5 Ch 5. Teka-teki

"Kei, kamu beneran temenan sama Mia?" tanya Shella penasaran.

"Iya, waktu kelas 10 aku sebangku dengannya. Emang kenapa?" heranku.

"Entah kenapa aku ngga suka dengannya. Kalau bukan karenamu, aku ngga akan temenan sama dia."

"Ngga suka kenapa?"

"Entahlah, aku juga ngga tahu. Hanya saja begitu bersama dia aku ngga nyaman."

"Sudahlah, mungkin itu hanya perasaanmu saja. Mia baik kok."

"Kamu emang terlalu baik."

"Aku sudah sering mendengarnya."

Tak lama setelah itu, Mia dan Nadine datang.

"Lho kalian belum makan?" tanya Mia.

"Nunggu kalian, biar makan bareng," jawabku.

"Dasar kamu ini, makan duluan aja. Aku sama Nadine mau beli makanan dulu," ucap Mia.

"Iya," balasku.

Deg!

Tiba-tiba aku melihat sepotong ingatan.

Anak lelaki yang berlari memanggil namaku.

"Kei?" panggil Shella.

"Kei?" panggilnya lagi.

"Kei!" panggilnya seraya menepuk pundakku.

"Ah iya?" Kagetku.

"Kamu ini mikirin apa sih sampe ngelamun gitu? Ngga baik tau!" ucapnya.

"Hehehe ... maaf ya, ngga maksud."

"Eh? Ngapain minta maaf? Aku cuma mau, kalau lagi ada masalah cerita ya."

"Ternyata Shella baik ya ... ok deh kalau begitu."

Dari jauh Nadine memperhatikan mereka

"Rasanya aku harus menjauhkan mereka," pikirnya.

***

"Farel!" panggilku ketika melihat Farel.

"Akhirnya keluar juga," ucapnya.

"Udah kaya satpam aja di depan gerbang," ledek Mia.

"Mia ini seneng banget ya jahilin orang," sahut Nadine.

Farel mengabaikannya.

"Aku pulang duluan ya," ucap Shella.

"Iya, hati-hati Shella," balasku.

"Eh jemputan aku udah dateng, aku duluan ya," ucap Nadine.

"Aku juga," sambung Mia.

"Iya, sampai jumpa besok," ucapku.

"Kamu yakin temenan sama mereka?" tanya Farel tiba-tiba.

"Lho emang kenapa? Emang mereka terlihat meragukan?"

"Apa kamu butuh teman lagi?"

"Hah?"

"Ngga bisa aku saja? Cukup aku yang jadi temanmu."

Aku menepuk pundak Farel dan berucap, "mau aku temenan dengan siapapun, cuma kamu sahabat terbaikku!" ucapku bangga.

Farel tersenyum lembut.

"Senang mendengarnya." ucapnya kemudian.

"Kalau gitu, yu pulang!" ajakku.

"Maaf ya Farel, aku belum bisa sepenuhnya jujur sama kamu. Sebenernya aku tahu bahwa kamu merasa bersalah padaku. Entah apa yang membuatmu merasa seperti itu. Maka dari itu, aku akan berusaha agar tidak membuatmu khawatir," ucapku dalam hati.

"Bagiku, melihat kau baik-baik saja, sudah lebih dari cukup," ucap Farel dalam hati.

"Oh iya Kei, kamu yakin ngga mau ikut ekskul apapun?" tanya Farel.

"Iya, aku ngga tertarik." jawabku.

"Lalu, cita-citamu apa?" lanjutnya.

"Udah kaya wali kelas aku deh nanya-nanya masa depan, hahaha ...."

"Aduh jadi disamain sama bu Maya."

"Hahaha ... kamu sendiri mau jadi apa?" tanyaku balik.

"Aku juga belum tahu hehehe ...."

"Hahaha ... sendirinya juga belum tahu!"

"Hehehe ... udah dong ketawanya, malu nih."

"Iya aku berhenti, untuk sekarang kita jalanin dulu saja sambil memikirkan cita-cita kita."

Tiba-tiba Farel mencubit pipiku.

"Aduh sakit!" protesku.

"Makannya jangan gemes-gemes." ucapnya berlalu.

Aku memasang wajah cemberut seraya menyusul Farel yang berjalan semakin cepat.

***

"Aku pulang," ucapku yang disambung pelukan ibu.

Aku membalas pelukan ibu.

"Bu," panggilku.

"Hmm," jawab ibu.

Aku sangat ingin menceritakan penglihatanku. Siapa tahu ibu mengetahui siapa lelaki itu, namun aku urungkan.

Aku tak ingin membuat ibu khawatir.

"Aku makin cantik ya?"

"Kamu selalu cantik," ucap ibu melepaskan pelukannya.

"Hehehe ... kan, mirip Ibu," balasku.

"Pastinya dong ... udah sana ganti baju dan mandi," titah ibu.

