webnovel

4| Studio Tempat Dua Jalang Bertemu

Ini adalah hari ke tujuh dan jatuh pada hari minggu. Dari semalam Elma dibuat tak nyenyak tidur. Dia berusaha mati-matian menghindari Han, menghindari bertatap mata dengan suami yang begitu baik padanya. Entah saat makan malam bersama, menonton televisi, atau bahkan di ranjang mereka berdua. Selama seminggu ini Elma merasa seperti seorang pesakitan yang menjijikkan.

Elma begitu ketakutan. Dia merasa sang suami akan mampu mengetahui rahasianya, bahkan hanya dengan memandang mata atau sekadar menyentuh kulit tangan Elma. Perempuan bertubuh sekal semampai itu begidik dibuatnya.

"Ada yang ingin kau bicarakan denganku, Sayang?" selidik Han saat memperhatikan istrinya yang terus-menerus murung dan gelisah.

Elma terbelalak. Dia tak mungkin membicarakan masalah yang menimpa dirinya dengan sang suami. Siapa yang tahu bagaimana reaksi Han nanti? Elma bahkan masih belum mengenal Han terlalu dalam.

"Tapi, aku membutuhkan bantuan!" desah Elma dalam hati. "Aku bisa saja melaporkan ini kepada polisi sebagai kasus pemerasan dan ancaman, tapi... Han tentu akan tahu, bahkan orang-orang akan tahu. Tidak!"

Elma kembali meremas-remas tangannya sambil menggigiti bibir.

"Elma?" Han mengguncang lembut bahu istrinya.

Elma berjengit dan menjauhkan diri dari tangan Han, membuat pria beralis lebat itu berkerut dan sedih.

"Ma-af," ucap Elma lirih, "Aku ... sedang PMS! Aku butuh waktu untuk menenangkan gejolak hormonku yang kacau."

Han berusaha tersenyum, meski wajah khawatirnya tak juga menyusut. "Katakan apa pun yang kau butuhkan dariku?"

Elma memutar tubuhnya menghadap sang suami seutuhnya. Dia sisihkan cangkir kopi yang sudah menjadi dingin. Perempuan itu merasa mendapat kesempatan untuk menyelesaikan tugas terakhirnya di hari ke tujuh, tanpa perlu Han tahu.

"Bolehkah hari ini aku pergi berbelanja?" bujuk Elma.

Han langsung mengiyakan permintaan istrinya tanpa banyak bertanya.

"Seminggu lagi kita akan pergi ke Gunung Putih, bulan madu, seperti yang kau impi-impikan selama ini. Jadi, buatlah dirimu nyaman sebelum kita berangkat. Perlukah aku antar?" tanya Han dengan sabar.

"Tidak!" Elma terlalu keras mengucapkan penolakan itu. Dia menyesal dan mencoba mengoreksi ucapannya. "Maksudku, aku mungkin akan membosankan dan lama. Kau tahu? Aku...."

"Tak mengapa, Sayang. Pergilah sendiri sesuka hatimu. Aku akan berada di rumah sepanjang hari. Jika kau butuh sesuatu, cukup hubungi ponselku."

Elma bangkit dari kursi dan memeluk Han. Ada kelegaan dalam derap napas mereka.

Ting ... tong ...!

Bunyi bel pintu membuyarkan dekapan Han dan Elma. Mereka saling pandang. Sebelum Han berucap, Elma sudah lebih dulu berlari ke depan. Dia tahu ini sudah waktunya. Sopir taxi mewah akan berada di depan rumah mereka dan membawakan gaun yang lain lagi untuk Elma kenakan. Selalu seperti itu setiap hari selama tujuh hari ini.

"Siapa, Sayang?" teriak Han tanpa menoleh dari surat kabar minggunya.

"Hanya kurir, Sayang! Aku tadi memesan sesuatu untuk kukenakan belanja hari ini." Elma berdiri di bawah tangga sambil mencengkeram kotak kardus berisi gaun baru.

Saat Elma sudah memastikan Han tak bertanya lagi, dia bergegas naik ke kamarnya untuk bersulih pakaian. Kali ini adalah gaun brokat hitam panjang, tapi selalu sama seperti sebelumnya. Gaun-gaun yang Elma terima tak pernah benar-benar bisa menutupi seluruh tubuhnya. Sebaliknya, gaun-gaun itu seakan sengaja dibuat untuk menonjolkan kecantikan Elma.

Sebelum keluar dari kamar, Elma mengobrak-abrik lemarinya untuk mencari mantel atau apapun yang bisa digunakan untuk menutupi gaun itu dari kecurigaan Han. Gaun brokat itu sungguh transparan. Warna hitamnya terlihat sangat kontras dengan kulit Elma yang seputih pualam.

Han tertegun melihat penampilan Elma yang menurutnya aneh. Yang terlihat oleh Han saat istrinya turun dari lantai dua adalah Elma mengenakan mantel hitam panjang dan selendang yang ditudungkan di kepala. Han merasa hari itu Elma seperti akan menghadiri sebuah pemakaman.

Elma terpaksa melakukannya. Dia harus melapisi gaun brokat "keparat" itu dengan mantel hitam satu-satunya yang dia punya untuk menghadiri pemakaman.

"Aku tak ingin mencolok," Elma mengendik.

Han hanya mengangguk pelan, "Hati-hati!"

