1 Prolog

"Mommy!"

Suara anak laki umur sepuluh tahun itu seketika pecah begitu saja, menarik ujung rok ibunya dengan cepat dan tidak mau bergerak dari posisinya saat itu.

"Oh... Peter ayolah, ini hanya tiga Minggu! Sebentar saja, aku mohon jangan membuat keadaan ini menjadi semakin sulit."

Wanita berambut cokelat dengan panjang sebahu, membungkuk dan mengelus pucuk rambut putranya. Menatap dengan pandangan sendu, dan mengelus pipi putranya yang memerah. Karena sedari tadi mereka hanya diam, didepan pintu masuk.

Hari menjelang sore itu, sinar matahari masih nampak. Rumah kayu dengan cat putih yang hampir memudar, beberapa petak bunga tersusun rapi dan sepertinya dirawat baik oleh si pemilik rumah.

"Aku tidak mau Mommy pergi! Bayangkan apa jadinya aku, kalau aku tinggal bersama dengan Bibi Joe?" Peter berusaha untuk terus meyakinkan ibunya, tangannya masih erat memegangi ujung rampel dari rok ibunya.

Mrs. Aniston sudah mulai hilang kesabaran. Padahal sebelumnya dia sudah membicarakan hal ini dengan putranya, saat makan malam kemarin. Segera saja dia menegakkan tubuhnya dan bertolak pinggang, menyorot tajam pada putranya.

"Peter, kondisi keuangan kita sedang sulit. Ibu tidak akan sanggup membiayai semua kebutuhan kita, kalau ibu tidak menerima tawaran ini... Maka bulan depan kita akan tidur dijalanan." Ucap Anne Anniston dengan mimik yang terlihat lelah dan sedih.

"Hanya tiga Minggu saja, dan setelahnya kita bahkan sudah memiliki rumah sendiri. Kita tidak perlu berpindah tempat lagi, dan kau juga pasti akan senang bukan?" Nada suara Anne sudah melembut, dan Peter menundukkan wajahnya dengan lesu.

"Tapi... Aku dengar kalau bibi Joe sangat jahat, ditambah lagi dengan pendengarannya yang sedikit terganggu." Peter kembali menegakkan wajahnya.

Belum selesai mereka berdua berbicara, pintu depan tiba-tiba terbuka. Wanita yang sedikit pendek dari ibunya, dan postur tubuhnya yang gempal. Muncul dengan seringainya yang terlalu lebar.

"Oh... Ternyata kalian sudah tiba? Kenapa kalian tidak menekan bel?" Tanya Joe menunjuk pada tombol bel yang ada di sisi pintu, padahal untuk apa juga menekan bel kalau ia sendiri tuli.

"Joe, maafkan kami. Sebenarnya kami sudah ada ditempat ini sekitar lima belas menit lalu." Jawab Anne lantang dan sedikit melirik kearah dalam sana.

Joe, melepaskan alat pendengarannya, kemudian ia tempelkan lagi ketelinganya. "Mm... Maaf, tadi kau berbicara apa Anne?" Tanyanya dengan seringai yang masih lebar.

"Hah... Tidak ada, Mmm... Kami baru saja tiba." Ucap Anne, dan harus bersabar dengan pendengaran Joe yang bermasalah.

Peter masih bersembunyi dibalik belakang tubuh ibunya, mengintip dengan takut karena didalam sana sedikit pencahayaan yang bisa ia lihat. Sedangkan wanita yang ada dihadapan mereka, sibuk mengeluarkan alat kecil berwarna putih yang ada di saku celemeknya yang sebenarnya berwarna putih, tapi banyak noda cokelat yang menempel, entah apa yang sedang ia lakukan.

"Hmm? Aku baru saja mengganti alat bantu dengar ini. Apa aku harus memberitahu Dokter Frank ya? Apa alatnya rusak?" Tanya Joe pada dirinya sendiri, dan kembali meletakkan alat tersebut pada telinganya.

Peter dan Anne hanya memandang bingung, dan mereka pun belum berani untuk melangkah masuk kedalam rumah Joe. Walaupun wanita itu sebenarnya sudah memberikan jalan. "Ada apa? Ayo masuk, aku sudah menyiapkan beberapa kudapan yang enak." Ajak Joe yang tidak menyadari ketidaknyamanan Anne dan Peter.

