Perdebatan dari dua sosok anggota inti Robert hanya ditatap tenang oleh Marcus. Terlihat mereka saling berperang menyemburkan air, begitu menikmati hidup di kapal mewah ini.
Sementara pasangan muda yang diburu, turun kapal dengan sekoci, dan dua ajudan yang jadi supirnya ikut mengiringi. Mencoba lolos, demi menempuh hidup bahagia. Laju kendaraan darurat itu berlawanan arah sekarang.
“Hei! Robert memberitahuku kalau dia akan segera sampai,” tukas Antonio yang sedang memegang ponselnya. Pertengkaran dengan Barbara telah usai, mereka basah kuyup dan menjadi tontonan mata-mata para pemuja.
Langit siang pun mulai diselimuti rentangan tangan sore. Langkah kaki beraturan dari pantofel hitam, seakan membisikkan keadaan. Mulai berdiri diam di depan salah satu pembatas, dan membuka pintu kamar yang memperlihatkan sosok tiga anggota inti kesayangannya.
“Selamat datang,” sapa Barbara yang sedang merokok di sofa. Dua lainnya hanya menatap tenang tanpa menyapa.
Namun, seringai tipis dikibarkan sosok asing yang memasuki tempat mereka.
Begitu menekan pesonanya, bibir agak penuh dan penglihatan teduh di balik kacamata serta anting panjang menggantung di salah satu telinga. Setelan rapi tanpa jas yang malah dipegang santainya, sungguh menggoda.
Tubuhnya cukup kurus, namun potongannya proporsional untuk tinggi 181 cm di balik perawakannya. Comma hair yang menjadi stylenya, benar-benar mengangkuhkan tampangnya.
Dia pun melirik sekeliling.
“Apa? Ingin sambutan yang lebih hangat?” Barbara menatap sinis.
Laki-laki itu tersenyum dan menyandarkan tubuhnya di salah satu dinding. “Evelin?”
“Entahlah, mungkih sudah kabur.” Sosok asing masih berekspresi tenang melirik wanita di sampingnya. “Lepaskan saja dia kenapa? Cari anggota yang lebih berguna. Bocah itu terlalu naif untuk organisasi kita.”
“Dia berbakat.”
“Dan bakatnya terbuang karena cinta. Dia hamil, Robert. Dia tak berguna.”
Semua mulai terasa mencekam. Perdebatan yang dilontarkan Barbara, diperhatikan Marcus dan Antonio tanpa ingin terlibat. Senyum masih terpatri di bibir sang pemimpin, kepalanya dimiringkan entah apa isi otaknya.
“Cemburu?”
Tawa pun pecah dari rupa Barbara yang meremehkan. “Kau pikir aku gila? Cemburu? Bocah sepertimu jelas-jelas bukan tipeku.”
Laki-laki muda yang disindir akhirnya berjalan menuju pintu. “Mau ke mana?” Antonio akhirnya menyela melihat ketidaktertarikan sang pemimpin untuk berdiri di sana.
“Bersenang-senang?” sosok 23 tahun yang menjadi Raja mereka akhirnya berlalu. Membuat Marcus berdiri dari duduknya dan mengikutinya.
“Bersyukurlah karena dia tidak memotong lidahmu.”
Barbara hanya menyeringai mendengar ocehan Antonio. “Dia memang pemimpin, tapi aku masihlah anggota kesayangannya,” diiringi asap rokok tersembur dari mulutnya.
Sekarang, rupa dari laki-laki muda bersetelan rapi menapaki jalanan menuju bar. Dia seperti membicarakan sesuatu dengan seorang bartender dan memberikan sebuah foto padanya. Terselip kertas hebat bernominal luar biasa di bawahnya.
“Caramu memang cepat. Apa tak bisa lepaskan saja dia?” sebuah suara menyusup ke pendengaran. Robert menoleh, melirik Marcus yang duduk di sampingnya.
“Kenapa biarkan dia pergi?”
Pertanyaan tiba-tiba itu menyentak hati dan pikiran lawan bicara. Saliva ditelan tenang, sorot mata saling menekan, Marcus pun meminum sajian dari bartender di depan. “Dia pantas bahagia.”
Seketika tawa pelan menari di antara mereka. Robert pun sontak menyisir rambutnya ke belakang, menampilkan keindahan dari ketampanan angkuhnya. “Kita pantas bahagia, Marcus.”
“Lepaskan dia.”
Robert hanya tersenyum tipis. Ia mengode bartender itu untuk mengambilkan botol minuman berkelas yang ada. Sesuai perintahnya, kemilau mahal dan bahkan tak semua mampu menikmatinya terpampang indah di depan mata.
