webnovel

PART II

Minggu, pukul 10.00 malam.

Aku pulang dari hangout bersama teman di sebuah café di jalan Senopati, Jakarta Selatan. Seperti biasa, kami selalu kumpul-kumpul menghabiskan waktu bersama pada akhir weekend.

Aku pamit kepada mereka dan pulang naik taksi. Sesampainya, di apertemenku. Aku disapa oleh satpam. Aku membalas sapaan mereka. Aku berjalan memasuki gedung dan naik lift menuju lantai apertemenku yang terletak di lantai 10. Setibanya, di apertemen, aku langsung mandi dan memakai baju santaiku. Saat aku hendak ingin tidur, aku mendengar suara bel pintu apertemenku. Aku melirik jam saat itu menunjukkan pukul 11.00 malam. Aku berjalan menuju pintu. Mengintip dari lubang kecil yang tersedia pada pintu. Aku melihat sosok pria yang membelakangiku. Aku merasa aneh saat itu. Kenapa tiba-tiba ada seorang pria yang datang ke apertemenku pada jam 11 malam? Jujur, aku tidak pernah menerima tamu karna aku tidak pernah memberikan alamatku pada temanku dan juga pihak kantor.

Karna rasa takut yang menjalar pada diriku, aku menelpon satpam untuk datang ke apertemenku. Menyuruh mereka memeriksa pria yang berdiri di depan pintu apertemenku.

Aku cemas menunggu kabar dari satpam. Aku berjalan ke pintu dan mengintip lagi pria yang masih berdiri di depan pintu apertemenku. Tetap dengan posisi yang sama setelah menekan tombol bel apertemenku dan aku masih tetap tidak mau membuka pintu sampai satpam tiba. Cukup lama aku menunggu dan berdiri di dekat pintu. Hingga aku kembali mendengar suara bel. Aku mengintip kembali. Ternyata, satpam yang membunyikan bel. Aku membuka pintu dan melirik ke kiri dan kanan. Tidak ada siapa-siapa.

"Seperti yang nona lihat, tidak ada siapa-siapa yang berdiri di sini," jelas satpam ramah padaku.

"Bapak sudah periksa semuanya?" tanyaku memastikan.

"Sudah nona," jelasnya lembut.

"Maaf, telah merepotkan Bapak," ucapku merasa tidak enak.

"Tidak apa-apa, nona. Bapak merasa senang nona langsung menelpon Bapak. Tindakan nona sudah tepat. Hanya saja, Bapak tidak melihat ada orang di sekitar sini," jelasnya semakin membuat aku merasa bersalah.

Satpam pun permisi dari hadapanku dan berjalan menuju lift. Aku terus menatap satpam sampai pintu lift tertutup. Saat itu, aku ingin menutup pintu kembali. Tiba-tiba, ada seseorang mendekap aku dari belakang. Menutup pintu apertemenku.

Aku mendengar dia berkata "Diam dan cukup nikmati".

Aku tidak tahu apa maksudnya. Yang jelas aku begitu takut sekali. Dengan tenaga yang aku memiliki, aku memukul perutnya dengan sikuku. Dia kesakitan. Segera aku manfaatkan kesempatan itu berlari ke arah dapur. Mengambil pisau sebelum dia kembali menangkapku. Dia terkejut melihat aku mengarahkan pisau kepadanya. Aku melihatnya. Dia adalah orang yang berdiri di depan pintu apertemenku. Terlihat dari jaket yang dia pakai. Aku tidak dapat melihat jelas wajahnya karna dia memakai topeng.

"Siapa kau?" tanyaku masih mengarahkan pisau ke dia. Dia tersenyum, dia tidak takut jika aku menusuknya.

"Aku adalah pemilikmu," jelasnya dengan suara berat.

Aku mengeleng kepalaku. Aku bukan milik siapa-siapa. Aku adalah milik diriku sendiri.

"Aku bukan milikmu. Sebaiknya, kau pergi dari sini. Jika tidak ,aku berteriak!" ancamku.

Tapi, dia tidak takut sama sekali. Dia semakin mendekat, semakin membuat aku takut. Saat dia mendekat, segera aku arahkan pisau padanya. Namun, dengan gerakan cepat, dia berhasil mengambil pisau dari tanganku. Menarik tubuhku dalam dekapannya dan mengarahkan pisau itu pada leherku. Aku dapat merasakan dia tidak segan-segan untuk membunuhku.

"Jika kau ingin harta, silahkan ambil uang di kamarku." Aku berharap dia tergiur. Tapi, dugaanku salah. Dia tidak tertarik.

Dia malah berkata, "Aku tidak butuh uang, aku butuh kamu."