Ada bau yang aneh dan lembab ketika mereka baru saja melangkah masuk. Seperti cuciannya yang terlalu lama direndam, dan dibiarkan begitu saja mengering.

Rumah Joe seharusnya bisa dikatakan normal, jika saja dia tidak terlalu banyak meletakkan tanaman menjalar pada sisi dindingnya. Dan bagian atapnya yang baru mereka sadari, kalau terbuat dari kaca tebal yang tembus pandang, tapi diatasnya seperti ada papan yang mengahalangi kaca tersebut.

"Wouh.. apa ini bisa disebut sebagai rumah?" Seru Peter tanpa ia sadari. "Ssttt... Peter jaga bicaramu." Anne memperingatkan putranya.

Ruang makan tidak lebih aneh dari lorong yang baru saja mereka lewati, perpaduan antara dapur umur dan meja makan segi empat. Yang menjadikan tempat itu aneh, adalah karena ruangan tersebut tidak memiliki dinding seutuhnya dan langsung menghadap ke arah luar - halaman belakang.

"Anggap seperti rumah sendiri. Tolong jangan memuji untuk dekorasi rumahku yang terlihat menakjubkan." Ucap Joe sedikit berkelakar, tapi tidak lucu bagi Anne dan Peter yang baru pertama kali datang.

"Mm... Joe? Apa kau yakin tempat ini aman?" Anne menunjuk pada rumah kaca yang tidak jauh dihadapannya.

"Bukankah kau tahu Anne, kalau aku adalah seorang peneliti? Seharusnya kau tidak perlu kaget seperti itu. Dan tenang saja, itu hanya beberapa tanaman khusus yang sengaja aku tempatkan disana." Jelas Joe dengan santai, dan ia menarik kursi untuk dirinya sendiri.

"Ayo duduk. Apa kalian tidak lelah terus berdiri disana." Ucap Joe kembali.

"Aku membuat sus lemon, dan pie apel..." Joe segera saja memberikan potongan pie, pada Peter yang masih menatap dengan ragu. "Kau mirip sekali dengan ayahmu, sayang sekali ayahmu tidak bisa melihat kau menjadi dewasa seperti ini." Ucap Joe, sesaat Peter yakin bisa melihat kesedihan pada wajahnya.

"Ahh.. Jadi bagaimana Anne? Berapa lama kau akan pergi? Apa benar hanya tiga minggu saja?" Tanya Joe dan mengalihkan pandangannya dari Peter.

"Tiga minggu saja, aku mendapatkan proyek besar di Paris. Jika pelanggan ku berminat, maka aku bisa memproses cepat penjualan apartemen mewah itu." Anne meremas jari jemarinya dengan gelisah. Joe yang memperhatikan, justru memperlihatkan senyumannya.

"Aku senang sekali mau meminta bantuanku, seharusnya dari semenjak lama kau kemari. aku Tahu semenjak James tiada, kau kesulitan dalam menghadapi masalah keuangan." Ucap Joe dan memperhatikan Peter, yang masih belum menyentuh makanan atau minumannya.

"Kenapa kau tidak suka? Tenang saja telinga ini memang sudah rusak, tapi kemampuan masakku masih sangat baik." Puji Joe pada dirinya sendiri. "Ayo makanlah..! Pasti kau akan ketagihan nanti."

"Joe maafkan aku... Aku hanya tidak ingin merepotkanmu." Anne tampak bersalah, karena memang benar sudah lama ia tidak datang untuk mengunjungi kakak iparnya. "Aku berjanji ini adalah yang terakhir kalinya, dan kau bisa memegang janjiku."

"Ah... Kau ini berbicara seakan-akan kita akan berpisah lama saja. Peter sudah kuanggap sebagai putraku sendiri, tenang saja... Kau tidak perlu merasa khawatir seperti itu." Ucap Joe seraya ia mengibaskan sesuatu dihadapannya, Peter mengamati dengan bingung, tapi ia pun mulai mengambil salah satu kudapan yang dibuat oleh Joe.

Benar apa yang dikatakan oleh Joe, rasanya enak dan tidak buruk. Bahkan Peter mulai menguyah dengan cepat, bahkan terlalu cepat.

"Sudah kubilang kan... Kau pasti akan suka, ayo habis kan saja semuanya. Badanmu terlalu kurus." Ucap Joe seraya mendekatkan piring kue kearah Peter.

avataravatar