12 Keseharian Arstya

"Oh ya, ngomong-ngomong aku membawakan hadiah untukmu."

"Hadiah?!" Bruno terkejut, senang, Arstya membawa oleh-oleh dari Ibukota Kerajaan.

"Benar. ini untukmu, dan ini untuk Max. Kuharap kalian suka," kata Arstya seraya memberi buah tangan itu pada Bruno.

"Oh t.. terima kasih banyak, aku sangat suka."

Setelah itu, Max datang dari arah barat sembari berlari dan melambaikan tangannya dan memanggil Bruno.

"Loh, Arstya? Bagaimana kabarmu? Dan sedang apa kau di rumahnya?" Max sama kagetnya dengan Bruno hingga terbelalak.

"Aku baik-baik saja seperti yang kau lihat. Aku kesini mendengar dari tuan David jika kalian ingin ke rumahku. Jadi aku membuat kejutan, dan ternyata berhasil, kalian berdua terkejut, hehe," kata Arstya, tertawa kecil.

Max yang melihat Bruno wajahnya memerah, mulai berpikir bahwa mungkin saja dugaannya selama ini benar. Max melihat Bruno dengan pandangan mengejek yang membuatnya kesal.

"Apa apaan wajahmu itu?" desah Bruno, nampak kesal.

"Oh ya, ini hadiah untukmu Max. Aku bawakan dari Ibukota Kerajaan," sela Arstya seraya menjulurkan tangannya kepada Max.

"Oh terimakasih Arstya, kau memang yang terbaik."

"Jika kalian penasaran, bukalah sekarang," Arstya senyum kecil.

Mereka pun membuka hadiah itu, merobek bungkus dan koran yang menyelimuti hadiahnya, dan membiarkan sobekan kertas itu tersebar di atas tanah. Mereka pun terkejut melihat hadiah yang mereka terima.

Bruno mendapatkan foto disertai bingkai yang sangat besar, yang menggambarkan wajah sang Raja Penyihir dan di bawah foto itu ada beberapa makanan, camilan khas Ibukota Kerajaan yang tak terjual di Desa Hakuba dan beberapa buku tentang pelajaran sihir.

Begitu juga dengan hadiah yang diterima Max, berisi makanan dan buku-buku tentang pelajaran sihir dari Ibukota Kerajaan. Namun ada yang membedakan dari hadiah yang mereka terima.

Max menerima hadiah berupa gelang sihir yang sama persis dengan gelang milik mereka, dari motif dan warnanya. Max pun kebingungan melihat gelang itu, mengapa ia diberi gelang yang sudah ia punya.

Arstya dan Bruno tak memperhatikannya, Arstya lebih tertuju pandangannya pada Bruno yang ternganga kegirangan melihat foto Raja Penyihir, apalagi foto itu baru saja diambil beberapa hari yang lalu. Pasti ini keluaran terbaru, pikir Bruno.

Kemudian Max berjalan pelan, mendekati Arstya, "Hei Arstya, terimakasih hadiahnya, tapi mengapa kau memberikanku gelang sihir yang sama dengan punyaku saat ini?" tanya Max kebingungan menggelengkan kepalanya.

"Sebab gelang sihirmu suatu saat akan hancur Max," kata Arstya pelan.

"Hancur? Kenapa bisa…".

Eh.. gelangnya mulai retak sangat kecil, kemudian rata ke semua bagian.. prang… hingga gelangnya pun hancur berkeping-keping sangat kecil, hingga menjadi butiran debu dan bertebaran di atas tanah.

Max pun terlonjak, terbelalak tak tahu apa yang terjadi dengan gelang sihirnya.

"Kau tak perlu kaget," kata Arstya.

"Itu pasti terjadi ketika kau sering menggunakan sihirmu terus-menerus. Sedangkan milik Bruno belum hancur sebab ia hanya menggunakan sihirnya satu kali selama seharian penuh, entah sihir apa yang ia keluarkan. Apa tuan David atau orang tuamu tidak memberitahumu hal ini?" Max hanya menggelengkan kepalanya, mulutnya sedikit menganga.

