webnovel

Pesan Cinta Effendik

“Menata hati bukan ikwal membalik telapak Mencairkan luka jua tak sekedar meneguk kopi Menyapu keresahan masa lalu jua teramat tak mampu Semua adalah garis takdir qada Mau tak mau harus terlewati Di sisinya ada jurang di sisi yang lain ada lubang Di tengah-tengah ada serapak dua kaki Bila salah sedikit neraka jahanam adalah ujung tanpa tepi Bukan masalah hanya mengucap Bismillah Atau mengusap kedua tangan kemuka dengan Allhamdulillah Tapi terus berjalan di jalanan yang benar Setegak alif sekuat baq berjuang demi menjaga keimanan dan kesalehan hati Terus berusaha hidup dengan lafaz shalawat dan tabuh genderang takbir langit” *** Begitulah serat cinta lampiran sebait puisi Effendik yang iya tulis rapi bak catatan buki diari. Sore menjelang magrib dengan segelas kopi dan sebungkus rokok di atas meja berteman sunyi sebuah gang desa bernama Mojokembang. Sebuah desa pinggiran kota Jombang. Ini ikhwal sebuah cerita dan album masa lalu Bagus Effendik. Seorang lelaki muda yang sedang mencari jati diri. Benturan demi benturan kenyataan pahit terus ia lalui. Kehidupan sederhana dari orang tua yang sederhana membuat ia harus selalu berjibakuh dan kerja keras untuk mencari sesuap nasi. Bagus Effendik yang sering dipanggil dengan sebutan Cacak Endik. Adalah pemuda biasa dari kebanyakan pemuda kampung lainnya. Namun di balik penampilannya yang biasa saja terselip kalam-kalam illahi yang indah yang selalu tergetar di mulut dan hatinya. Jalan takdir yang ia miliki membuatnya selalu resah dengan keadaan yang diterimanya. Iya selalu bertanya dalam hati apa itu cinta sebenarnya dalam arti mana harus ku kerahui cinta apakah dalam arti kiasan atau secara hakikatnya

Cacak_Endik_6581 · History
Not enough ratings
55 Chs

Nafas terakhir Saras

Mata Saras mulai berair pasrah menggelincir bening butiran-butiran halus di pipi meluncur deras hingga jatuh ke ubin-ubin emperan samping toko di sebuah gang gelap satu sisi terminal.

Tatapannya kosong nanar menuju atas awang-awang seakan sudah tiada arti hidup dan hanya kepasrahan total serasa ingin di jemput kematian. Di sana di atas langit di balik sela awan yang berarak berjalan tertiup angin melintas perlahan menutupi rembulan yang baru saja menampakkan batang hidungnya setelah gerimis sebentar lalu menghilang.

Seakan rembulan itu menangis dengan nasib Saras begitu pilu tergolek di atas ubin lemas tak berdaya dan meronta pun sudah tak kuat tiada tenaga sedang lima preman bertubuh kekar terus bergiliran memuaskan dahaga akan kehausan untuk menikmati Saras. Seakan tiada minum seharian begitu puas mereka mencicipi seluruh lekuk di setiap sendi Saras.

Di sana di ujung langit serasa terlihat gambar wajah Mas Salam sang suami yang tersenyum dan selalu berkata, "Dek bila kau mendapatkan suatu keadaan yang sangat berbahaya. Maka panggillah namaku dalam hatimu aku akan datang di depanmu untuk melindungimu dan cinta kita," tapi malam ini walau Saras berteriak kencang memanggil nama Mas Salam beberapa kali iya tak kunjung datang.

Lalu Saras agak memejamkan mata dalam hati sudah rela akan akhir sebuah kehidupan yang akan terenggut paksa. Karena sebuah noda najis yang sedang menimpanya malam ini. Akan tak mampu ia bawa walau seandainya ia selamat sekalipun dari maut setelah berpuluh kali digilir lelaki bejat preman terminal. Yang notabenenya pemimpin mereka sebenarnya mantan kekasihnya.

Sejenak ia memalingkan wajah ke arah sebuah rolingdor yang telah tertutup. Di sana tubuh kecil Dewi sedang menangis tersimpuh ketakutan bersendiku kedinginan dan terus memanggilnya dengan nada lirih sebab sudah terlalu takut untuk berteriak.

