16 Ch 16. Perkara

Rasanya aku tidak memiliki tenaga untuk berangkat ke Sekolah. Meski Farel telah membuat perasaanku menjadi lebih baik, namun keinginanku untuk tidak masuk sekolah sangatlah besar.

"Hai Kei," sapa Nadine.

"Oh hai," balasku.

"Kamu kenapa? Ngga biasanya deh," ucap Nadine heran.

"Ngga apa-apa kok."

"Hmmm ..." Nadine menatapku curiga.

Aku melirik Nadine, "Aku be—"

"Eh itu ada Mia," ucap Nadine riang.

Aku hanya menghela napas. Bagaimana pun juga aku harus menghadapinya.

"Hai Mia," sapaku.

"Oh hai Kei," balas Mia.

"Syukurlah Mia tidak marah padaku," batinku.

"Nadine, tugas Bahasa Indonesia udah belum?" tanya Mia.

"Belum semua, tinggal nomor 9 sama 10," jawab Nadine.

"Aku udah semua, kalau kamu mau bisa lihat punyaku," tawarku yang diabaikan begitu saja.

"Lho sama, tanya Azza aja kalau gitu. Kali aja dia udah," ujar Mia.

"Ternyata masih marah," batinku.

"Mereka berantem?" pikir Nadine.

"Farel!" panggil Mia.

"Hai Mia," balas Farel.

"Pulang sekolah jadikan?"

Farel nampak berpikir sejenak sebelum menjawab, "oh itu, jadi."

"Emang kamu mau kemana Rel?" tanyaku. Sekilas aku melihat Mia memandangku sinis.

"Nganterin Mia beli alat tulis," jawab Farel mengelus kepalaku.

"Kebiasaan ih!" omelku.

"Hahaha ... istirahat makan bareng ya," ucap Farel berlalu.

Aku mengangguk.

"Duh, Farel makin hari makin memperlihatkan perasaannya ya," celetuk Nadine.

"Perasaan?" ujarku.

"Iya."

"Apa selama dugaan orang bener kalau Farel suka sama aku?" pikirku.

Andai saja aku menyadari tatapan Mia. Aku tidak akan dijauhi olehnya sampai mempengaruhi kerja kelompok.

***

Tidak terasa, tibalah kelompok kami mau untuk mempersentasikan Pengertian APBN dan APDB.

"Baiklah anak-anak, kalian sudah menyelasaikan tugas kelompoknya bukan?" ujar bu Reni.

"Sudah bu," jawab seluruh murid serempak.

"Bagus! Sekarang kita mulai dari kelompok 1, silahkan maju," perintah bu Reni.

Tanpa ragu kami maju dan menjelaskannya secara bergantian, namun aku harus dihadapi dengan serangan dari kelompokku sendiri, yaitu Mia tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan dan menjawab semua pertanyaan. Mia pintar sekali menyelaku, tentu saja dibantu Azza. Akibatnya aku harus menjawab pertanyaan mematikan dari bu Reni.

"Ibu perhatiin, yang jawab Mia sama Azza terus ya, terus yang jelasin Julian sama Revan. Lalu, mengapa Kei berdiri disitu? Apa benar Kei kelompok 1?" tanya bu Reni.

Mungkin sebagian orang tidak mengerti mengapa ini menjadi pertanyaan mematikan, tapi pertanyaan ini dapat mempengaruhi kehidupan sekolahku ke depannya.

"Benar bu, Kei sedang tidak enak. Jadi saya membantunya," jawab Mia.

"Hah? Alasan apa lagi itu?" batinku.

"Meski begitu Kei tidak seharusnya berdiam diri saja," tegas bu Reni.

"Itu ti--"

"Itu tidak masalah bu, Kei sudah cukup membantu dalam mencari materi," potong Azza.

"Baiklah kalau begitu, yang pasti Kei harus menyerahkan tugas tambahan. Istirahat nanti Kei temui saya di Ruang Guru!" ujar bu Reni.

Revan tidak habis pikir dengan kelompoknya, dilihat darimana pun Azza dan Mia sengaja melakukannya. Ia juga tidak habis pikir dengan Julian, memang tidak salah ia dijuluki penggila nilai.

"Baik bu ..." balasku.

Setelah kelompok kami selesai, tibalah kelompok selanjutnya. Aku terduduk lemas, saat itulah aku menerima selembaran kertas lecek. Aku membuka kertas itu dan membaca kalimat yang tertera.

'Kalau sampai presentasi mempengaruhi nilaiku, aku tidak akan tinggal diam! Julian'

"Hah?" Aku langsung menengok ke Julian yang tengah asik memperhatikan seraya menulis pertanyaan yang akan dia ajukan, "dasar penggila nilai!" umpatku.

