20 Rumah Sakit

Azam langsung terdiam seketika. Dia benar-benar syok dengan kejadian itu. Pipi suci miliknya yang selama ini dia jaga dengan baik, harus ternodai oleh bibir milik seorang pria paruh baya.

Azam langsung menyentuh pipinya dan segera mengusap kasar pipi yang tadi terkena ciuman si bapak korban tabrakan. Azam langsung lemah tak berdaya. Dia harus mendapatkan ciuman dari orang yang tidak dikenal, itu pun oleh seorang pria.

Lain halnya dengan Azam yang merasa kecewa, Isabel justru merasa sangat terhibur dengan kejadian itu. Isabel menahan tawanya sampai pipinya menjadi memerah. Dia benar-benar merasa lucu, apalagi saat melihat ekspresi wajah Azam yang langsung cemberut dan lesu saat mendapat ciuman tidak disengaja dari seseorang yang tidak dikenalnya, dan seseorang itu adalah seorang pria.

Icha yang dari tadi kesakitan pun, menjadi ingin tertawa melihatnya. Sama halnya dengan Isabel, Icha pun menahan tawanya sampai pipinya kemerahan.

"Fftthhhh ... ehk ..." Isabel mencoba untuk menahan tawanya.

"Ekhmm ... hmm ...," Icha hanya bisa berdehem saja, tapi dibibirnya jelas dia memancarkan senyuman kebahagiaan.

Azam menjadi semakin kesal saja. Dia menyesal karena telah bertukar tempat duduk dengan Icha. Andai saja Azam duduk didepan, pasti Azam akan mendapatkan ciuman dari Isabel, bukan dari si bapak.

"Maaf Pak, saya tidak bermaksud mencium Bapak," ucap si bapak.

Azam tidak menjawab permintaan maaf dari bapak tersebut. Dia terlalu kesal untuk berbicara saat ini. Azam juga merasa malu terhadap Isabel dan Icha.

"Tidak apa, Pak. Mas Azam tidak keberatan menerimanya," sahut Isabel tiba-tiba.

"Isabel," kesal Azam.

"Ahahahaha ..." Icha sudah tidak bisa lagi menahan tawanya. Akhirnya Icha langsung tertawa terbahak-bahak tanpa memikirkan perasaan Azam sedikit pun.

"Uhuk ... uhuk ..." karena menahan tawa, Isabel sampai terbatuk-batuk.

Azam langsung memberikan tatapan menakutkan kearah Icha. Tapi yang ditatap sepertinya tidak peduli.

"Ekhmm ... sudah-sudah. Sekarang kita lanjutkan saja perjalanannya. Kalau begini terus kita ga akan pernah bisa tiba dirumah sakit," terang Isabel.

"Iya, itu benar," ucap Azam.

Akhirnya mereka kembali melanjutkan perjalanannya menuju rumah sakit.

Isabel terus saja menahan tawa, dia sesekali melirik kearah Azam melalui kaca spion depan mobil.

Azam melipat kedua tangannya diatas dada, wajahnya dipalingkan kearah luar jendela. Wajah tampan itu terus saja menunjukan kekesalan.

"Aduh ... ahhh ..." Icha kembali merintih kesakitan.

"Ada apa?" tanya Isabel panik.

"Aku, aku sudah tidak kuat lagi. Perutku sangat sakit," tutur Icha.

"Sabar, ya. Sebentar lagi kita sampai," ucap Isabel mencoba untuk menenangkan Icha.

"Isabel, apakah kamu tahu rumah sakitnya di mana?" tanya Azam yang baru mengingat bahwa Isabel tidak mengetahui di mana rumah sakitnya.

"Oalah ... aku baru ingat. Aku ga tahu di mana rumah sakitnya," ucap Isabel sembari menepuk jidatnya.

"Mbak, mbak ini gimana sih? Terus sekarang harus bagaimana?" tanya Icha.

"Aku pun tidak tahu," pasrah Isabel.

"Tenang saja, Saya tahu di mana rumah sakitnya," ucap bapak korban tiba-tiba.

"Benarkah?" tanya Isabel antusias.

"Iya, benar. Sangat benar," ucapnya.

"Kalau begitu, cepat katakan padaku, di mana rumah sakit itu?" tanya Isabel kembali.

"Lurus saja, sebentar lagi juga sampai kerumah sakitnya," terangnya.

"Emm ... baik," sahut Isabel.

Setelah melewati perjalanan yang sangat melelahkan, akhirnya Isabel beserta semua orang yang ada didalam mobil, sampai juga disebuah rumah sakit.

