6 Divine Goirt

Tempatnya sangat bersih, tidak ada kotoran yang terlihat di dalam toko ini. Mereka terbelalak melihat toko itu bersih, wangi ramuan yang sangat memikat indera penciuman dan tertata rapi di setiap lemari-lemari mengkilau dan hiasan-hiasan di atap dan dinding meramaikan suasana toko itu.

Mereka merasa bersalah telah berpikiran bahwa toko ini adalah tempat yang mirip tempat sampah. Mendengar bel berbunyi, Nyonya Watson selaku pemilik toko keluar dari dalam lorong tokonya dan menyapa mereka dengan senyuman ramah.

"Permisi Nyonya Watson, sebelum kami membeli sesuatu bolehkah aku bertanya sesuatu?", tanya Bruno.

"Silahkan nak, apa yang ingin kamu tanyakan?", jawab pemilik toko itu.

"Kenapa bagian dalam toko ini sangat bersih, rapi, dan memiliki aroma wangi yang membuat kami ternganga sedangkan bagian luarnya terlihat seperti gudang yang tak terpakai, banyak bahan dan barang berceceran yang membuat kami eneg melihatnya, apakah ada masalah dengan toko ini?".

"Haha, ternyata kalian juga menanyakan hal yang sama dengan penduduk lain ketika masuk ke sini. Aku memang sengaja menaruh semua bahan dan barang itu di luar agar mereka tahu, Bruno" kata Nyonya Watson mendekati muka Bruno hampir hidung mereka saling bersentuhan.

"Di dunia ini tidak semuanya yang indah luarnya saja. Seperti tadi kalian bertemu dengan kakek tua bukan? Aku tahu kalian menghinanya tapi kalian menghinanya karena tak tahu apa yang di dalam hatinya".

"Anda tahu kami bertemu dengan kakek tua!? Bukannya anda daritadi di dalam toko!? Itu mustahil. Selain itu, tadi pasti hanyalah alasan anda tak ingin membersihkan halaman toko ini", teriak Max kebingungan.

"Di dunia sihir ini kata mustahil itu hampir tidak ada nak. Hampir semuanya bisa kita dapatkan dengan sihir. Dengan sihirku aku bisa mendeteksi siapa yang akan datang kesini. Kalian harus mempelajari sihir lebih luas lagi nak, jika kalian hanya berlatih pertahanan dan penyerangan, aku rasa itu masih kurang. Kalian masih perlu banyak belajar" jawab Nyonya Watson seraya mengelus rambut mereka.

"Lalu, ada perlu apa kalian kesini? Apa kalian ingin membeli sesuatu?"

Mereka yang terpaku diam mendengar penjelasan Nyonya Watson mengedipkan mata dan menggelengkan kepala berkali-kali. Kemudian mereka memberitahu alasan mereka datang ke tokonya.

"Aku tak yakin ada ramuan seperti itu, luka tusuk hanya bisa disembuhkan dengan alat-alat yang lebih modern. Tentu sajaalat-alat itu hanya bisa kita jumpai di Ibukota Kerajaan. Tapi aku tahu ramuan yang bisa meredakan sakit dari luka tusuk. Kalian tunggu sebentar", kata Nyonya Watson.

Ia membuka semua laci lari-lari kesana kemari memeriksa lemari-lemari yang berjajar rapi mencari ramuan itu.

Mereka sebagai pelanggan dan tak tahu nama ramuan itu hanya melihat Nyonya Watson bolak balik mencari ramuan itu dengan mulut ternganga dan kepala bergerak ke kanan kiri. Sudah 5 menit mereka melihat Nyonya Watson kebingungan dengan wajah cemasnya.

"Nyonya, jika obat itu tidak ada, tak apa. Kami akan pergi sekarang". Sela Bruno.

"Tunggu sebentar nak, ramuan itu benar-benar ada dan aku ingat betul pernah membuat ramuan itu. Aku hanya lupa menaruhnya di mana". Sahut Nyonya Watson masih berlari-lari mencari ramuan itu. Bruno dan Max saling tukar pandangan dengan mengangkat alis dan bahunya.

Nyonya Watson yang berlari-lari kesana kemari berhasil menemukan ramuan yang dicari mereka berdua.

"Ini ramuannya nak, DivineGoirt", kata Nyonya Watson tersengal.

"Anda menamai ramuan ini sama dengan nama toko ramuan ini?" Max teriak lagi, kebingunan dengan nada tinggi.

"itu Bukan urusanmu nak, ini tokoku dan ramuan ini juga aku yang membuatnya sendiri". Sahut Nyonya Watson sedikit mengkerut mukanya.

"Ingat, ramuan ini harus dihabiskan dan langsung diminum jika kalian sudah membuka tutupnya. Satu menit saja sesudah kalian membuka botol itu dan belum habis, efek obatnya akan hilang".

Mereka berdua hanya mengangguk, menganga tanpa kata satupun.

Watson sendiri merupakan istri Quintensen, yang mana ia salah satu Petinggi di Kerajaan Okuba. Quintensen jarang sekali pulang ke rumah, ia pulang ke desa satu tahun sekali, bahkan jika ada keperluan yang sangat penting di kerajaan, Quintensen pulang ke desanya 2 tahun sekali bahkan bisa lebih dari itu.

