1 Hidupku Yang Terpenjara

"A.. apa yang ingin kakak lakukan padaku?" aku mundur beberapa langkah menjaga jarak dari dirinya. namun ia tak berhenti sama sekali menjawabkupun tidak. ia hanya terus memandangku dengan sorot tajam seolah membawaku ke lembah yang sangat gelap dan menyeramkan. ekspresinya dingin menyalakan tanda bahaya untukku. aku hanya bisa terus melangkahkan kakiku menjauhinya di kamar ini. tanpa terasa tubuhku bergetar dan jantungku berpacu dengan cepat.

"siapa dia?" suara bariton bernada rendah itu terdengar mengancam dan mengintimidasi membuatku tergagap. ia terus memajukan langkahnya mendekatiku

"se..senior di kampusku" jawabku lirih dan menundukkan kepalaku menghindari sorot matanya. punggungku telah mencapai dinding kamar yang membuatku tak mampu menghindar dari kungkungannya.

"kalian tampak lebih dari itu"

"kak Alan salah paham! aku tidak..-"

"jangan membuatku malu" kak Alan memotong perkataanku membuatku mendongak menatapnya, mencari kejelasan atas pernyataannya barusan.

"kita sudah menikah, kau mengerti akan hal itu bukan?"

"aku tahu"

"aku tak peduli kau ingin berkencan dengan siapapun, tapi tolong jaga nama baikku. apa kata orang jika mengetahui istri kecilku berselingkuh dibelakangku. kau paham?" kata-katanya membuatku terbelalak. luka yang belum sembuh kemarin kembali terbuka. perkataan yang begitu kejam keluar dari mulut manis suamiku sendiri. seribu belati terasa menghujam kalbuku, membuat dadaku terasa ngilu dan sulit bernapas. aku terdiam dengan pandangan kosong.

"apa kau mengerti, Liliana Atmadja?" kak Alan mendekatkan wajahnya padaku dan menekankan kalimat terakhirnya. tubuhku kembali bergetar hebat, sekuat tenaga aku menahan air mata yang sudah membendung di pelupuk mataku. aku mengangguk pelan tak sanggup bersuara, tenggorokanku tercekat dan aku tak ingin terdengar begitu rapuh didepannya.

"lihat aku jika aku sedang berbicara padamu" nada suaranya terdengar tidak suka dengan sikapku, aku tahu itu. dengan takut-takut aku mengangkat wajahku dan perlahan menatap matanya. aku tidak tahu wajah seperti apa yang aku tampilkan padanya hingga aku dapat menangkap raut keterkejutan di wajah tampannya, hanya terlihat selama sepersekian detik yang kemudian kembali datar seperti biasanya.

kak Alan mendiamkanku dan menggumamkan sesuatu dengan pelan setelah menghela napas berat, lalu dengan cepat ia pergi meninggalkan ku sendiri dengan debuman keras pintu kamar kami. aku langsung terduduk di lantai dan menumpahkan air mata yang sejak tadi berdesakan ingin keluar. lagi-lagi aku disini terisak sendirian meratapi kisahku dalam kamar yang terasa dingin ini.

Dan ya, kak Alan tidak pulang lagi setelah pergi dari kamar ini, aku tak tahu dia bermalam dimana dan dengan siapa.

***

namaku Liliana Atmadja, aku adalah gadis sebatang kara sejak setahun lalu kehilangan kedua orang tuaku dalam sebuah kecelakaan. orang tuaku dan kak Alan memang sangat dekat, akupun dulu begitu dengan kak Alan, begitu dekat dan akrab meski dia memang cuek, aku tak tahu apa yang membuat kak Alan menjadi sangat dingin padaku, atau.. mungkin sebenarnya aku tahu. ya, dia begitu karena terpaksa menikah denganku enam bulan lalu. sejak kepergian kedua orangtuaku kak Alanlah yang mengurusi perusahaan papa, untuk menghindari konflik ini itu dan memperjelas statusnya, terjadilah pernikahan konyol kami yang telah didambakan kedua orangtua kami dan tentunya aku juga tetapi tidak dengan kak Alan, dia benar-benar sudah menganggapku seperti adiknya dan tak siap untuk melihatku sebagai wanita yang akan mendampinginya untuk seumur hidupnya. wajar saja, bagaimana mungkin aku yang berusia sembilan belas tahun ini dapat memikat pria matang nan tampan seperti kak Alan yang berusia dua puluh tujuh tahun itu. dia pasti memiliki pilihan hatinya sendiri dan aku telah merenggut masa depan indahnya hanya demi sebuah tanggungjawab yang dipikulnya. aku memang kejam.

"Lili.." aku menoleh ke arah sahabatku yang membawakan sup hangat ke depanku. asapnya mengepul menggoda siapa saja untuk mencicipinya, tapi tidak denganku. aku kehilangan selera makanku entah sejak kapan.