“Apa anda tahu? Semakin berharganya sesuatu, semakin banyak yang tak bisa menyentuhnya. Harga dari anggotaku seperti itu. Jika tak bisa memilikinya, maka aku hanya harus membunuhnya. Itulah kesepakatan kita Marcus, jadi jangan tawar menawar denganku.”
Selesai mengatakan itu Robert pun pergi meninggalkannya. Memainkan ponsel dan menghubungi seseorang di sana.
“Lakukan.”
Satu kata, bermakna kejam untuk mereka yang mendapatinya. Perintah itu akhirnya menjadi hewan pencari untuk memakan mangsa di waktu selanjutnya.
Sekarang, Cristhian dan Evelin tak berkutik. Mendapati banyaknya pemburu yang melacak keberadaannya. Terus berlari, berpikir mimpi di genggaman namun kenyataan berbisik kejam. Robert bukan orang yang bisa ditipu, bahkan perlindungan dari Marcus takkan berarti apa-apa bagi kekuasaannya.
Menyerah atau mati, namun akhir kisah seperti ingin menetap di tiang gantungan. Evelin sudah tahu harga yang harus dibayar jika mengkhianati Robert yang menjadi atasan.
Sang laki-laki muda, tak bisa dibantah ataupun ditentang. Otaknya kejam, perkataannya licik, permainannya menyiksa, dan alur organisasinya tak berbelas kasih. Dia yang terbuang menjadi singa tenang di hutan. Namun sekarang mengeluarkan taring untuk mereka yang tak mematuhinya.
Darah pun akhirnya mengalir pelan, dari sosok paman yang menjadi orang paling dipercayainya.
Marcus.
Membayar harga atas tindakannya, karena membiarkan Evelin dan Cristhian kabur. Tembakan tak berperasaan tertanam tepat di dadanya, menjadi saksi dari rasa sakit menuju kematian.
Robert menatap tenang dia yang tak berdaya di sofa. Didekatinya dan dielus lembut punggung tangannya. “Maafkan aku. Tapi pengkhianatan, adalah yang paling menyakitiku,” dan kepalanya pun di dekatkan untuk menyentuh dahi Marcus. “Selamat tinggal, Paman,” kata terakhir dan ia pergi meninggalkannya setelah mengambil sesuatu berdarah di lehernya.
“T-tetaplah hidup, E-ve-lin—”
Gumaman terakhir, dengan mata tertutup sepenuhnya dan jiwa bertemu Dewa Kematian seperti seharusnya. Marcus telah pergi, dihiasi langkah menyedihkan yang dibukakan oleh sang keponakan seorang diri.
Robert telah membunuhnya, karena rasa kecewa atas pengkhianatan yang terjadi. Mereka orang-orang buangan, telah disudutkan tanah kelahiran dan diabaikan lingkungan pembesaran. Berbagi ikatan, namun sekarang justru merasakan hal keji atas nama cinta dan pengorbanan.
Bayaran dari pengkhianatan yang takkan pernah termaafkan.
Polisi.
Memburu sepasang manusia tak bersalah di pelabuhan. Sekoci telah ditinggalkan untuk ditenggelamkan, dan langkah terengah-engah masih menghantui mereka yang berlari.
Penipuan, informasi keberadaan teroris di negara itu menjadi label bagi Evelin dan Cristhian yang mendatanginya. Dituduh akan membunuh sang presiden, karena misi dan juga bayaran tinggi. Mereka adalah orang-orang tak takut mati dan beberapa sosok melabelinya sebagai aksi bunuh diri.
Siapakah yang bernyanyi?
Dialah Robert. Menyusun skenario untuk memusnahkan mantan anggota dan putra presiden sebagaimana harusnya.
Siapakah yang berlari?
Mereka yang memburu dan diburu sesuai rencananya.
Apakah memang harus seperti ini?
Ya, karena pengkhianatan adalah harga yang tak pernah termaafkan.
Teriakan memecah malam dari balik deru napas mereka yang bersembunyi.
“M-maafkan aku.” Evelin terisak, tak menyangka kalau semuanya akan jadi seperti ini. Rasanya menyakitkan, membayangkan kembali apa yang telah terjadi. Salahkah jika dirinya ingin bahagia? Kenapa Robert sekejam ini? Batinnya tersiksa dan bertanya-tanya.
“Ini bukan salahmu. Kita akan baik-baik saja, percayalah padaku,” sosok itu masih mencoba menenangkan. Memeluknya erat, di tempat persembunyian di celah-celah kendaraan besar yang terparkir di pelabuhan.
Entah sudah berapa lama mereka menghindar. Mencari langkah agar tak tertangkap, menjadi kisah perjuangan untuk kebahagiaan. Namun Robert, memang tidak berperasaan.
“Bukankah sudah kubilang? Pengkhianatan adalah hal yang paling tidak termaafkan.”