Mendengar itu, aku semakin takut. Aku tidak tahu siapa dia. Entah, dari mana keberanianku muncul. Aku menginjak kakinya dengan kuat. Dia kesakitan. Aku segera berlari ke arah pintu dan berhasil keluar. Aku berlari menuju lift. Aku menekan tombol dan berharap segera terbuka pintu lift. Sekali-kali aku melirik ke belakang. Berharap dia tidak mengejar aku. Pintu lift terbuka. Saat aku ingin masuk, kembali aku merasakan disekap dari belakang. Dia berhasil menangkapku dan ingin membawku kembali ke apertemenku. Tapi, aku tidak berhenti untuk melawan dan lepas darinya. Aku mengigit tangannya kuat. Aku berlari ke pintu apertemen lain. Mengetuk pintu dan tak lupa berteriak minta tolong. Aku berharap ada yang mendengarku dan menolongku. Tapi, usahaku sia-sia. Dia berhasil menangkapku kembali sebelum ada orang yang menolongku. Dia berhasil membawaku masuk ke apertemenku. Lalu, menghempaskan tubuhku ke sofaku.

"Kamu membuat aku marah!" jelasnya semakin aku tidak mengerti.

Aku yang seharusnya marah. Dia datang dan mendekapku. Saat dia mendekat, terdengar suara bel. Aku dan dia saling tatap. Segera dia menarikku, menyuruhku membuka pintu. Dia bersembunyi dibalik pintu dan mengarahkan pisau ke perutku. Aku membuka pintu. Melihat siapa yang menekan bel. Ternyata tetangga sebelah. Pintu yang sempat aku gendor sebelum aku tertangkap. Aku senang melihat dia, aku menatapnya penuh harap. Berharap dia mengerti arti dari tatapanku "tolong aku". Tapi, dia tidak paham dan malah bertanya.

"Apa kau mendengar seseorang mengedor pintuku. Tadi, aku sempat mendengar. Tapi, setelah aku buka. Tidak ada siapa-siapa."

Aku ingin menjawab itu adalah aku, tapi tidak bisa. Dia menekan pisau itu ke perutku semakin membuat aku takut.

"Tidak, aku tidak mendengar apa-apa,"ucapku terbata-bata.

"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya. Aku ingin mengatakan tidak. Tapi, pisau itu membuatku terpaksa berbohong.

"Aku baik-baik saja. Aku ingin tidur. Maaf!" ucapku segera menutup pintu tanpa memerdulikan dia yang aneh menatap diriku. Setelah aku menutup pintu, dia tersenyum senang. Dia mengelus pipiku, menghapus air mataku. Dia mendekat wajahnya padaku dan berbisik.

"Aku suka kamu patuh padaku," ucapnya dan mencium pipiku.

Spontan aku menamparnya kuat. Kutatap dia marah, dia mengelus pipinya bekas tamparanku dan tersenyum. Dia berjalan ke arahku. Aku berjalan mundur menghindari dia yang semakin dekat. Hingga aku tersungkur ke sofa. Aku mencoba bangkit, tapi dia malah menindihku. Berusaha mencium aku, aku berontak dan melawan. Bahkan, aku tak sengaja mencakar lehernya. Dia menyentuh bekas cakaranku yang mengeluarkan darah. Dia menatap darah di telapak tangannya dan menatapku dengan sorot mata tajamnya. Dia menghempaskan pisau yang sejak tadi dia pegang. Dia menarikku paksa menuju kamarku. Aku mencoba melawan, tapi tidak bisa. Pukulanku tidak membuat dia kesakitan. Dia menghempaskan tubuhku ke kasur. Lalu, mengikat kedua tanganku di tiang kepala kasur tempat tidurku sehingga aku tidak bisa bergerak. Aku mencoba melepas ikatan tanganku. Tapi, tidak bisa. Ikatannya sangat kuat. Semakin aku mencoba lepas. Semakin membuat pergelanganku sakit. Kulirik dia mengambil sesuatu dari laci meja kerjaku. Dia mengambil solasiban hitam dan menutup bibirku sehingga aku tidak dapat berteriak. Saat itu, dia melepas pakaianku dan memperkosaku. Aku hanya bisa diam dan menangis meratapi diriku yang dilecehkan dengan orang asing di kamarku sendiri. Hatiku hancur dan rasanya ingin segera mati.

Dia tersenyum setelah puas melecehkanku. Tidak ada rasa bersalah sedikit pun. Manusia apa dia? Dan aku hanya bisa menangis berharap ini hanya mimpi buruk dan segera terbangun. Hingga aku merasakan pusing di kepalaku saat dia mengarahkan sapu tangan putih ke hidungku. Hingga aku tidak sadarkan diri.

***

Aku menatap wajahnya setelah aku ceritakan semua. Dia tampak berpikir, mencerna semua ceritaku. Kuharap dia tidak ragu kali ini dan segera melakukan penyelidikkan.

"Kami akan segera melakukan penyelidikan dan mencoba menangkap pelaku!" ucapnya membuat aku sedikit tenang. Kuharap penyelidikan mereka berhasil.

"Aku berharap besar kepada Anda. Anda harus menemukan pelakunya!" ucapku berharapan besar. Dia hanya mengangguk tanpa berkata. Kami berjabat tangan. Aku pun segera melangkah keluar dari ruangannya dari kantor polisi. Menatap keluar menatap langit cerah. Berharap besar pada kasusku dan segera terungkap sosok pria yang telah memerkosaku.

Next chapter