2 HANA

HANA gadis manis berkacamata dan rambut kuncir dua itu, berjalan sangat cepat. Sesekali melirik jam tangan warna kuning miliknya, jam menunjukkan pukul 07:30. "Bisa gawat! Dihukum lagi."

Hana lebih mempercepat jalannya, kalau dilihat lebih bisa di katakan setengah berlari kalau bahasa penulis sih jalan 500 langkah, kalau 1000 langkah itu namanya lari, kalau lebih lagi namanya lomba lari, kalau lebih cepat lagi namanya lari karena kepergok maling ayam, kalau cepat lagi terbang mungkin. Dengan berbekal tampang cemas yang tak karuan, antara takut dihukum dengan kelelahan. Tepat 100 meter dari gerbang sekolah, ada seorang peramal keliling mencegatnya. Hana berhenti sejenak, untuk mengatur napasnya, dadanya yang naik-turun.

"Anakku, kau orang yang beruntung." Peramal wanita itu memandangi wajah gadis itu. Peramal yang hanya mengenakan daster payung motif bunga dan membawa bola kristal yang berada di tangan kanannya.

"Peramal, kok pakai daster bukannya pakai jubah atau pakai yang bling-bling gitu," batin Hana.

"Saya bukan peramal zaman old. Jadi saya juga terus mengikuti zaman," ucap Peramal itu, seperti tahu isi pikiran Hana.

Hana terkesiap." Orang ini hebat juga ilmunya."

"Maaf Bu, saya belum punya waktu meladeni Ibu. Saya sudah terlambat." Hana berucap ramah.

"Kamu gak tanya saya, beli baju di mana?" Peramal itu mencekal tangan Hana yang ingin beranjak dari situ.

Hana langsung berpaling, mau tidak mau meladeni. "Emang beli di mana?" Hana berbasa-basi. Wajahnya tersenyum kusut, ingin kabur.

"Di toko onlline loh, banyak saya beli. Bisa case bisa kredit, beli dong, barang satu lembar."

Hana memutar kedua bola matanya, jengah. Dia melepaskan tangan Hana lalu berjalan mengambil tas besar di balik pohon, kemudian mendatangi Hana lagi. Peramal itu membongkar habis isi tas bawaannya yang ternyata dari tadi disembunyikan di belakang pohon jalan.

"Bu, saya sudah terlambat, ga ada waktu lihat-lihat yang beginian, lagian heran. Ibu ngeramal apa buka toko pakaian berjalan, sih?" Kedua tangan Hana ditempatkan di pinggang. dahinya sudah terlipat beberapa bagian.

"Serabutan, Nak," jawab Peramal itu santai.

"Tuh, anak durhako. Masa orang tuanya dimarahin." Beberapa orang yang lewat berkomentar pedas.

"Lihat gayanya, culun, sok populer."

"Anak gak tahu diuntung!"

"Astaga! Gara-gara orang tua ini aku jadi terkenal." Hana mengeluh dalam hati.

Seorang ibu menghampiri mareka dengan gaya maha benar. Wajahnya jengkel. "Bu, kutuk aja Bu, jadi batu biar rasa nih anak kalau saya punya anak kayak gini sudah saya hajar pulang pergi." Orang itu bersuara dengan nada jengkel sampai ke ubun-ubun. Telunjuknya dari tadi mendorong-dorong pelipis Hana, tak ayal kepala itu ikut terdorong ke samping, akibat jurus telunjuk tiada banding milik ibu zaman now yang mengenakan daster payung motif burung hantu, lipstik celemotan dan rambut dicepol tidak beraturan.

Peramal itu hanya diam, tidak membela Hana tidak juga meralat kesalahpahaman mereka.

"Ini Anak nurut orang tua, hah! Udah syukur bisa sekolah dari hasil jualan daster, kamu malah marah-marah sama orang tua! Malu kamu punya orang tua kayak gini?!" Ibu itu mengomel panjang-pendek seraya menunjuk peramal itu yang terlihat begitu menggemaskan minta dihajar sekaligus minta dikasihani.

Dengan bodohnya Hana malah mengangguk sehingga membuat si ibu makin geram. Peramal itu malah mengulum tawanya. "Kutuk, Bu! Jadi batu!" Ibu itu memerintah dengan berapi-api.

"Bu, orang tuanya dia atau Ibu? Kok semangat sekali?" Akhirnya Hana angkat bicara setelah bungkam cukup lama. Dia tidak tahan lagi menyaksikan drama yang dimainkan Ibu itu.

"Saya seorang ibu. Saya mengerti betul penderitaan ibumu, dia melahirkanmu, dia merawatmu dia--"

"Stop!" Hana memotong. Ia memberi isyarat telapak tangan.