"Ibu, Ibu, Ibu..., tolong ibuku?" begitulah kata-kata terlontar dari bibir kecil Dewi dan bergetar pucat tak mampu berteriak sebab dingin dan rasa takut tengah malam telah mengalahkan tubuh kecilnya yang terus merengkuh di tepian teras samping sebuah gang di satu sisi terminal.

Bentakan keras dari dorongan benda tumpul yang sejurus menusuk ke dalam lubang surga membuat Saras menggelinjang tak menentu kali ini ia tak mampu menahannya matanya melotot seakan ingin keluar lehernya selaras punggungnya mendongak-dongak ke atas.

Dan terdengar tawa puas para preman yang beringas menatap tubuh Saras yang perlahan melemas dan kembali terlentang tak berdaya. Walau Saras sudah tak berdaya dan tak melawan kembali hanya pasrah akan nasib naas yang menimpanya namun para preman terminal masih terus melanjutkan giliran per giliran kadang melotre dengan hom, pim, pa atau suit Jepang batu, kertas, gunting. Seakan tubuh Saras adalah papan lotre atau secarik kertas togel yang apa bila menang begitu terasa hati girang tak terlupakan.

Sedangkan Mas Salam sang suami masih berkutat dengan per karung beras yang masih terus diturunkan oleh beberapa orang kuli dari atas truk. Mas Salam kali ini berdiri pas di samping pintu belakang truk sambil mencatat per karung beras yang telah diturunkan lengkap dengan berat karung setelah di timbang.

Hingga tiba giliran satu orang kuli yang rupanya sudah sangat lelah dan mengantuk. Yang ia bawa di pundaknya pun sudah karung terakhir. Langkahnya tampak sudah tak seimbang menggendong karung beras berisi berat beras lima puluh kilo gram. Memang rata-rata berat karung semuanya sama beratnya lima puluh kilo gram.

Tampak sesaat oleh beberapa kuli yang sudah berada di bawah melihat temannya yang masih di atas truk menggendong karung beras terakhir salah berpijak pada pijakan papan kayu panjang yang hanya selebar tangan untuk menurunkan beras dari atas truk.

Kaki si kuli tak berpijak dengan benar membuat tubuhnya miring ke arah Pak Salam karung beras akhirnya jatuh karena tak kuasa menahan beban dengan kemiringan oleh si kuli. Jatuhlah karung beras ke arah kepala pak salam yang tengah mencatat total berat dan jumlah karung beras yang diturunkan dan tak fokus pada keadaan yang terjadi di atasnya.

"Pak Salam, awas?" teriak beberapa orang kuli di bawah truk berlari menuju ke arah Pak Salam berdiri.

Tapi Allah masih memberi selamat pada Pak Salam dengan sigap seperti biasanya Pak Salam menghindar karung beras urung menimpa kepalanya jatuhlah ke tanah berceceran sekarung beras.

Sedangkan kuli yang memanggul beras tadi tampak terduduk di atas truk tak menyangka kalau sekarung beras yang ia panggul jatuh begitu saja karena kelalaiannya di saat mengantuk. Ia pun buru-buru turun menemui Pak Salam beberapa kuli lain pun melakukan hal yang sama menemui Pak Salam serta mengerumuninya.

"Alhamdulillah Bapak tak Apa? Untung saja sekarung beras itu urung jatuh di kepala Pak Salam, dan untung saja Pak Salam sigap menghindar," ucap salah satu kuli di samping Pak Salam.

"Ia untung saja, kamu sih Jon kalau sudah lelah bilang kan banyak teman yang bisa menggantikanmu mengangkat beras," teriak kuli satunya lagi memarahi salah satu kuli yang tadi lalai dan menyebabkan jatuhnya sekarung beras yang hampir saja menimpa kepala Pak Salam.

"Maaf Pak Salam," ucap kuli tersebut menundukkan kepala menampakkan wajah bersalah.

"Sudah tidak apa-apa yang penting semua selamat," ucap Pak Salam seakan tak sadar kalau malam ini sang istri Saras mungkin tak akan selamat.

Saras yang sudah tak bergerak tangannya sudah terkapar dan matanya sudah tak berkedip lagi hanya melihat ke arah Dewi yang berkutat dengan tangisannya seraya terus memanggil, "Ibu, Ibu, Ibu."

Sedangkan para preman terus menggilir menindih tubuh Saras yang sudah pucat pasih membiru. Salah satu preman menyadari akan hal itu mendekat pada salah satu preman yang masih asyik menikmati tubuh Saras walau tak bergerak lagi.

