1 Tiada

Saat itu, baju putih polos masih melekat erat di tubuh mungilku. Istana, tempat peristirahatannya masih nampak basah, dan baru. Air mata berderai, berjerit memanggil Ibu.

Aku, "Ibu, jangan tinggalkan Naya!" berjerit sekeras-kerasnya, sambil memeluk tumpukan tanah yang masih basah.

"Sudahlah, Naya!" ayah mencoba menenangkan, lalu mengapai, memeluk hangat tubuhku.

Dalam pelukannya, kurasakan sentuhan di pucuk kepalaku. "Naya sayang, ayo pulang, ini sudah soreh," pintanya.

Dengan berat hati, melangkah meninggalkan ibu seorang diri. Di tempat di mana penduduknya semuanya membisu. Kerak kali, tempat ini akan ramai apa bila hari raya telah datang menegur sanak dan saudara, untuk menjumpai keluarganya yang telah tiada.

Seminggu sejak kepergiannya, rumah kini tidak ada yang mengurus. Ayah selalu pulang tengah malam, kadang juga ia kembali dengan kondisi setengah sadar, sambil memecahkan barang-barang. Mbo yang dulunya bekerja di rumah, kini memilih berhenti karena sikap ayah yang terus berubah-ubah. Kadang baik, kadang pula jahat, membuat Mbo jadi tidak tenang bekerja.

Sesekali Bibi Rahma datang untuk membawakan makanan dan membereskan rumah. Ia adalah saudara dari almarhuma Ibu. Entah mengapa, dia selalu datang, bersama anak-anaknya yang begitu nakal.

Suatu hari, ayah pulang dalam keadaan mabuk. Bibi Rahma ada di rumah untuk menemaniku.

"Mas, ada apa ini?" bibi Rahma bertanya dengan raut ketakutan karena ayah pulang-pulang membanting vas bunga.

"He, Rati __," tunjuk ayah pada bibi.

"Anak-anak, masuk dalam kamar," pinta Bibi kepada kami.

Kaki mungil kami melangkah ke dalam kamar masing-masing. Aku merasa cemas kepada Ayah, sebab tangannya terluka saat mengamuk di bawah. Dengan hati-hati, aku membuka pintu kamar Ayah, dalam kamar kulihat Bibi membuka seluruh pakaian Ayah, lalu membuka pakaiyannya juga. Rasa penasaran dan takut bercampur jadi satu.

Deng, jantungku berdetak lebih cepat. Saat ingin membuka kamar lebih besar lagi, tiba-tiba ada seserang yang menarik paksa pergelangan tanganku, lalu menutup mulutku dengan kain.

Brakk! Aku terjatuh ke lantai hingga tak sadarkan diri.

Selanjutnya aku tidak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu, saat sadarkan diri sudah berada dalam ruangan yang begitu gelap, "Aduh, kepalaku kok sakit yah?" dengan seksama kuperhatikam ruangan ini, "aku di mana?" tanyaku pada diri sendiri.

Ruangannya begitu gelap, sangat minim pencahayaan, hingga tubuhku menambrak sesuatu. Entahla itu apa, yang kurasakan hanya rasa sakit pada kepala dan pundak.

Berjam-jam terkurung dalam ruangan yang begitu pengap, membuat sulit tuk bernapas.

Pintu tiba-tiba terbuka, menampilkan sosok laki-laki bertubuh tinggi tegak, namun wajahnya tak terlihat.

Aku berdiri, lalu menghampirinya dengan sangat hati-hati.

"Om," ucapku dengan girang saat berada di depannya.

Mukanya begitu datar, dan berkata, "kau akan tinggal bersamaku, sampai Rahma berhasil menikah dengan Ayahmu!" katanya lalu tertawa terbahak-bahak, "kami akan kaya raya," lanjutnya di sela-sela tawanya bak iblis.

Naya kecil bertanya dengan polos, "ap-a-a-pa, maksud Om? Itu tidak mungkin, Ayah Naya hanya mencintai Ibu Rati!" jelasku dengan air mata.

"Auu," rintihku saat Om mendorong dengan kasar tubuhku, lalu menutup kembali pintu.

Entahlah, apa ini hanya hari, minggu, bulan, tahun ... aku tidak tahu. Rasanya seperti sudah berabat-abat, mentari pagi tak kunjung bertemu denganku. Tubuh ini, rasanya semakin meninggi, kuraba pergelangan tangan ... aku hanya tersenyum, lalu menangis.

Tidur tanpa diantar dongenan, berteman dengan tikus-tikus, dan kecowak. Om begitu lama membuka pintu, hingga kadang aku membuang air kecil dan BAB, di ruangan ini, karena sudah tak tahan lagi.

