wajah liciknya yang tertawa senang semakin mendekat. Sedangkan aku tidak punya persiapan apapun, kecuali menatap nanar dengan tubuh kaku di tengah hamparan tanah lapang itu. Dia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, jelas tidak punya keraguan sama sekali untuk menebas kepalaku.

"Aku tidak akan menjadi bawahan dan pengikut bocah lemah sepertimu. Jadi enyah saja kau dari sini dan biarkan aku yang menjadi pemimpinnya hahahahaha!"

Sial! Apa yang harus kulakukan? Dan kenapa tubuh ini tidak mau bergerak sama sekali. Aku tidak bisa mengelak lagi dan hanya bisa menatap nanar pada pergerakan pria itu yang semakin dekat. Aku bisa melihat jelas wajahnya, seringaiannya dan juga tingkat kecepatannya yang luar biasa. Dan yang bisa kulakukan hanya menatap bisu saat mata pedangnya terangkat tinggi tapat di hadapanku.

Sial! Aku langsung memejamkan mata. Meskipun ini hanya mimpi atau alam bawah sadarku, aku tidak mau mati dalam keadaan konyol begini.

TRANG!

Suara dentingan pedang terdengar tajam dan berat di telingaku. Bahkan aku bisa mencium bau logam dan juga hembusan hawa dingin tepat di depan wajahku. Hening! Aku mengernyit. Tidak ada rasa sakit apapun, bahkan sedikit goresanpun tidak kurasakan. Atau mungkin memang begitulah rasanya kematian? Namun aku masih bisa mendengar jelas bunyi gemuruh petir yang sejak tadi tidak berhenti bersahutan.

Perlahan aku membuka mata. Dan yang kulihat pertama kali adalah sebuah mata pedang biru dengan hawa sedingin es tepat berdiri di depan wajahku. Sebuah tongkat berwarna putih perak terlihat menahannya dengan mudah, memberi celah setidaknya sepuluh senti dari wajahku. Benar-benar posisi yang membahayakan.

Aku melihat pria itu terdiam kaku. Dia berdecih pelan dan langsung melirik gusar melalui sudut kiri matanya yang langsung ku ekori. Seorang pria tua dengan jubah putih panjang terlihat mengacungkan tongkatnya, menahan laju pedang pria itu tanpa kesulitan. Aku tidak bisa melihat wajah lelaki tua itu karena terhalang tudung kepala yang dikenakannya.

"Dasar orang tua, kau bisanya hanya mengganggu saja!" umpat pria itu. Wajahnya masih gusar, namun aku bisa melihat dengan jelas guratan rasa takut di matanya. Karena sampai sekarang posisi itu masih bertahan hampir tiga puluh detik, seolah pria berambut biru itu kehilangan pergerakannya dan hanya bisa membeku di tempat.

Lelaki tua itu perlahan menarik tongkatnya dan langsung menjejakkan ke tanah. Sedangkan pria itu masih tetap dalam posisinya. Aku bisa melihat dia benar-benar ingin mengumpat si lelaki tua karena sudah menempatkan dalam posisi yang memalukan.

"Bukankah sudah kubilang jaga sikapmu jika tuanmu datang?" ucap lelaki tua dengan suara lembut yang mendayu. "Tapi sepertinya kau tidak paham ya? Jadi sebaiknya kau harus kembali belajar tentang sopan santun lagi. Dan jika tuanmu kembali kau harus menyambutnya lebih sopan dari ini. Paham?"

Pria berambut biru itu sedikit tercekat." Sial! Apa maksudmu, siapa kau sebenarnya? Di mana orang tua sialan itu?" teriaknya. Tangan dan kakinya berusaha untuk melepaskan diri dari sesuatu yang membuat tubuhnya kaku dan tak bisa digerakkan.

DUG!

Pria bermabut biru langsung terbelalak saat ujung tongkat lelaki tua itu menyentuh dadanya.

"Sudah terlambat," ucap si lelaki tua. Lalu tiba-tiba sebuah lubang hitam besar muncul tepat di belakang pria berambut biru tersebut.