"Tapi mengapa kau tahu jika gelang sihirku akan hancur? Kau seperti peramal saja," kata Max takjub.

"Aku juga tak menyangka gelangmu akan hancur sekarang. Aku membelikan untukmu hanya untuk berjaga sewaktu-waktu gelang sihirmu akan hancur. Tapi aku tidak tahu jika waktu hancur gelangmu itu di hari ini"

"Ini sangat merepotkan. Kuharap aku bisa mengendalikan sihir tanpa harus memakai gelang ini."

Bruno yang juga tidak mengetahui hal itu juga terlihat menganga kebingungan melihat gelang sihir Max yang sudah berubah menjadi butiran debu.

"Jangan-jangan kau juga tidak tahu ya, Bruno?" tanya Arstya padanya yang masih menganga.

"Y.. ya seperti dugaanmu."

Arstya merasa lega beruntung dia memberi hadiah mereka beberapa sedikit ilmu sihir yang mungkin saja bisa menambah wawasan mereka tentang sihir.

Meskipun Bruno senang membaca buku, tapi buku yang ia miliki tentang ilmu sihir sangat sedikit, yang paling banyak koleksi hanya buku-buku sejarah dan identitas para menteri.

"Bruno aku titip buku-buku ini di rumahmu, nanti aku akan ambil," kata Max.

"Oh terimakasih hadiahnya, Max" jawab Bruno dengan nada usil.

"Apa maksudmu dengan 'terima kasih'? jangan mengira aku akan memberikan hadiah ini."

"Sudahlah, kalian berdua," Arstya menjadi penengah mereka.

Arstya memang sudah menjadi teman dekat Max dan Bruno sejak mereka masih kecil. Namun pada umur 12 tahun, Arstya dan keluarganya pindah ke daerah Ibukota Kerajaan.

Melihat kedua orang tuanya yang pindah tempat kerja di Ibukota, mau tak mau Arstya harus ikut pindah juga dan belajar sihir di sana.

Kedua orang tuanya sama-sama menjadi dokter di Ibukota, tapi ayahnya, Vycolt, dokter yang menangani khusus Prajurit Penyihir, sedangkan ibunya, Vionna menangani warga-warga sipil yang tinggal di Ibukota.

Meskipun begitu rumah yang ia miliki di Desa Hakuba hanya sekedar dikosongkan sementara. Keluarga Antonio sengaja tidak memberikan rumah itu kepada siapapun, karena ketika ia dan istrinya, Vionna mendapatkan jadwal cuti, mereka sekeluarga biasanya pulang ke Desa Hakuba untuk berlibur di asal desa mereka.

Keluarga Antonio biasanya mendapatkan cuti setiap 6 bulan sekali, tentu saja itu waktu yang cukup lama. Sedangkan itu, belum lagi Arstya yang biasanya menyuruh orang tuanya segera mengambil waktu cuti untuk segera pulang, dan bertemu dengan Bruno dan Max.

"B… bagaimana dengan belajar sihirmu di sana?" tanya Bruno masih gugup.

"Ya, belajar sihir di sana sangat menyenangkan, di sana ada sekolah khusus ilmu sihir yang bernama Ursulin. Ursulin merupakan sekolah sihir terbaik se-Ibukota. Ilmu yang aku pelajar disana pun sangat banyak, salah satunya pengetahuanku tentang penggunaan gelang sihir. aku juga baru tahu jika gelang sihir bisa hancur. Pengajar disana juga ramah dan baik, jadi semua pembelajaran jadi menyenangkan dan mudah dipahami. Aku tak pernah merasa kecewa pindah ke Ibukota Kerajaan, mungkin hanya berpisah dengan kalian berdua saja yang kadang membuatku sedih meninggalkan Desa Hakuba."

