9 Pembalut

Melangkahkan kaki dengan pelan-pelan. Kaki Azam sudah mulai sakit terkena kerikil. Apalagi tadi Azam sempat menginjak duri ikan. Duri yang kecil, namun menyakitkan.

Tetap Azam tahan semua rasa sakit yang dirasakannya. Azam tetap melangkah pergi melanjutkan perjalanannya.

Tujuannya sekarang adalah minimarket. Membeli yang Isabel pesan.

Tiba-tiba saja Azam tidak sengaja menendang sebuah batu besar yang mengakibatkan ibu jari kakinya berdarah. Sakit bukan main, terasa berdenyut. Lukanya tidak terlalu besar, tapi tetap membuat kepalanya seketika berputar.

"Argh, huh sakitnya," rintih Azam.

"Siapa yang meletakan batu sebesar ini dijalanan? Menyebalkan. Membuat aku emosi saja. Duh, mana aku ga tahu daerah sini. Aku ga tau di mana minimarketnya."

Jadi sedari tadi Azam berjalan tanpa arah. Tujuannya sudah jelas, tapi arahnya yang tidak tentu.

"ke mana sekarang aku harus pergi? Padahal tadi aku bisa saja meminta bantuan kepada resepsionis. Terus kenapa aku harus mempersulit hidupku sendiri? Tapi ini untuk Isabel, jadi harus aku sendiri yang melakukannya. Tidak boleh orang lain."

Dengan kaki sakit, Azam tetap nekat melanjutkan untuk pergi. Dia terus menyusuri jalanan, tapi tetap tidak menemukan ada sebuah minimarket.

Azam kesulitan untuk menemukannya, ia hampir menyerah dan putus asa. Namun dia kembali mengingat Isabel. Azam tahu bahwa Isabel sangat membutuhkannya.

Langkah demi langkah kakinya sudah terasa berat. Ini sudah sangat malam. Dari tadi pagi bahkan Azam belum sempat makan. Dia sudah cukup kelelahan diperjalanan, dan sekarang dia kembali harus merasakan lelah.

Namun disuatu tempat dia tidak sengaja menemukan sebuah toko. Tanpa pikir panjang, Azam langsung saja mendatangi toko tersebut.

Azam mencari pemilik toko. Dia memangil-manggil pemiliknya. Tidak butuh waktu lama, si pemilik toko pun keluar.

"Iya, Pak. Bapak mau apa?" tanya seorang ibu yang merupakan pemilik toko tersebut.

"Saya mau beli, mmm ..." Azam ragu untuk mengatakannya atau tidak.

"Beli apa, Pak?" tanya si ibu kembali.

"Saya mau beli pembalut," ucap Azam dengan sangat cepat.

"Pembalut? Apa pembalut untuk luka dikaki, Bapak?"

"Bukan. Bukan pembalut untuk luka."

"Terus?"

"Berikan saya pembalut untuk wanita."

Ibu tersebut merasa keheranan. Melihat dari perawakan yang gagah dan wajah Azam yang begitu tampan, rasanya tidak mungkin jika Azam lelaki jadi-jadian.

"Untuk apa Bapak beli pembalut wanita?"

"Saya pembeli, jadi saya bebas mau beli apapun di sini. Dan ya, pembalutnya untuk istri saya."

"Oh, tapi saya tidak bertanya."

Geram sekali Azam kepada Ibu pemilik toko. Bukankah tadi dia yang bertanya pada dirinya, lalu mengapa sekarang berlaga sok tidak bertanya.

"Ya, ya, ya ... terserah Ibu saja. Tapi tolong cepat berikan saya pembalutnya, Bu."

Azam tidak ingin berlama-lama ditempat ini, dia takut tidak bisa mengontrol emosinya. Bisa-bisa dia mengacak-ngacak semua dagangan milik si ibu.

"Sabar dong, Pak. Orang Bapak baru datang, kok."

Cukup, sekarang Azam benar-benar geram dan ingin marah. Azam menarik nafasnya, tangannya sudah mengepal, tetapi tidak ada niat sama sekali untuk melakukan kekerasan apapun pada si ibu.

"Iya Bu, baik saya akan sabar," ucap Azam dengan nada suara yang dibuat selembut mungkin dibarengi dengan senyum keterpaksaan.

"Ya udah, Bapak tunggu dulu."

"Baik," tutur Azam sembari mengangguk seolah-olah bawahan yang beri rasa hormat dan sopan kepada atasan.

