6 Eps.6-HANGAR 3

2039

"Ini, gak mungkin. Sangat amat tidak mungkin," ucap gue, didepan pintu ruangan yang dr Tido siapkan untuk gue.

Gue menjambak rambut dengan ekspresi muka kaget, seolah merasa ini semua tidak mungkin. Gue sangat ingat setiap kejadian penting dalam hidup gue dan salah satunya momen satu ini. Pada akhirnya, gue mencoba menenangkan diri dengan berjongkok. Masih dengan tangan yang menjambak rambut, gue masih tidak percaya.

"Google..." ucap gue.

"Halo, tuan. Saya google dan siap melayani anda."

"Tahun berapa sekarang?"

"2039, tuan."

"Bagaimana kondisi saya sekarang?"

Chip kecil terbang melayang ke arah depan badan gue, cahaya hijau memancar dari atas kepala hingga ke ujung kaki, "kondisi jantung anda berdebar, tekanan darah menurun, muka pucat, tuan," jelas perangkat teknologi. Kemudian, chip kecil tadi kembali ke bagian perangkat teknologi yang gue pasang di pergelangan tangan.

"Setidaknya perangkat ini berfungsi dengan baik, terimakasih google."

"Baik, tuan."

Gue merasa situasi seperti ini harus ada yang bisa menjelaskan, gue berdiri dan menutup pintu. Gue menengok ke semua sudut, entah harus ke arah mana, semua lorong bersih putih mengkilat ini membuat gue pusing. Sepertinya hanya ada satu cara. Yaitu dengan melewati jalan yg sebelumnya gue dan La lewati. Gue menuju ke arah kanan, meninggalkan pintu ruangan tadi.

Tidak ada satu orang pun yang lewat di lorong ini, hening, hanya terdengar suara langkah kaki gue seorang. Gue mempercepat langkah kaki dan mulai berteriak, "La! LAAA!"

Hening.

"Apa apaan tempat ini!" Sontak gue kaget dan terengah-engah sedikit kecapean, sudah tua. Ini sama sekali bukan ruangan yang gue lihat sebelumnya! Semua meja dan kursi balok putih yang ada di ruangan tempat gue mendarat dengan lift aneh yang berbentuk tabung berubah menjadi taman.

"Sedang apa kau?" Orang yang belum pernah gue lihat tiba-tiba ada di belakang.

"Tidak ada, lo siapa?" gue bertanya balik.

"Aku? Kau sendiri siapa?"

Orang ini ingin sekali gue tampar. Gue mendekatinya, "Gue Dito, salam kenal."

"ASTAGA! Maafkan aku, Dito."

"Sudah gue duga lo mengenal gue. Jadi, lo siapa?"

"Kenalkan aku, Dito, namaku Si."

"Sudah gue duga nama kalian semua disini hampir sama dengan tangga nada. Dan kau adalah?"

"Aku tukang bersih-bersih di laboratorium ini Dito."

"Apa? Bukannya semua yang ada disini sudah di kerjakan oleh perangkat teknologi yang canggih, ya? Untuk apa manusia yang mengerjakan hal seperti ini?"

"Entahlah, Dito. Dr Tido lah yang menyuruhku, tapi aku senang sekali," Jawab Si dengan tersenyum.

"Apakah lo, sebagai penjaga kebersihan disini tau, kenapa ruangan yang ada didepan kita menjadi taman?"

"Oh, itu," dia melangkah melewati gue lalu menyentuh ujung dinding. Taman itu terangkat ke atas, di lanjut dari bawah muncul sebuah ruangan putih dengan kursi dan meja berbentuk kubus, La gue lihat sedang duduk diantara bangku yang ada disana. Gue semakin bingung dengan keadaan. "Kau kenapa, Dito?"

"Nggak apa."

"Dito? Kenapa kamu gak masuk kedalam ruanganmu?" La yang sedang duduk diam di bangku balok seketika mendekati kami berdua.

"Tempat itu aneh, La, sungguh."

"Ruanganmu? Aku paham," La melirik Si dengan sinis, "sedang apa, kau, Si? Kembali bekerja sana."

"Baik," Si meninggalkan kami berdua.

"Apa lo bisa menjelaskannya, La?"

"Mengenai apa Dito?"

"Ruangan yang disiapkan untuk gue."

La mengeluarkan sebuah alat dari saku dalam jasnya. Alat itu diarahkan kedepan muka gue, seperti cahaya kejutan, alat itu membuat gue pingsan.

•••

2028

'Halo Nylelelelele~' gue memanggil Nyle lewat telpon.

'Apa-apaansi, Dito, nyebelin!'

'HE HE HE, bercanda Nyle. Aku udah sampe, nih, di super market. Tadi aku sengaja ninggalin list yang mau di beli di kamar, he he.'

'KENAPA DI TINGGALIN! KEBIASAAN!'

'Biar kita bisa ngobrol.'