Isabel langsung turun dari mobil dan segera meminta bantuan untuk membantunya membawa Icha kedalam.

Tidak butuh waktu lama beberapa perawat pun segera membawa brankar.

Tak ingin membuang waktu lagi mereka segera membaringkan Icha diatas brankar dan membawanya masuk kedalam.

Isabel segera menyuruh bapak yang menjadi korban tadi untuk ikut bersamanya kedalam rumah sakit. Isabel ingin sekalian memeriksa lutut bapak tersebut. Walau pun hanya goresan kecil, tapi Isabel tetap harus bertanggung jawab.

Mereka segera masuk kedalam. Isabel menunggu diruang tunggu. Sedangkan Icha langsung dibawa keruang bersalin untuk segera ditangani oleh dokter.

"Pak, mari, saya akan antar Bapak untuk mengobati lukanya," ucap Isabel sopan.

"Tidak, Mbak. Saya akan di sini dulu, menunggu sampai perempuan tadi lahiran," jelasnya.

"Emang kenapa, Pak?" tanya Isabel yang merasa heran. Padahal bapak itu tidak memiliki hubungan apapun dengan Icha, tapi dia ingin menunggu Icha sampai melahirkan.

"Saya hanya ingin menunggunya saja," jawabnya.

"Baik lah, terserah Bapak saja," ucap Isabel. "Oh ya, nama Bapak siapa?" lanjutnya.

"Amir, nama saya Amir," ucap Pak Amir memperkenalkan diri pada Isabel.

"Oh ... Pak Amir, kenalkan, saya Isabel," sahut Isabel ramah.

"Baik, Bu Isabel," tutur Pak Amir.

Sekarang keduanya terduduk dikursi yang tersedia diruang tunggu.

"Oh ya, Pak, Bapak beneran tidak apa, kan?" tanya Isabel lagi.

"Tidak, Bu. Hanya luka kecil saja," jawab Pak Amir.

Isabel hanya mengangguk saja sembari tersenyum. Tapi Isabel masih heran, jika Pak Amir baik-baik saja, kenapa dia harus ikut kerumah sakit juga bersamanya. Dan bahkan Pak Amir mau ikut menunggu persalinan Icha.

Isabel tidak ingin memikirkan hal itu untuk saat ini. Dia lebih memilih untuk diam. Isabel sudah sangat kelelahan. Rasanya seluruh tubuh Isabel terasa remuk. Dia butuh istirahat.

"Pak, saya tinggal kekantin sebentar, ya. Bapak tolong tunggu dulu Icha di sini. Kalau nanti bayinya sudah lahir, saya minta tolong agar Bapak mau kasih tahu saya," pinta Isabel.

"Iya Bu, saya pasti akan kasih tahu, Ibu," ucap Pak Amir.

Isabel pun meninggalkan Pak Amir sendiri diruang tunggu. Dia ingin pergi kekantin, sekedar untuk membeli minum. Isabel sudah sangat kehausan.

Saat Isabel berjalan menuju kearah kantin, tiba-tiba saja dia kefikiran, Isabel merasa ada sesuatu yang dia lupakan. Tapi dia bingung, apa yang sebenarnya dia lupakan.

"Sepertinya, aku melupakan sesuatu. Tapi apa?" tanya Isabel pada dirinya sendiri.

Isabel mengusap-ngusap jidatnya, mencoba untuk mengingat sesuatu hal yang dia lupakan. Namun hasilnya nihil, dia sama sekali tidak bisa mengingatnya.

"Aku sungguh tidak ingat apa-apa. Ya Allah, bantu aku mengingatnya. Aku memiliki penyakit pelupa," ucapnya.

Lalu Isabel pun kembali melanjutkan niat awalnya saja, untuk pergi kekantin.

Setelah sampai dikantin rumah sakit, Isabel segera memesan 2 botol air mineral. Satu untuknya, dan satunya lagi untuk Pak Amir.

"Permisi Mbak, saya mau air mineralnya , dua, ya Mbak," ucap Isabel memesan minumannya.

Sejujurnya Isabel sangat ingin memesan makanan juga, tapi dia tidak ingin egois. Isabel tidak enak meninggalkan Icha lama-lama dan menyuruh Pak Amir untuk menjaganya.

Setelah selesai membeli dan membayar minumannya kepada penjaga kantin, Isabel segera pergi meninggalkan tempat tersebut.

Isabel buru-buru untuk kembali keruang tunggu, dan menunggu kelahiran bayi Icha, orang yang sebelumnya belum pernah ia kenal dan temui sekalipun.

avataravatar
Next chapter