3 Diketahui Ayah

Terhanyut dalam lamunannya, Isabel sampai terlelap dengan penuh beban pikiran. Hatinya merasa resah dan tidak tenang. Seperti ada sebuah kebohongan dan kepura-puraan yang dia simpan. Ingin rasanya dia berkata jujur saja dan mengakui perasaannya didepan seluruh keluarga, tapi dia tidak memiliki keberanian untuk melakukannya.

Matanya terpejam tapi hatinya tak tenang. Meski dalam tidurnya, Isabel terus menangis, sampai membasahi bantal yang dia gunakan.

Sore hari Isabel terbangun dari tidurnya. Dia melangkahkan kakinya kearah kamar mandi. Isabel membasuh wajahnya dengan air agar kembali terlihat segar. Menaburkan sedikit bedak dipipinya dan memberikan sedikit warna dibibirnya dengan lipstik.

Terlihat lebih baik dari sebelumnya. Isabel keluar kamar dan pergi kedapur untuk memasak makan malam.

Ternyata didapur sudah Bi Ijah, pembantu rumah tangga dikeluarga Azam. Bi Ijah sudah mempersiapkan bahan-bahan untuk masak hari ini.

"Menu makan malam kita hari ini apa Bi?" tanya Isabel.

"Eh Nyonya, kenapa Nyonya ke sini?" sahut Bi Ijah, merasa tidak enak hati.

"Saya mau bantuin Bibi masak," ucap Isabel.

"Jangan Nyonya, ini tugas Bibi, sebaiknya Nyonya istirahat saja," cegah Bi Ijah.

"Saya merasa bosan Bi, kalau hanya duduk diam terus. Lagian saya sudah terbiasa masak," terang Isabel.

"Tapi, Nya ..."

"Sudah tidak apa, Bi."

Akhirnya Bi Ijah membiarkan saja Isabel melakukannya. Dia juga tidak berani membantah majikan.

Kini mereka berdua memasak bersama didapur. Isabel begitu ramah kepada Bi Ijah, sehingga Bi Ijah begitu menggumi sosok istri dari anak majikannya.

Menghabiskan waktu beberapa jam untuk mereka menyelesaikan kegiatan masak-masaknya, sampai akhirnya selesai.

Mereka mulai menata hidangannya dimeja makan dengan begitu rapinya.

"Bi, saya mau mandi dulu, gapapa kan kalau Bi Ijah harus membersihkan dapur sendirian?" tanya Isabel.

"Tidak apa-apa Nyonya, saya sudah biasa mengerjakannya sendiri. Terimakasih Nyonya telah membantu saya masak hari ini," ucap Bi Ijah.

Isabel tersenyum dan menyentuh tangan Bi Ijah.

"Iya Bi, kalau gitu saya permisi ya."

"Iya Nyonya, silahkan!"

Tidak sengaja berpasan dengan Azam ditangga, Isabel hanya menunduk saja. Sepertinya Isabel masih sangat merasa malu dengan kejadian tadi pagi.

Azam tersenyum dan mencoba untuk menahan tawanya saat melihat Isabel. Dia teringat kembali bagaimana cara Isabel makan.

"Isabel," sapa Azam.

"Iya," jawab Isabel ketus.

"Tidak jadi," lanjut Azam.

"Apa sih? Mas, ga usah deh kayak anak kecil begitu," kesal Isabel.

"Mas hanya menyapamu, apakah salah? Toh kamu juga istri Mas," bela Azam.

"Sudah lah Mas, pernikahan kita ini hanya kebohongan. Tidak usah bermain peran suami istri denganku! Aku tidak suka itu," tutur Isabel dengan sangat marah.

"Ya, Mas tahu, kamu tidak mencintai Mas dan mungkin sangat benci kepada Mas, tapi asal kamu tahu, pernikahan kita bukan sebuah kebohongan! Pernikahan kita sah dimata agama dan hukum negara!" tegas Azam.

"Cuih ... aku merasa jijik mendengar kata pernikahan," ungkap Isabel.

Dengan emosi memuncak, Isabel segera meninggalkan Azam sendirian. Azam hanya termenung dan kecewa dengan perkataan Isabel barusan.

Azam tidak menyangka jika Isabel memiliki mulut yang sangat tajam. Perkataanya bagaikan sebuah pisau yang menusuk keulu hatinya.

Tidak bisa lagi menahan kekecewaannya pada Isabel, Azam pun melampiaskannya pada tas kerja miliknya. Azam melempar tas kerjanya hingga terjatuh kebawah.

Ayah Bondan melihat kejadian antara Azam dan Isabel. Bukan sengaja ingin melihatnya, tapi Ayah Bondan kebetulan lewat dan melihat hal yang seharusnya tidak terjadi.

