1 Pergi

Anggun menyeka airmatanya yang terus jatuh dari pelupuk matanya saat para pelayat mulai beranjak pergi dari sisinya. Tersisa hanya dirinya, papanya dan Frans. Mereka masih dalam suasana berkabung yang cukup dalam.

Dua hari yang lalu, Anggun yang tengah asyik bersenda gurau dengan teman-temannya di kantin kampus, tiba-tiba saja mendapat telepon dari papanya bahwa mamanya tercinta masuk rumah sakit akibat kecelakaan saat pulang dari luar kota. Mobil yang dikendarainya menabrak pembatas jalan hingga terguling ke tepi jalan tol. Beruntung ia segera dilarikan ke rumah sakit oleh warga setempat.

Setelah mengalami pendarahan di kepala yang cukup hebat, akhirnya mama Anggun mengalami koma selama dua hari. Namun sayangnya, tubuhnya tak bisa bertahan lebih lama, hingga akhirnya dokter menyatakan bahwa nyonya Viona meninggal dunia.

Pukul 4 sore nyonya Viona di makamkan di pemakaman umum daerah Jeruk Purut. Suasana berkabung menyelimuti area pemakaman.

Anggun menyaksikan setiap prosesi pemakaman ibunya dengan tak hentinya menangis.

"Tegarkan hatimu, sayang … mama sudah tenang di alam sana. Mari kita pulang," ajak papa Adhyaksa.

Papa Adhyaksa bukannya tak merasakan kesedihan karena ditinggal pergi oleh istri tercintanya, ia hanya tak ingin terlihat lemah di hadapan Frans yaitu anak buahnya.

"Anggun … ayo kita pulang," ajak Frans lembut.

Papa Adhy sudah berjalan keluar dari area pemakaman dan menuju mobilnya. Sedangkan Anggun masih duduk bersimpuh di depan batu nisan mamanya sambil sesekali menyeka air matanya yang jatuh dari pelupuk matanya.

Frans berjongkok dan berusaha meraih tangan Anggun. "Ayo kita pulang … papamu sudah menunggu di mobil."

Sekali lagi Frans mengajak Anggun, kali ini ia lakukan sambil meraih bahu Anggun dan memapahnya berjalan keluar dari area pemakaman.

"Mamamu sudah tenang di sana, sudah jangan menangis lagi ya?" ucap Frans sambil menyeka lembut pipi Anggun.

Frans merasa seperti mengusap gadis kecil yang menangis karena terjatuh dulu. Ia yang selalu menjadi pelindung sekaligus tempat curhat bagi Anggun. Meski ia adalah salah satu anak buah Tuan Adhyaksa, tetapi perasaan sayangnya pada Anggun tulus dan mengalir begitu saja dari dulu.

Anggun perlahan menyambut uluran tangan Frans dan mulai berjalan mengikuti irama kaki Frans. Meski hatinya masih ingin berada di samping makam mamanya, tapi ia harus menerima kenyataan dengan lapang dada.

***

Awan hitam menyertai perjalanan pulang Anggun dan papanya. Suara gemuruh juga cahaya kilat di antara para awan sesekali membuat terang cakrawala. Perlahan titik-titik air hujan menetes pada kaca mobil. Frans menyalakan alat wiper untuk menghalau titik-titik air hujan yang jatuh menghalangi pandangannya saat menyetir.

Hening tercipta. Tak ada yang berbicara ataupun memulai perbincangan. Anggun tengah asyik termenung memandangi titik-titik air hujan dari balik jendelanya. Sedangkan papa Adhyaksa, ia sudah tenggelam dalam pergulatan gadgetnya. Kesedihan tak menghentikan langkahnya untuk menjalankan kesibukannya memantau perkembangan para talent model yang berada dalam naungan perusahaannya.

"Sayang, kita makan dulu sebelum pulang, ya?" papa Adhy menoleh dan mengusap rambut hitam legam milik Anggun lembut.

Tak ada respon dari Anggun.

"Frans, kau ambil lajur kanan, kita menuju restaurant seafood kesukaan Anggun," perintah Tuan Adhyaksa setelah beberapa menit menunggu respon Anggun.

"Baik, Tuan." Frans dengan keahlian menyetirnya lalu memutar arah setirnya. Ia mengikuti arahan Tuannya menuju restaurant yang biasa dikunjungi oleh keluarga Anggun.

Tak sampai lima belas menit, mobil yang dikendarai Frans sudah sampai di pelataran sebuah restaurant seafood bintang lima. Sebuah restaurant yang sudah berdiri sejak tuan Adhyaksa bertemu pertama kali dengan nyonya Viona.

"Ayo, sayang kita masuk," ajak papa Adhy

Papa Adhyaksa menggamit tangan Anggun. Anggun dengan rasa malas mengikuti tarikan tangan papanya. Frans dengan cekatan segera membuka pintu mobil untuk tuannya.