Bayangkan, betapa harumnya ruangan yang gelap, pengap, ditambah dengan kotoranku, dan kotoran tikus-tikus.

Siksaan kerap kali kudapati, cambukan selalu berbekas, apa lagi saat Om dilandah masalah. Ia akan menjadikanku sebagai bahan pelampiasannya.

"Ahh, sakit Om," ucapku sambil menangis.

"Ahhh, teriak Om membuat aku semakin takut," "ke mari kau," pinta Om sambil menjambak rambutku, menyeret aku ke dalam kamar mandi, lalu menyiramku.

"Ampu Om, Naya kedinginan dan lapar," ucapku memelas sambil memeluk lututku.

"Ke mari kau," ucapnya menarik kasar tubuhku, "makan itu," tunjuknya pada bekas makanan kucing-kucing peliharaannya.

Tanganku mencoba memakan makanan itu, tapi Om malah mengenjak tanganku, lalu menendang makanan itu hingga berantakan. Suara kucinya begitu berisik, "meong-meong," beberala kucing terbangun mendengar suara piring yang kini pecah.

"Naya, berdiri," teriaknya.

Akupun berdiri, mencoba menahan tubuh yang lemah ini.

Telilik-telilik, bunyi suara hp Om, membuatnya harus berhenti nelakukan aktivitasnya. Ia pergi kesudut pintu, jadi aku tidak bisa mendengarkan apa yang dibicarakan? Dan siapa yang menelponnya itu?

Lima menit kemudian, ia kembali menghampiriku. Tanpa berkata-sepata apapun, tiba-tiba menarikku kembali dalam ruangan itu.

Pakaian yang basah, rasa lapar, dan aroma ruangan yang begitu menyengat ini membuat susah tidur.

Kucoba menutup mata, tetap saja tidak bisa, hingga kurasakan sentuhan dipucuk rambutku, mengelus dengan lembut.

"Ibu, kau kah itu?" ucapku lalu duduk menghadapnya. Tapi ternyata itu hanya halusinasiku saja.

Bayang-bayang keluarga yang utuh, kini sekedar halu semata. Nyatanya, diriku terperangkat dalam ruangan yang begitu gelap, Sang Tuan rumah bahkan kerap melayangkan siksaan, hingga tubuh ini kurus kerempeng, kekurangan gizi.

Air mata kembali berjatuhan, menambah sesak di dada semakin mengerang, hingga napas tersenggal di tengah isakan.

"Ayah, Naya rindu." ucapku dalam keadaan lemah tak berdaya, hingga saat terbangun. Tubuhku berada di atas kasur, sekeliling berornawen putih. Baju khas orang sakit menempel pada tubuhku, bersama selang impus. Penglihatan ini kabut-kabut, melihat ke arah jendela.

Kulihat Om sedang berbicara dengan seorang wanita, entahla siapa dia, dan apa yang sedang dibicarakan. Nampaknya serius, dapat terlihat dari mimik wajah Om, ditambah wanita itu kerak kali menunjuk ke arah Om. Sedang ia hanya dia dan merunduk.

Untuk pertama kalinya, tidur di tempat yang layak, dengan makanan yang bergizi, dan tentunya tidak gelap. Sudah satu hari tergelak lemah di rumah sakit. Selama di rumah sakit aku benar-benar dirawat hingga pulih. Meskipun, tulang-tulang masih nampak. Entah berapa obat yang telah kuminum, dan secara rutin, jarum suntik terus menembus kulit tanganku.

Memar-memar di suluruh badan mulai membaik, walau masih ada yang membekas.

"Dokter?" sapaku saat beliau datang memeriksa kedaanku lagi.

Entah mengapa, baik Dokter ataupun Suster, mereka semua diam, ketika aku mencoba mengobrol dengan mereka. Pada hal, aku hanya ingin bertanya, hari, tanggal, bulan, dan tahun.

Orang-orang begitu sinis, enggan untuk menjawab pertanyaan sederhana dariku. Sepertinya, ini semua Om yang memerintahkan agar mereka tidak bercekraman denganku.

Ah, tiba-tiba aku teringat dengan wanita yang membelakangiku, saat berbincang dengan Om. Siapa wanita itu? Kenapa Om tertunduk dihadapan wanita itu? Apa dia ada sangkut pautnya dengan diriku? Semua ini membuatku bingung.

***

Terima kasig karena sudah membaca👌!

Saran dan kritik saya tunggu!đŸ˜đŸ€—

avataravatar
Next chapter