Kaito tengah berlama-lama memandangi hasil karyanya. Sosok mantan kekasihnya terpampang di sebuah kanvas berukuran dua kali dua meter. Dia kuatkan karakter Elma di dalam kanvas dengan menonjolkan sisi misteriusnya. Sebuah lukisan raga yang terluka, cangkang tanpa isi. Dia sapukan sentuhan terakhir pada garis wajah Elma yang lembut tapi tegas dengan memberi warna semerah darah pada bagian bibirnya.

Biib ... biib ....

Ponsel Kaito bergetar di permukaan meja. Nomor tak terdaftar itu dia ketahui sebagai sponsor yang membayar jasanya. Orang itu selalu mengganti nomernya setiap kali menghubungi Kaito.

"Ya?"

(suara di seberang sambungan)

"Saya sudah menyelesaikan pesanan Anda."

(suara di seberang sambungan)

"Tidak! Elma tidak perlu lagi datang ke sini."

(suara di seberang sambungan)

"Apa? Untuk apa? Saya tidak membutuhkan itu! Saya seorang profesional!"

Klik. Sambungan terputus.

"Sial!" napas Kaito terengah. Dia banting ponselnya ke rak berisi cat-cat kaleng kosong. "Apa orang ini sengaja mempermainkan aku?" gerutu Kaito kesal. Dia sunggar rambut gondrongnya dengan sepuluh jemari sekaligus, kebiasaan di kala frustrasi.

"Siapa? Sponsormu?" sentak Elma dengan sinis.

Kaito terperenyak. Cepat-cepat dia tutupi lukisannya dengan kain putih polos, berharap Elma tak sempat memperhatikan.

"Kapan kau tiba?" tanya Kaito dengan kikuk.

Sudut mata Elma memicing. Sekilas dia dapat melihat lukisan yang baru ditutupi oleh Kaito, meski tak seutuhnya. Dia hanya bisa melihat bagian rambutnya yang tergerai dengan wajah orang putus asa. Perut Elma bergejolak. Dia merasa ingin muntah. Dalam hati, Elma bersyukur Kaito segera menutupi lukisan itu.

"Apa lukisan itu sudah selesai?" tunjuk Elma pada lukisan yang sudah terbungkus kain.

Kaito tak mampu berbohong, tapi dia harus mengarang sesuatu agar terdengar masuk akal, "Aku hanya perlu melakukan sentuhan akhir."

"Apa kau sungguh masih membutuhkanku hari ini?" desak Elma.

Kaito menelan saliva. Jakunnya melonjak menahan renjana. Dia berusaha mengucapkan sesuatu tapi terdengar parau sekali. Terngiang jelas orang yang baru saja menghubungi meminta Kaito untuk "menikmati" Elma sebagai hidangan penutup. Akan tetapi, nuraninya memberontak. Tanpa pemuda itu sadari, Elma sudah berdiri di depannya seperti seminggu terakhir saat akan menjadi model lukisannya.

Kaito menggeleng, "Aku sedang tak bisa melukis hari ini. Kau bisa pulang, Elma!"

Sepanjang perjalanan menuju studio Kaito, perempuan itu telah memikirkan berbagai macam rencana untuk mengungkap identitas pemerasnya. Akan tetapi, dia hanya bisa menemukan satu jalan, yakni memanfaatkan kelengahan Kaito. Elma tahu betul pemuda di hadapanya sangat mendambakan Elma. Dia sempat merasa bersalah karena dulu mencampakkan pria itu dengan sewenang-wenang.

Selama seminggu, Kaito menunjukkan profesionalitasnya. Tak pernah sekalipun pemuda itu menyentuh Elma tanpa permisi. Kaito benar-benar melukis, hanya melukis. Kali ini Elma mungkin akan kembali merasa bersalah dan berutang pada Kaito seumur hidupnya. Dia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan masa depan dan pernikahannya.

Elma mengecup pipi Kaito sekilas. Pria gondrong itu terlonjak dan mundur.

"Aku tahu kau masih mencintaiku, Bagas!" bisik Elma. "Aku bisa memberikan apa yang kau inginkan hari ini, tapi ..."

Elma kembali membisikkan sesuatu pada telinga Kaito. Pemuda itu hanya termenung. Dia sadar tak bisa memberikan apa yang Elma pinta, tapi bukankah sponsornya menjamin hari ini adalah hidangan penutup untuk kerja kerasnya?

Maka, di sanalah mereka. Kaito dengan pemikirannya dan Elma dengan rencananya. Mereka bertaruh dengan hidup masing-masing. Suara kelontang kaleng cat-cat bekas mengiringi pergulatan itu. Permukaan karpet penuh noda menjadi arena pertarungannya. Sofa usang yang beraroma pengencer cat dan sudut-sudut bayangan terkelam di minggu siang yang muram, menjadi saksi kerusakan moral demi meraih ambisi.

Di dalam mansion tuanya, sang pria duduk sambil menggenggam tuas kursi roda. Wajahnya berpendar karena pantulan cahaya dari layar monitor. Dia tarik lepas pelantang di kedua telinganya begitu mendengarkan suara-suara menjijikkan dari rumah studio Kaito.

"Mereka sungguh melakukannya! Pertunjukan yang menyenangkan, bukan? Mereka semua hanya sekumpulan binatang yang bersembunyi di balik raga dan cangkang manusia."