"Tidak, Jangan! Tolong jangan tempat itu lagi. Jangan..... Siaaalll!"

Aku menelan ludah dengan perasaan khawatir saat pria itu langsung tertelan dan jatuh ke dalam lubang gelap di belakangnya. Teriakannya semakin lama semakin menjauh sampai lubang itu perlahan menutup hingga menyisakan udara kosong di hadapanku. Aku kembali menelan ludah saat menyadari rasa hampa di sekitarku, apalagi saat ini hanya ada aku dengan lelaki tua yang menakutkan itu.

Lelaki tua masih berdiri tegak dengan tongkat putihnya yang menjejak tanah. Apa yang harus kulakukan? Aku benar-benar tidak tahu karena tubuhku tidak bisa bergerak sedikitpun. Perlahan lelaki itu menyentuh tudungnya dan menariknya hingga aku bisa melihat wajahnya yang ternyata masih cukup muda dan sebenarnya tidak bisa disebut lelaki tua. Hanya saja penampilan dan juga warna rambutnya yang berwarna putih membuatnya terlihat seperti lelaki tua.

"Huh.. Astaga berisik sekali di sini. Apa kau tidak bisa menciptakan Alpha dengan cahaya bintang di tepi pantai? Kenapa harus suara petir yang berisik seperti ini," keluhnya panjang lebar sambil mengipas-ngipaskan tudungnya seolah tempat itu adalah gurun pasir yang panas.

Aku tertegun dengan wajah datar. Pria aneh macam apalagi ini? Bahkan dia terlihat menyeka dahinya yang jelas-jelas tidak berkeringat. Baiklah, kurasa dia jauh lebih menakutkan daripada pria berambut biru tadi. Dan tentu saja jauh lebih aneh dan menggelikan.

"Alpha..."

Lelaki itu menoleh padaku sambil tertegun. Dia akhirnya menghentikan pergerakan tangannya sambil mengerjapkan matanya beberapa kali. Oke, dia benar-benar aneh.

"Apa maksudmu dengan Alpha? Dan siapa kau?" tanyaku memberanikan diri. Memang kelihatannya sekarang dia tidak berbahaya, tapi melihat pria berambut biru itu ketakutan jelas dia ini bukan orang biasa.

"Aku? Ah, benar juga aku lupa memperkenalkan diri." Ia lalu meletakkan tudung kepalanya sejajar dengan dada dan membungkuk dengan gerakan sopan. "Namaku Ain Naoki, seorang penjelajah dari Bangsa Rania. Dan aku datang ke sini untuk menjemputmu."

Mulutku terkatup rapat memandang lelaki yang masih setengah membungkuk itu. Masih setengah linglung aku mencerna, kenapa begitu banyak perubahan yang terjadi pada hidupku hanya dalam satu hari. Aku mencoba mencari kata yang cocok untuk mendeskripsikan semua kejadian ajaib dalam satu hari ini.

Tiga pengacau di Aras tadi memiliki kekuatan dan senjata yang jelas tidak dimiliki oleh manusia biasa. Bahkan para dukun yang sering berkutat dengan hal-hal ghaib saja belum tentu memiliki ketrampilan dan kekuatan seperti mereka. Mereka datang dan juga memaksaku untuk ikut dengan mereka. Lalu Arga, jelas aku terkejut saat dia bisa mengeluarkan serangan yang juga jelas-jelas tidak mungkin dimiliki oleh manusia biasa.

Dan sekarang aku kembali ke alam mimpiku seperti biasanya. Tiba-tiba munculah si pria berambut biru yang ternyata memiliki pedang yang tadi sempat muncul di tanganku dan kugunakan untuk menebas tiga pengacau di Aras.

Lalu sekarang muncul lagi pria aneh berjubah putih dengan tongkat dan juga rambut panjang berwarna putih. Ditambah sikap dan cara bicaranya yang sangat aneh dan menggelikan. Dan baru saja dia menyatakan kedatangannya kemari adalah untuk menjemputku.