Bruno maupun Max, wajahnya memerah setelah mendengar ungkapan Arstya, namun Arstya tak menyadarinya. Max yang tersipu datar melihat Arstya masih mengingat teman kecilnya. Sedangkan Bruno kebingungan antara dianggap teman dekat atau seseorang yang dicintainya.

"Hei, wajah kalian memerah. Kalian kenapa?" Arstya kebingungan.

"Tidak apa, mata kami hanya kemasukan pasir" jawab Bruno mencari alasan.

"Ya Bruno benar, hehe," wajah Max tersipu malu tak sempat berfikir mencari alasan lain.

Arstya yang merasa curiga tak ingin memperpanjang masalah.

"Karena kita sudah kumpul begini, bagaimana kalau kita ke pantai?" Arstya mengajak mereka.

"Pantai?" serentak mereka berdua. "Tapi mengapa harus pantai?"

"Aku sudah lama tak melihat pantai, sedangkan di Ibukota hanya dikelilingi bangunan dan hutan-hutan, disana tidak ada pantai, tentu saja aku merindukan suasana pantai".

"Tapi ini masih pagi sekali, mengapa tidak nanti sore saja? Suasananya juga lebih menenangkan di sore hari sembari menikmati senja" Max menyarankan.

"Aku juga tidak ingin ke pantai pagi-pagi. Lebih baik aku mengajak kalian lebih dulu."

Bruno yang masih gugup dengan keberadaan Arstya, hanya berdiam diri saja tak ikut mengobrol dengan mereka berdua seraya menundukkan kepala.

"Kau mau kan, Bruno?" Arstya memandangnya sangat ramah dan senyumannya yang membuat hewan dan tumbuhan pun ikut bahagia.

"Y.. Ya itu ide yang bagus, aku juga lumayan lama tidak ke pantai," kata Bruno gagap.

"Hmm.. sekarang kita kemana dulu ya?" tanya Max.

"Aku juga tidak tahu, biasanya kalian pagi-pagi gini kemana?" Arstya tanya balik.

"Kami biasanya ke pasar, kemudian bermain sembari menunggu siang, terus kami latihan sihir sampai sore." Max menjelaskan kegiatan sehari-harinya.

"Kehidupan kalian monoton sekali, ya. Apa kalian tak punya kegiatan selain bermain dan latihan? Selain itu untuk hari ini kalian jangan latihan dulu. Kita akan menghabiskan waktu bersama seharian penuh. Itu pasti menyenangkan"

Arstya keliatan bahagia, wajahnya memerah tak bisa disembunyikan.

"B.. bagaimana jika kita ke taman dulu? Sekalian memakan camilan ini dan mendengarkan kehidupan Arstya selama di Ibukota Kerajaan," sela Bruno.

"Ide yang bagus, Brother." Max memuji pemikiran cepat Bruno.

"Baiklah, kita ke taman sekarang" Max mulai berjalan seraya mengajak kedua temannya.

"Tunggu, aku akan mengambil minum dulu."

Selama perjalanan mereka membicarakan lelucon-lelucon yang sekiranya membuat mereka bertiga tertawa keras, sehingga orang-orang disekitar melihat mereka dengan tatapan sinis.

Mungkin mereka bertiga orang gila yang sedang kumpul untuk mencari perhatian, pikir orang-orang itu. Beberapa menit berjalan sampailah mereka di Taman Desa dekat rumah David.

Mereka duduk di bangku taman di depan patung 'Raja Penyihir' yang sedang membawa guci, dan memancurkan air dari dalam guci tersebut. Kemudian mereka mengeluarkan makanan dari bungkus dan memakannya bersama.

"Makanan apa ini?" Bruno tanya pada Arstya seraya memegang makanan yang tak pernah ia lihat. Rasa malunya terhadap Arstya mungkin sudah hilang selepas tertawa selama perjalanan.

"Oh itu nasi durian. Salah satu makanan unik di Ibukota, coba makanlah."

avataravatar
Next chapter