"Kamu juga ikut makan bersama kami, Frans." Mata Frans membeliak, baru kali ini ia diajak makan bersama dengan tuan Adhyaksa dalam acara non formal.

Untuk acara formal, ia memanglah sering makan bersama tuan Adhyaksa meski berbeda meja. Tapi kali ini, ia makan dalam satu meja dengan tuan Adhy dan anak semata wayangnya.

"Tapi , tuan … " tampiknya sopan.

"Tidak ada tapi, kau juga bagian dari keluarga ini. Ayo masuk," ajak tuan Adhyaksa.

"Baik, Tuan." Frans tak bisa mengelak lagi jika tuannya sudah mengatakan bahwa ia juga bagian dari keluarga ini, maka ia tidak boleh mempermalukan ucapan tuannya.

Frans berjalan di belakang tuan Adhykasa yang menggandeng erat tangan Anggun.

Anggun sendiri merasa kesal pada papanya, bagaimana bisa papanya membawanya ke tempat favorit mamanya. Banyak kenangan yang bertebaran di tempat itu, bahkan suara gelak tawa mamanya pun masih sangat jelas bergaung di telinga Anggun. Tangis Anggun pun pecah akhirnya. Ia tak kuasa menahan sesak di dada.

"Tak apa, my dear. Papa mengerti kesedihanmu, papapun sama. Tapi papa ingin kamu lebih tegar dan menerima kenyataan bahwa mama sudah tidak lagi bersama dengan kita, tapi cinta dan kenangannya akan abadi dalam memori hati kita," ujar papa Adhy.

Sajian makan malam yang biasanya sangat menggugah selera Anggun kini terasa hambar di lidah Anggun.

"Sayang ... ayo dimakan. Kau harus makan, supaya kuat. Besok kau 'kan ada pemotretan," ucap papa Adhyaksa.

"Aku udah kenyang, pa," sahutnya.

Anggun mendorong piringnya ke tengah meja. Ia benar-benar tak bisa mencerna makanan di depannya. Hatinya terlalu sedih hingga tak bisa menikmati makanan kesukaannya.

"Ya sudah, kita pulang sekarang."

Papa Adhyaksa menyerahkan kartu kredit unlimited pada Frans. Frans langsung paham dan langsung memanggil waiter. Ia membayarkan semua tagihan makan malam yang tersaji.

***

Anggun sangatlah dekat dengan mamanya. Anggun bukanlah anak satu-satunya keluarga Adhyaksa, sebelum Anggun, mamanya pernah kehilangan anak saat setelah melahirkan. Karena hal itulah, nyonya Viona, sangat melindungi dan memanjakan Anggun. Semua keinginan Anggun sellau dipenuhinya.

Sebelum kecelakaan, Anggun sudah melarang mamanya pergi. Seharusnya papanya bisa saja memerintahkan anak buahnya untuk mengurus keperluannya menjadi artis ibukota, tapi nyonya Viona sangat antusias saat menerima kabar bahwa Anggun diterima menjadi salah satu peserta penyanyi berbakat di Jakarta. Sehingga saat itu juga nyonya Viona berangkat dengan perasaan bahagia mengurus segala keperluan Anggun.

Setibanya di rumah, Anggun langsung saja mengunci diri di kamar. Tangisnya kembali pecah saat ia melihat foto dirinya yang memeluk mamanya di atas meja belajarnya.

"Kenapa, mama pergi meninggalkan aku?! Mama jahat! Aku sendirian di sini!" serunya sambil memukul bantal di hadapannya.

"Argh ... ! Aku benci mama!"

Anggun menangis histeris. Teriakannya bahkan terdengar sampai keluar kamar.

Frans yang kebetulan melewati kamar Anggun lantas membuka pintu kamar Anggun perlahan. Ia mendekati Anggun yang tersedu di balik bantal pinknya. Hatinya pun ikut terluka melihat Anggun terpuruk.

'Anggun pasti sangat terpukul karena kehilangan mamanya secara tiba-tiba,' batin Frans.

"Boleh aku masuk?" tanya Frans hati-hati.

Anggun langsung berlari menyerbu ke pelukan Frans. Tangisnya kembali pecah dalam pelukan Frans.

Frans memeluk erat Anggun, ia membelai lembut rambut panjang milik Anggun.

"Menangislah sepuasmu di sini ... aku tak akan meninggalkanmu" lirih Frans.

Tekadnya semakin kuat untuk selalu ada dan menemani Anggun. 'Tak akan aku biarkan kau menangis lagi setelah ini. Apapun kesulitanmu, aku akan selalu ada untukmu,' batin Frans.

Frans dengan sabar menemani Anggun hingga ia terlelap dalam tidurnya. Menenggelamkan kesedihannya dalam kelamnya malam. Frans tak sedikitpun melepaskan genggaman Anggun hingga kantukpun mendera matanya dan kepalanya ia sandarkan di tepi ranjang Anggun.

avataravatar
Next chapter