Si ibu pergi masuk kedalam, detik berikutnya si ibu kembali keluar.

"Mana, Bu? Mana pembalutnya?" tanya Azam.

"Saya lupa bertanya, Bapak mau pembalut yang seperti apa?"

"Memang ada berapa jenis?" Azam tidak tahu menahu tentang hal begituan.

"Banyak, Pak. Mau saya sebutkan satu persatu?"

"Tidak! Tidak perlu. Berikan saja semua jenis."

Azam tidak ingin dibuat pusing kembali. Lebih baik dia membeli saja semuanya, daripada lama lagi urusannya.

Kembali harus menunggu, Azam menunggu pesanannya. Untung saja sekarang tidak begitu lama.

Si ibu datang dengan membawa kantong belanjaan berukuran sedang.

"Ini, Pak," ucapnya sembari menyodorkan barang belanjaan milik Azam.

"Berapa semuanya?"

"Lima pulah dua ribu," jelas si ibu.

Azam mengeluarkan dompet dari saku celananya. Dia mengambil uang lima puluh ribuan dan sepuluh ribuan. Lalu Azam memberikan uangnya pada si ibu.

"Ini, Bu."

"Bentar, saya ambil kembalian dulu."

"Ga usah, Bu."

"Maksud Bapak apa? Nganggap saya tukang minta-minta? Berani sekali Bapak memberikan saya kembaliannya," ucap ibu pemilik toko. Sepertinya si ibu merupakan golongan orang yang gampang tersinggung dan emosi.

"Bukan begitu. Saya hanya ... mmm," Azam bingung harus menjelaskan apa pada si ibu.

"Pokoknya saya ga mau ambil kembaliannya. Bapak tunggu dulu di sini."

"Ya sudah, terserah Ibu saja."

Ibu itu masuk kedalam untuk mengambil kembalian.

Didalam si ibu marah-marah. Dia menganggap Azam orang yang mudah menganggap orang lain rendah. Padahal dialah yang salah paham.

"Enak saja dia mau ngasih uang delapan ribu. Dipikir aku ga mampu nyari uang segitu," celotehnya.

"Biarkan saja aku di sini dulu. Biar si orang sok kaya itu lama nunggu. Awas saja kalau dia berani pergi tanpa mengambil uang kembaliannya."

Sengaja ingin melama-lamakan saat mengambil kembalian Azam. Si ibu malah duduk santai. Dia mengambil minuman dingin didalam kulkas, meminumnya dengan sangat santai. Seakan lupa bahwa dia sedang ditunggu.

Diluar Azam sudah merasakan pegal karena terus berdiri. Azam merasa hari ini adalah hari paling sial untuknya.

"Kemana si Ibunya? Lama sekali. Aku mau pergi, tapi takut dia salah paham lagi."

Meregangkan otot-otot tangannya dengan memutar-mutar pergelangan tangan. Memijit kepala yang sudah terasa sangat pusing, dan memegangi perut yang sedari tadi minta diisi.

"Bu, apa Ibu didalam? Bu! Ibu!" panggil Azam lumayan cukup keras agar si ibu dapat mendengarnya.

Dibalik tirai ibu pemilik toko mengintip Azam. Dia tersenyum senang karena telah membuat Azam lama menunggu.

"Aku keluar sekarang atau tunggu sebentar lagi, ya? Ah, lebih baik aku diam dulu. Biarkan dia kelamaan di sana. Rasain, emang enak aku kerjain. Suruh siapa berlaga sok kaya."

"Ck, bener-bener nih si Ibu, nguji banget kesabaran seorang Azam. Tahan Azam, jangan terpancing emosi."

"Terserah deh, aku akan pergi saja. Lagian aku udah bayar, kalaupun dia ga mau ambil kembaliannya juga gapapa."

Azam akhirnya memutuskan untuk pergi saja, tidak peduli lagi dengan si ibu.

"Wah, kurang ajar. Disuruh nunggu malah pergi. Beneran orang yang ga tau sopan santun."

Si ibu geram emosinya memuncak. Dia sendiri yang sebenarnya bersalah.

"Woy!" gertak si ibu.

Azam kaget, dia tidak menyangka si ibu akan muncul.

"Nah kan, pasti aku akan kena lagi. Semoga kesabaranku masih ada. Jangan sampai terpancing emosi. Bagaimana pun, dia seorang wanita, dan lebih tua dariku," ucap Azam berucap dengan sangat pelan. Dia takut akan kedengaran oleh si ibu.

avataravatar
Next chapter