"terimakasih, kau tak perlu repot memesankan makanan untukku. sungguh"

"aku tidak terima penolakan apapun darimu!" Dela mendaratkan bokongnya di hadapanku dan mulai menyantap makanannya sendiri.

"jadi, cerita apa yang kulewatkan semalam?" tanyanya menodongku. aku menaikkan sebelah alisku menatapnya bingung.

"tak usah pura-pura bodoh. matamu sembab dan kantung hitam melingkar jelas di bawah matamu!" Dela menunjuk-nunjuk wajahku dengan garpunya. yah, dia memang tahu segalanya tentang hidupku, tentang pernikahanku, tentang kak Alan, bahkan tentang sikap dan perlakuan kak Alan yang bahkan tidak pernah menyentuhku seujung jaripun di usia pernikahan kami yang menginjak setengah tahun lamanya. entahlah, aku benar-benar membutuhkan seseorang untuk membagi cerita dan beban di punggungku serta mengerti aku, tapi percayalah hanya Dela yang tahu semuanya.

"kak Alan tidak suka melihatku dengan kak Abi" jawabku malas

"apa?? benarkah? itu berarti dia cemburu!" Dela seketika antusias

"kuharap begitu, tapi tidak Del, dia hanya tidak ingin harga dirinya terinjak"

Aku dan Dela menghela napas bersamaan.

"lalu, apa yang akan kau lakukan? memberitahu kak Abi bahwa kau telah menikah?"

"kau gila"

"lalu bagaimana? sudah jelas sekali kak Abi menyukaimu"

"kau terlalu cepat menyimpulkan, aku dan kak Abi hanya melakukan interaksi sebatas senior dan juniornya. aku bingung bagaimana menghadapinya nanti"

"jujur, aku lebih senang kau bersama kak Abi, dia baik dan tak akan menyia-nyiakanmu seperti pria tua pemarah itu" aku tersenyum kecut menanggapi Dela.

"jika bisa memilih, aku juga tak ingin jatuh cinta padanya, tapi manusia tak bisa mengendalikan kepada siapa mereka jatuh cinta, dan aku sudah jatuh terlalu dalam dan tak tertolong" aku tersenyum getir.

"jika kau tidak tahan, kau boleh tinggal dirumahku" Dela memandangku khawatir.

"akan kusimpan tawaranmu" aku tergelak melihat wajahnya yang entah kenapa terlihat konyol. ia hanya cemberut dan melanjutkan santapannya.

"uhmm, hai apa tempat ini kosong?" aku dan Dela menoleh kearah samping tempat dudukku.

"eh panjang umur, baru juga diomongin" Dela tampak antusias melihat kak Abi. aku meliriknya galak yang sama sekali tidak dihiraukannya. oh tuhan, perasaanku mulai tidak enak.

"silahkan kak Abi" Dela menjawab di tengah keterdiamanku.

"kalian lagi ngobrol apa, kayaknya serius banget?" kak Abi melayangkan senyum manisnya pada kami. kami hanya saling pandang sebelum akhirnya aku menjawab.

"haha, hanya obrolan seru tentang fashion wanita. hehehe" aku nyengir terpaksa yang malah terlihat meringis. kak Abi menautkan alisnya melihat wajahku yang aneh. duh memalukan sekali.

"uhm Lili apa nanti ada waktu luang? mau menemaniku mencari hadiah untuk adikku? aku tidak tahu akan memberinya apa di hari ulang tahunnya besok" Akhirnya kak Abi mengatakan maksud tujuannya mendatangi kami.

"aku-"

"bisa kok, nanti Lili kabarin kak Abi" aku melotot memandang ke arah Dela yang memotong kalimatku dan mengiyakan ajakan kak Abi. apa dia tidak menyimak ceritaku tentang kak Alan tadi? aku tidak mengerti apa yang dipikirkannya. seharusnya dia membantuku untuk menjauhi kak Abi! bukan malah mendekatkanku padanya.

"wah bagus deh kalau begitu. yaudah aku ada kelas lima menit lagi" imbuhnya berpamitan pada kami

"baiklah aku tunggu di depan kampus ya" kak Abi meninggalkan kami dengan wajah sumringah dihias senyum mengembang di wajah manisnya. kami menjawab dengan lambaian tangan mengiringi kepergiannya.

"Dela! apa yang kau lakukan?!" aku marah besar padanya. aku tak tahu dia mendapatkan sifat semena-menanya itu dari mana.

"memangnya kenapa? kau itu sedang butuh hiburan dan memangnya kak Alan menaruh pelacak padamu sampai-sampai dia akan selalu tahu apa yang kau lakukan? sudahlah kau harus sedikit bersantai dari kehidupan melelahkanmu" Dela menjawabnya dengan santai sambil mengaduk-ngaduk es tehnya dengan sedotan.

lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas berat menanggapinya. aku selalu memilih menyerah daripada harus berdebat dengannya.

***

avataravatar
Next chapter