"Penggila nilai?" batin Shella yang mendengarnya.

Tepat saat itu ada yang menepuk bahuku.

"Oh Revan, ada apa?" tanyaku.

"Yang tadi ngga usah dipikirkan, nanti aku bantuin," ujarnya.

"Ngga masalah, tapi makasih ya."

"Beneran?"

"Iya, udah sana duduk di kursi kamu," usirku.

Revan mengangguk.

Aku kembali menghela napas, entah sudah berapa kali aku melakukannya. Aku membuka bagian belakang buku tulis, mencoret-coret apa saja untuk membuat perasaanku membaik. Sesaat aku merasa mengingat sesuatu, namun kali ini berbeda. Aku mengingat seorang anak perempuan.

"Apa ya?" batinku.

"Kei," sapa Shella menyadarkanku.

"Eh ya?"

"Doakan aku ya hehehe ..."

"Oh sekarang kelompok kamu ya? Semangat!"

"Makasih ..." Shella memperlihatkan senyumnya.

Shella berbeda sekali denganku, ia dapat persentasi dengan sangat baik. Teman sekelompoknya pun bersahabat. Mereka membagi tugas dan menjalankannya dengan baik.

Disamping itu, ada Nadine dan Mia yang sedang menyusun rencana.

"Aku ngga nyangka kamu sebegitu ngga sukanya sama Kei," ujar Nadine.

"Kalau aja dia membiarkan Farel denganku, aku pasti ngga akan gini."

"Jujur aja, dari awal kamu ngga tulus berteman dengannya bukan?"

"Ya awalnya sih kasian, tapi pas tau dia sahabatnya Farel aku jadiin dia temen beneran. Tetep aja, Farel hanya melihat Kei," jelas Mia.

"Kalau begitu lanjutkan. Kamu buat Farel hanya melihatmu dan tetap membuat Kei merasa bersalah, dengan begitu Farel tidak akan selalu ada untuk Kei dan Kei tidak akan menganggu karena rasa bersalahnya."

"Tanpa kamu bilang, aku pasti melakukannya. Aku udah ngga peduli dengan Kei, namun pencitraan tetap harus dilakukan."

"Terserah apa katamu."

***

Sepulang sekolah, aku mendapatkan pesan dari Farel yang berisikan 'Kei, hati-hati di jalan ya. Kalau ada apa-apa kabarin!' yang aku balas dengan emoticon senyum.

Aku berhenti sejenak di pinggir lapangan, berharap hubungan Farel dan Mia lancar.

"Ternyata benar kamu disini," ujar seorang anak lelaki.

"Kei, pulang bareng yu!" ajak Nadine yang membuatku menengok ke belakang.

"Ayo, kamu ngga dijemput?" balasku.

"Dijemput kok, tapi jemputnya di depan komplek kamu. Aku mau jalan sama kamu," ucap Nadine.

"Ok," ucapku senang.

"Wow ngga aku sangka, Nadine juga bersekolah disini. Ternyata ia lebih cepat dariku. Tunggu aku Kei, semester baru aku pindah," ucap lelaki itu berlalu.

Disaat yang sama ada Farel sedang menunggu Mia piket.

"Maaf ya lama," ucap Mia begitu keluar kelas.

"Ngga masalah, ayo!" balas Farel.

"Iya!"

Mereka berjalan bersama yang membuat semua mata tertuju pada mereka.

"Wah liat itu."

"Cocok banget ya."

"Tumben banget ngga sama Kei."

"Bisa ngga sih, ngga sebut nama Kei?"

"Tau sih! Ini lagi bahas keserasian antara Farel dan Mia."

"Aku harap mereka segera jadian."

"Aku juga."

Farel berusaha sekuat tenaga untuk tidak terpancing, Farel sangat marah ketika mereka berbicara seenaknya mengenai diriku. Andaikan Farel bisa menegurnya.

Greb!

Tanpa mempedulikan Farel, Mia mengandeng tangan Farel.

"Gadis gila," umpat Farel dalam hati.

"Kyaaaa, mereka gandengan," ujar salah satu murid yang lihat.

"Sekali ini aja, boleh ya ..." lirih Mia.

"Iya," Farel memperbolehkannya. Kalau bukan karena aku, pasti Farel sudah melepaskan gandengannya.

"Siapa cewek itu? Farel suka sama modelan kaya gitu?" gumam lelaki itu.

"Maaf kakak siapa?" tanya seorang murid yang tak sengaja melihatnya.

""Oh aku? Nanti kamu juga bakal tau. Dah!" balasnya.

"Kakak yang aneh," gumam murid terssebut.

***

avataravatar
Next chapter