Sudah berapa kali aku mencoba percaya, tapi tetap saja rasanya mustahil. Mungkin saja sekarang aku sedang tidur siang terlalu lama sehingga bermimpi hal-hal yang tidak masuk akal. Karena yang namanya mimpi itu jelas tidak nyata bukan?

Aku masih mematung di tempat tanpa mengatakan apapun. Pria itu kini sudah kembali berdiri tegak sambil menelengkan kepalanya. Bola mata gelapnya bergerak ke atas lalu ke bawah seolah meneliti setiap jengkal tubuhku yang tingginya hanya sekitar sebahunya.

"Ada apa dengan ekspresimu? Kenapa kau terlihat bingung begitu?" tanyanya sembari mengerjapkan matanya yang membuatku merasa geli melihatnya.

"Apa kau tahu tempat apa ini? Dan siapa pria berambut biru tadi?"

Pria itu kembali mengipaskan tudungnya."Jadi kau tidak tahu ini di mana? Hmmm... Kami menyebutnya Alpha, dan ini adalah alam bawah sadarmu. Dan pria yang tadi itu adalah kekuatan Vimalmu, karena kau belum bisa menguasainya makanya dia masih liar begitu. Bahkan yang lebih buruk dia bisa jadi musuh untuk dirimu sendiri. "

"Vimal? Alam bawah sadar? Tapi ke-kenapa kau bisa di sini jika ini alam bawah sadarku?"

"Tentu saja bisa. Manusia menyebutnya Lucid Dream sedangkan di Porta Loka kami menyebutnya Theta. Kami bisa menguasai alam bawah sadar kami sendiri bahkan memasuki alam bawah sadar milik orang lain. Seperti yang kulakukan sekarang. Kau tahu kenapa kau tidak bisa bergerak? Karena kau belum bisa menguasai alam bawah sadarmu sendiri."

Aku hanya mengerjapkan mata beberapa kali. Bukannya aku tidak paham, hanya saja ini sulit untuk dipercaya. Dan sepertinya pria itu menyadari karena dia langsung mendesah panjang." Sepertinya keluarga Locana belum menceritakan apapun padamu ya?"

"Kau kenal ayahku?"

Pria itu mengangguk. "Tentu saja. Karena aku dan ayahku yang mengantar kalian melewati Verittam. Ah, benar juga, ayahku ingin bertemu denganmu."

"A-ayahmu?" aku melihat berkeliling mencari sosok Ayahnya. Jadi bahkan dua orang juga bisa datang ke alam bawah sadar orang lain. Ini benar-benar menakjubkan.

Pria itu tampak menggaruk-garuk dagunya sesaat. Ia lalu mengenakan kembali tudung kepalanya yang membuatnya terlihat seperti lelaki tua.

"Kau sudah besar ya, Kazo?" Aku langsung tercekat saat mendengar perubahan drastis pada suaranya. Terdengar berat dan serak. Bahkan pelafalan dan gaya bicaranya jauh berbeda sekali, seolah yang dihadapanku kini sosok yang berbeda.

Perlahan pria itu mengangkat kepalanya, menampakkan separuh wajahnya yang terlindung dibalik tudung bulat putih itu. Bibirnya terangkat ke atas menyunggingkan seulas senyum yang ramah, tapi bukan itu yang membuat pandanganku tiba-tiba membeku.

Pria ini bukanlah pria yang mengenalkan dirinya bernama Ain Naoki, tapi lelaki tua dengan kumis dan janggut putih panjang yang menyentuh dadanya. Bahkan keriput di wajahnya terlihat dengan jelas yang menandakan bahwa usianya jelas tidak muda lagi. Mataku terbelalak nanar, bibirku terkatup membisu tidak bisa mengatakan apapun. Lelucon macam apa ini. Mereka adalah dua orang dalam satu tubuh?

"Lama tidak jumpa, Major Hiroki Kazo."

avataravatar
Next chapter