Selama Quintensen di kerajaan, Watson hidup sendirian tidak ada yang menemani kecuali pelanggan yang datang. Keluarga mereka tidak mempunyai keturunan karena Quintensen pernah mengalami cedera dan sihir yang menyembuhkannya memiliki efek samping, ialah tak bisa menghasilkan keturunan. Sejak itu Quintensen mengalami kemandulan.

Mereka berdua sama-sama penyihir, bahkan Watson pernah ditawari sebagai salah satu Menteri Okuba. Tetapi ia menolak lebih memilih melanjutkan mempelajari tentang obat ramuan dan membuka usaha sendiri sebagai penjual dan pembuat ramuan sekaligus mempunyai toko ramuan sampai sekarang.

Watson mempunyai rambut ikal yang panjangnya sebahu, tingginya terbilang cukup pendek, jauh dari mereka berdua, badannya sedikit gemuk dan sangat lambat ketika berjalan.

Setelah berhasil menemukan ramuan yang mereka cari, Bruno dan Max berjalan cepat-cepat untuk memberikan ramuan itu kepada David secepatnya. Saking semangatnya, Bruno baru beberapa detik saja merasa lemas, sepertinya tubuhnya tak bisa menahan lebih dari ini.

Max yang tertawa melihat semangatnya, langsung menolong dan menyungginya dan berjalan cepat ke rumah David. Mereka bahkan menabrak gerombolan penyihir sedang mengobrol yang sempat memenuhi jalanan.

Saking senangnya Bruno tak bisa berhenti senyum semenjak keluar dari toko ramuan. Max pun juga turut ikut senang melihat temannya bisa tersenyum lepas seakan-akan tidak mempunyai beban seraya membawa ramuan itu.

Hari mulai gelap, bulan purnama bersinar terang, tak ada awan yang menghadang, langit-langit berwarna biru gelap seperti laut yang dalam, bintang-bintang yang berkelap-kelip memanjakan mata bagi yang melihatnya dengan mata telanjang.

Mereka yang sudah sampai di depan rumah David kebingungan melihat pintu rumahnya dikunci dan di dalamnya gelap tak kelihatan apapun dari luar. Kemudian Bruno kepikiran dengan kejadian sebelumnya, ia langsung menoleh keatas sela-sela ventilasi diatas pintu dan menemukan sebuah kunci.

Mereka langsung mengambil kunci itu, membuka gembok pintu dan masuk ke dalam rumah David.

Ketika sudah di dalam pun rumah David masih terlihat gelap, namun tak segelap jika dilihat dari luar. Kemudian Bruno menyalakan saklar lampu dan langsung menoleh ke arah kasurnya. Ternyata David masih tak sadarkan diri dan kondisi badannya masih dipenuhi luka.

Bruno selangkah maju menuju kasurnya melihat ada surat di samping kepala David yang tulis oleh Hans.

"Maaf, aku harus meninggalkan David sebelum kalian sampai. Tapi terpaksa melakukannya sebab raja memanggilku. Aku taruh kunci di atas pintu. Kuharap kalian tau. Hans".

Muka Bruno terlihat kesal, wajahnya mengerut setelah membaca dengan surat yang ditulis hans seraya meremas surat itu.

"Dasar Orang Tua!!��.

Bruno merobek kertas itu hingga kecil dan membuangnya di tungku api unggun.

Semakin larut malam dan David dan tak kunjung bangun, terpaksa Bruno harus menginap di rumah gurunya. Bruno yang khawatir dengan orang tua Max, menyuruh Max pulang duluan daripada ibu dan ayahnya khawatir. Max justru membantah perkataan Bruno dan ikut menginap di rumah David.

"Kenapa kau tak pulang? Nanti orang tuamu mencarimu".

"Tenang saja, ketika aku membawamu pulang aku sempat pulang dan pamit kepada orang tuaku jika aku akan menginap di rumahmu untuk berjaga-jaga mungkin saja tak akan bangun cepat", jawab Max

"Tapi aku sudah bangun seperti yang kau lihat, sekarang kau boleh pulang, Max. Tak apa, aku bisa menjaga guru sendirian".

"Aku ingin menginap saja bersamamu dan David. Apa itu tidak boleh?". Wajah dinginnya mendadak terlihat geram.

"Jika kau tidak mengizinkan, aku akan pulang sekarang".

Kemudian Bruno menarik tangannya dan menggelengkan kepala.

"Aku hanya bercanda, hahaha. Kemarilah. Kau tahu kita juga sudah lama tak menginap ", kata Bruno terkekeh.

Max sedikit bingung dengan keputusan Bruno kali ini. Biasanya ketika ia menyuruh orang yang mengganggunya pergi, namun orang itu mengacuhkannya, seketika emosi Bruno meluap dan marah-marah dengan orang itu.

Namun Max kali ini membantah perkataannya, tetapi Bruno sama kali tak marah sedikitpun. Bruno bisa mengendalikan emosinya dan lebih mementingkan keinginan Max yang ingin menginap di rumah David juga.

Max senang bisa menginap bersama teman dekat dan gurunya. Max pikir ini memang sedikit berlebihan, karena hal sebodoh ini bisa membuatnya senang.

avataravatar
Next chapter