"Siap laksanakan!" ucapku semangat.

Ibu memperhatikanku, aku bersyukur memiliki ibu.

"Ibu harap kamu selalu bahagia," gumam ibu.

Setelah aku mandi, aku mengambil buku Geografi, guna mengerjakan tugas.

Aku mengambil buku dan tak sengaja mataku menangkap sebuah kotak berukuran sedang berwarna biru muda.

"Lho emang aku punya ini?" bingungku.

Aku mengambil kotak tersebut, membuka kotaknya dan mengambil secarik kertas.

Kubuka lembar kertas yang berisikan tulisan anak-anak.

"Lucu ya, tulisannya ngga rapi," gumamku.

Aku baca kata demi kata.

Hai Kei, tulisan aku kebaca, kan?

Aku harap kebaca, karena aku mau kasih tahu kamu sesuatu nih. Salah satu puisi yang aku suka. Aku harap kamu juga menyukainya.

"Puisi?" gumamku lagi.

Aku membalikan kertas dan menemukan puisi yang berjudul Persahabatan.

Persahabatan

Karya Mahdi Idris

Hanya bau tanah

yang membedakan kita

sedang bau laut tetap asin,

juga angin tak pernah berbeda

senantiasa bertiup semuanya

Kita adalah sahabat

yang tiada batasnya.

Tes ... tes ... air mataku berjatuhan.

"Apa ini? Mengapa aku menangis? Siapa yang menulis? Bagaimana bisa ada di kamarku?"

Sesaat aku melihat anak lelaki yang tersenyum kepadaku, senyumannya sangat menyejukkan hati.

Aku pun kembali menangis.

***

Keesokan harinya..

"Mata kamu kenapa, Kei?" tanya Farel.

Ya, mataku bengkak akibat menangis. Ibu sempat panik, namun ibu tidak menanyakan penyebab aku menangis dan membiarkan aku menangis dipelukan ibu.

"Habis nangis," jawabku jujur.

"Nangis kenapa? Apa yang membuatmu menangis?" tanya Farel khawatir.

"Aku habis nonton film yang sedih hehehe ...."

"Dasar," ucapnya mencubit hidungku.

"Sakit tahu!" protesku.

Farel tidak mempedulikannya dan kembali mencubit hidungku dan berlari kecil.

"Awas ya!" ancamku.

Farel tertawa.

Bruk!

Terlalu asik tertawa sambil berlari kecil mengakibatkan Farel menabrak Mia.

"Aduh," ucap Mia.

"Hahaha ... makannya kalau jalan tuh yang bener!" omelku.

"Iya maaf ..." ucapnya.

"Minta maafnya ke Mia dong, kan Mia yang ditabrak bukan aku!" omelku lagi mendekati mereka.

"Maaf ya Mia, ada yang sakit?" ucap Farel.

"Ngga apa-apa kok, kalau gitu pulang sekolah temenin aku bisa? Sebagai menembus kesalahanmu," balas Mia tanpa basa-basi.

Farel sempat melirikku yang aku balas dengan anggukkan.

"Baiklah, temui aku di gerbang sekolah," ucapnya berlalu.

Mia tersenyum senang seraya mengangguk. Lalu, menyusul Farel.

"Mia suka sama Farel?" gumamku.

"Sepertinya," bisik Shella

Bisikannya membuatku terkejut.

"Shella! Kaget tau!" omelku.

"Hahaha ..." tawanya.

"Udah yu, ke kelas. Kalau telat bisa bahaya," ucapku.

"Hahaha ... iya," balasnya seraya merangkulku.

Sesampainya di kelas, aku langsung disambut oleh Mia dan Nadine.

Mia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, "Kei, soal yang tadi pagi jangan bilang siapa-siapa ya."

Kei membalasnya dengan anggukan.

"Bisikin apa sih?" tanya Nadine basa-basi.

"Itu lho yang tadi pagi," jawab Mia.

"Ohh itu, Kei jangan bilang siapa-siapa ya," balas Nadine.

Kei mengangguk.

Nadine melirik Shella yang sedang bermain ponsel di bangkunya.

***

"Akhirnya istirahat," ucapku senang.

"Hahaha ... udah laper ya Kei?" ucap Shella.

"Iya nih, ayo ke kantin!" ajakku.

Baru saja aku berdiri, tanganku sudah ditarik Mia.

"Shella duluan!" teriakku.

Shella mengangguk.

"Bareng sama aku aja," ucap Nadine.

Shella tidak mempedulikannya dan Nadine merangkul Shella.

"Apaan sih?" ucap Shella dalam hati.

"Hmm ... Shella," ucap Nadine seraya melepaskan rangkulannya.

"Apa?" balas Shella.

"Ngga jadi deh, aku takut kamu jadi canggung sama Kei," ucapnya berlalu.

Lagi-lagi, Shella tidak mempedulikannya.

***

avataravatar
Next chapter