Karena begitu marahnya sampai Azam tidak melihat ada Ayah Bondan dibelakangnya. Azam menaiki anak tangga tanpa menghiraukan lagi tas kerja miliknya.

Tas kerja Azam tergeletak begitu saja dilantai. Ayah Bondan mengambilnya dan membawanya.

Rasanya Ayah Bondan masih tidak percaya dengan kejadian tadi. Mengapa bisa menantu dan anaknya tidak rukun. Ayah sempat berpikir bahwa dia dan keluarga telah salah menikahkan Azam dan Isabel.

Melihat tingkah Isabel yang tidak sopan terhadap suami, muncul rasa kesal didiri Ayah Bondan terhadap Isabel.

"Mengapa Isabel seperti itu? Dia seperti wanita yang tidak berpendidikan," ucap Ayah Bondan pada dirinya sendiri.

"Sudah untung aku menikahkan putraku yang masih bujang kepada janda sepertinya. Tapi dia dengan tidak tahu diri berani berbicara kasar pada putraku," kesal Ayah Bondan.

Ditempat lain Bunda Arin sedang melipat pakaian dikamar pribadi miliknya. Lalu Ayah Bondan masuk tanpa menyapa Bunda Arin seperti bisanya.

"Ayah," tegur Bunda Arin, namun tidak mendapat respon dari Ayah Bondan.

"Ayah!" panggilnya kembali dengan nada suara sedikit meninggi, tapi tetap saja Ayah tidak meresponnya.

Kemudian Bunda Arin pun menghampiri Ayah Bondan.

"Assalamualaikum Ayah," ucap Bunda Arin dengan lembut tapi seperti ada kekesalan dibaliknya.

"Eh, Bunda, waalaikumsalam Bun," jawab Ayah Bondan.

"Ayah kenapa sih? Dari tadi Bunda panggil ga nyaut-nyaut," ucap Bunda.

"Maaf Bunda, Ayah tidak mendengarnya," tutur Ayah, seperti acuh tak acuh.

"Ih ... Ayah nyebelin."

Bunda Arin kesal sampai pergi begitu saja meninggalkan Ayah Bondan sendiri.

Ayah Bondan enggan untuk meladeni hal itu, sekarang dia lebih pusing memikirkan masalah putranya.

Malam hari tiba, suasana sekarang terasa begitu canggung. Azam dan Isabel yang masih marahan, Bunda Arin yang masih kesal kepada Ayah Bondan, dan Ayah yang terus memberikan tatapan sinis kepada Isabel.

Anin yang tidak mengetahui apa-apa hanya terdiam membisu. Tidak berani berbicara sepatah kata pun.

Dengan ragu-ragu Anin mulai mengambil makanan untuk dihidangkan dipiring miliknya.

Tanpa diduga tiba-tiba saja Bunda Arin mengebrak meja makan dengan sangat keras.

Seketika semua orang terkejut dan langsung menatap Bunda Arin dengan tatapan tidak percaya. Seorang Bunda Arin yang lembut bisa semarah itu.

Bosan melihat suasana canggung diantara keluarganya. Terasa duduk bersama orang-orang yang tidak dikenal.

"Hentikan semua ini! Kenapa semua orang bersikap aneh?" bentak Bunda Arin.

Semuanya kembali terdiam, tidak ingin berbicara atau menjawab Bunda Arin. Mereka semua terlalu takut dan masih kaget.

"Sekarang cepat semuanya makan! Dan hentikan suasana seperti ini! Apa ini? Semua orang begitu aneh," masih dengan nada suara yang sama. Bunda Arin memerintahkan semua orang untuk bersikap normal seperti biasanya.

Semua anggota keluarga menurut, dan mulai menyantap makanan milinya masing-masing.

Melihat semua orang sudah mulai makan, Bunda Arin pun kembali terduduk dan ikut makan bersama semuanya.

Hening seketika, semuanya fokus kepada makanan masing-masing, tidak ada yang berbicara saat makan.

Bunda Arin menatap satu persatu anggota keluarganya. Setiap orang yang mendapat tatapan seperti itu dari Bubda Arin langsung menundukan pandangannya.

Tidak terasa akhirnya satu persaru dari mereka menghabiskan makanannya. Walau pun sulit untuk menelan makanan tersebut, tapi tetap memaksanya agar masuk kedalam perut.

Setelah menghabiskan makanannya, Ayah Bondan langsung pergi meninggalkan ruang makan. Sepertinya dia masih memiliki amarah didalam dirinya untuk Isabel.

Sepertinya Isabel sudah merasakan ada sesuatu yang berbeda dari Ayah Bondan. Mulai dari tatapan dan perubahan sikapnya. Dalam hati Isabel terus bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada Ayah mertuanya tersebut.

avataravatar
Next chapter