"Woi Brow aku liat Mbak Saras ini dari tadi matanya sudah tak berkedip lagi dan hanya melihat ke arah anaknya itu. Lagian tak terdengar lagi suaranya seperti beberapa saat yang lalu yang masih terdengar merintih. Apa tidak mati nih perempuan,"

Preman yang masih menindih tubuh Saras segera memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan kanan Saras, "Eh benar katamu Bleh sudah mati kabur yuk,"

Seketika kelima Preman mengambil langkah seribu meninggalkan tubuh Saras terkapar di ubin lantai tanpa sehelai kain menutupi tubuhnya.

Dewi yang sedari tadi bersimpuh di tepian toko sebelah tempat kejadian perlahan merangkak ke arah Saras yang tiada bernafas lagi, sambil terus menangis menggoyang-goyangkan tubuh sang ibu berharap sang ibu bangun kembali.

"Ibu bangun Ibu, jangan tinggalkan Dewi Bu, Dewi takut Ibu."

Pak Salam tengah merapikan beberapa buku catatannya. Truk dan para kuli pun sudah pergi meninggalkannya sendiri. Beberapa saat ia sudah menutup pintu toko berbentuk Rolin dor lalu menguncinya dengan segera dari arah luar.

Tiba-tiba matanya menangkap beberapa orang berlarian ke arah belakang terminal. Telinganya menangkap sebuah percakapan dari beberapa orang tersebut.

"Gila enak banget ya tubuh wanita itu sampek nagih seakan tak mau berhenti aku. Tapi sayang ia keburu mati duluan, kalau tidak bisa kita lanjutkan sampai subuh,"

Pak Salam hanya bergeleng kepala mendengar percakapan beberapa orang yang tengah berlari menjauh dari terminal. Iya tak tahu kalau yang di maksudkan dari percakapan beberapa orang tersebut adalah istrinya sendiri Saras.

"Dasar orang jaman sekarang ada saja kejahatan yang dilakukannya. Yah mungkin karena ada kesempatan sehingga mereka dapat leluasa melakukan kejahatan itu ya. Semoga keluargaku terhindar dari orang-orang seperti mereka," gerutu Pak Salam berjalan pulang.

Lalu ia teringat istrinya yang tak kunjung menjemput serta membawakannya makanan seperti malam Jumat sebelumnya.

"Oh iya tumben Dek Saras tidak ke sini bawa makanan. Tadi sore katanya mau jemput bahkan minta ijin segala untuk pakai baju daster yang biasa di buat tidur tanpa lengan itu sebab baju yang lain belum sempat di cuci. Ah mungkin istriku tercinta kecapean lalu ketiduran, sebaiknya aku lekas pulang inikan malam Jumat tentu ia menunggu untuk melaksanakan tanggung jawabnya sebagai istri."

Pak Salam terus melangkahkan kaki menuju arah rumah melewati teras-teras pertokoan samping terminal sampai pada suatu tempat dimana di sanalah tempat terjadinya nasib naas menimpa sang istri.

Bayangan anak kecil terlihat olehnya tampak terseok-seok melangkah ke arahnya. Semakin mendekat ia menyadari kalau sesosok tubuh si empunya bayangan itu adalah Dewi gadis kecil anak pertamanya.

"Loh kenapa Nak, kok kamu di sini, Ibu mana?" ucap Pak Salam sambil menggoyang-goyangkan tubuh Dewi yang tak berkata sedikit pun hanya menunjuk ke satu sisi samping toko tak jauh dari tempat mereka berdiri.

Perasaan Pak Salam mulai gelisah tak menentu, khawatir takut dan cemas akan keadaan istrinya bercampur aduk di otak sebab beberapa saat lalu iya mendengar percakapan beberapa orang tentang menikmati tubuh seorang wanita lalu si wanita meninggal.

Dengan cepat tubuh Dewi di sahut lalu di gendongnya berlarilah ia ke tempat dimana Dewi menunjuk dengan jari kecilnya yang gemetaran kedinginan.

Sampai di sana Pak Salam tak mampu lagi berucap mendapati tubuh Sang istri terbujur kaku tak berbusana tanpa berkedip jua.

"Saras...!"

"Tidak...!"

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

Cacak_Endik_6581creators' thoughts