"Saya bukan anaknya. Dia seorang tukang kredit keliling, jadi jangan mikir yang tidak-tidak deh, Bu." Hana membela diri.

Ibu itu menganga. "Bu, ternyata bukan hanya tidak sopan dia bahkan tidak mengakui Ibu!" Ibu itu salah paham lagi dan lebih mengesalkan lagi peramal itu malah memeluk pohon dan sesegukan menangis di sana.

"Yang tabah ya, Bu." Orang-orang berdatangan memberi ucapan penguat iman.

Hana tidak peduli lagi, ia cepat berlari ke gerbang sekolah yang sudah terkunci itu. "...ah, Gara-gara mengurusi peramal tadi aku harus memanjat pagar." Hana mengeram.

Hana menggulung lengan baju menaikkan tinggi-tinggi rok sekolahnya, hingga yang terlihat celana pendek dengan motif drakula. Tidak sulit baginya memanjat pagar sekolah, jangankan memanjat pagar, panjat pinang juara satu. Pernah memanjat pohon mangga untuk mengambil layangan, malah disangka mencuri, padahal dia tidak berniat mencuri, hanya menyelipkan beberapa buah di saku celananya.

"Hap." Hana melompat dari pagar Kini ia sudah berada di dalam sekolah dengan berlari kecil memasuki koridor sekolah.

Setelah sampai di kelas 1 B. "Guru mana?" Hana berbisik di balik pinta Siska gadis yang rambutnya tergerai, duduk di bangku paling ujung bagian nomor 2, memberi isyarat. "Itu ...," Dia berbisik menunjuk ke depan kelas.

"Ngomong sama siapa kamu?!" Pak Guru membentak Siska.

Hana maupun Siska sama kagetnya. "Tidak ada, Pak!" Siska menunduk takut.

Pak Guru curiga, dia berjalan keluar kelas dan mendapati Hana yang bersandar di tembok dengan jantung berdetak tak beraturan. "Ngapain kamu nempel di situ!" Pak Guru berucap tegas.

"An--an ... itu ...," Hana tergagap.

"Saya tidak suka melihat murid saya terlambat! Berdiri di lapangan, hormat bendera sana. Sampai jam pelajaran saya selesai!" Pak Guru memberi perintah.

Hana membisu tidak berani bicara, dia hanya mengangguk dan pergi ke lapangan sekolah, memberi hormat pada bendera.

"Pakai kacamata, rambut kuncir dua orang kira dia itu culun, pintar. Mana ada." Caca bergosip dengan teman sebangkunya si Nandi.

"Kelakuan kayak preman gitu." Nindi mencibir.

Siska panas hati mendengar dua orang sok cantik itu, bergosip di belakangnya. "Kalau kuadukan sama Hana, sudah habis kalian dari dulu." Siska mengumpat.

°°°

HANA masih setia di lapangan itu, berdiri seperti patung walaupun keringat sudah mengucur seperti biji jagung, tidak membuatnya mengeluh. Baginya dihukum seperti ini sudah biasa. Panas makin terik, beberapa kali ia menyipitkan matanya dengan nanar memandang ke atas. Telapak tangan yang memberi hormat itu menjadi pelindung wajahnya saat matahari mulai menyilaukan mata.

Beberapa kali siswa-siswi yang punya kepentingan di luar kelas lalu-lalang untuk keperluan. Seperti mengambil atau mengantar buku paket yang diperintahkan guru atau sekadar ke toilet memandangnya.

"Hey, lihat cewek cupu yang ternyata jago manjat pinang itu kena hukum lagi!" Cowok berkulit gelap itu menunjuk-nunjuk Hana.

"Diam! Nanti dia dengar, habis kita di-sleding-nya." Cowok berkulit putih itu memarahi temannya.

"Sleding baliklah, masa takut." Cowok hitam itu berucap congkak, berbicara sedikit keras.

"Apa lihat-lihat!" Hana berteriak dari lapangan, dia tetap dalam posisi hormat, tapi kepalanya berpaling demi mendengar pembicaraan kedua anak lelaki yang barusan membicarakannya.

"Tuh, kan dia dengar." Cowok berkulit putih itu menelan ludah.

"Ich, tenang. Gak bisa apa-apa juga." Si hitam meremehkan seraya tersenyum menghina.

"Aku gak ikutan deh." Cowok putih itu angkat tangan, langsung kabur dari situ.

Hana tidak bicara namun jarinya menunjuk si hitam dan tangannya memberi isyarat menyembelih lehernya sendiri. 'Glek!' Suara Si hitam menelan ludah.

avataravatar
Next chapter