Nyle diam, suara ketawanya terdengar sekali di earphone yang gue pakai. Gue pun ikut tersenyum. Dengan protokol kesehatan yang telah di tetapkan, gue memakai kacamata masker khusus agar tidak tertular virus baru yang meresahkan dunia setelah covid 19 dan masuk kedalam supermarket. Sekitar jam 3 sore, di daerah Bandung tahun 2028 gue sebagai bapak-bapak amatir ditugaskan membeli beberapa belanjaan sesuai perintah istri.

'Nyle jadi kamu ingin aku beli apasaja disini?' Tanya gue di telpon.

'Serius Dito kamu gak liat, gitu, di dalam catatan yang tadi aku berikan?'

'Maafkan aku, Nyle. Aku hanya ingat yang dibutuhkan kamu saja, untuk kebutuhan anak kita, aku melupakannya.'

Nyle berbicara dengan Lero, anak gue. Nyle membicarakan kebiasaan gue yang pelupa dan tidak banyak tau tentang berbagai hal kepadanya. Padahal, Lero masih berusia 2 bulan, sepertinya omongan Nyle hanya ditanggapi dengan muntahan bubur halus. 'Sudahlah Dito, kamu belikan popok bayi yang biasa dipakai-'

'Dipakai siapa? Clo?' Gue memotong Nyle. Clo itu seekor kucing jantan dirumah gue.

Nyle kembali memarahi gue dan mulai bersekutu dengan Lero. Dengan mendorong troli supermarket gue mencari barang-barang yang Nyle sebut dalam telpon. Sayang sekali gue tidak bisa belanja berdua dengan Nyle, gue ingin sekali memasukan Lero kedalam troli supermarket.

Gue sampai dirumah sekitar pukul 5 sore, karena memang supermarket hanya berjarak 2 KM dari rumah, jadi lumayan cepat. Suasana komplek memang lengang karena dampak pandemi yang terjadi beberapa waktu kebelakang, tapi untuk apa ada mobil ambulan di depan rumah gue? Dalam benak gue, mungkin dari pihak kedokteran hanya ingin menjenguk Nyle. Tapi mengapa Nyle tidak memberitahukan gue tentang ini sebelumnya?

Di ruang santai, yaitu ruang tengah, dimana gue, Nyle dan Lero sering bersama dengan menonton serial di TV gue lihat sangat sepi sekali dari luar. Salam gue pun tidak ada yang menjawab dari dalam. Seperti dalam adegan sebuah film, gue rasa ini adalah penculikan. Satu hal yang gue tuju adalah mobil ambulan yang parkir di seberang rumah gue dan ternyata tidak ada siapapun juga di dalam mobil itu. Tujuan selanjutnya adalah kamar di lantai 2. "Nyle!" Teriak gue ketika menaiki tangga, dengan panggilan yang berulang-ulang gue menyebut nama Nyle.

"Ada apa, Dit?" Nyle keluar dari kamar, kami berpapasan di depan pintu.

"Oh, nggak, Nyle. Apa kamu baik-baik aja?"

"Aku, kan, selalu baik-baik aja Dito, tadi aku hanya menidurkan Lero sambil memberinya ASI. Ada apa kok kamu tiba-tiba panik begini?"

"Tidak, Nyle. Apa Lero sudah tertidur?"

"Iya, sudah," Nyle menutup pintu kamar lalu menggenggam tangan gue, "Ayo kita cek apa kamu gak salah beli barang yang aku minta, jangan sampe aku yang turun tangan ke supermarket ya, Dito," gue mengangguk mengiyakan, lalu kami pergi kebawah.

3 Tas khusus barang Nyle ambil satu persatu, dia mengecek dalamnya secara Detail. Seperti itulah Nyle, teliti. Berbanding terbalik dengan gue yang bodo amat.

"Nyle," panggil gue, pelan. "Apa ada orang yang datang kemari ketika aku pergi?"

Nyle berhenti sejenak, "Ada, tadi, Dit. Dari pihak kedokteran."

"Oh, pantas saja ada ambulan di sebrang depan rumah kita. Sekarang kemana perginya mereka?"

"Sejak kapan mobil ambulan di tahun ini diam? Bukannya sekarang ambulan diperuntukkan khusus pasien yang harus dijemput karena terpapar virus, ya? Kamu lihat dimana, Dit?"

Gue menunjuk ke arah luar, Nyle dengan segera mengecek keluar untuk memastikan. Dia kembali dengan muka kebingungan," Entahlah, Dit. Dari pihak kedokteran pun tadi datang dengan mobil perusahaan, untuk mengecek darahku, memastikan kondisi, seperti biasa." Nyle mengacuhkan mobil ambulan di depan, gue pun melakukan hal yang sama dan langsung bergegas mandi. Tidak lama gue di dalam kamar mandi sontak kaget karena mendengar suara keras dari arah ruang tamu, handuk yang menggantung dengan sigap gue pakai dan bergegas keluar kamar mandi untuk mengecek yang terjadi.

"Selamat malam, Ditofarnus." Ucap laki-laki tua berkacamata hitam.

***

avataravatar
Next chapter