1 Bukan Jadwal Bercinta

Asha masih enggan beranjak dari tempat tidurnya pagi itu. Ia hanya menggerakkan tubuhnya untuk melirik jam dinding besar yang menempel sejajar di atas kepalanya. Jam dinding yang angkanya timbul itu menunjukan pukul lima lebih lima belas menit. Asha betah dengan posisinya menghadap seorang laki-laki bertubuh tinggi kekar yang tengah tertidur lelap dan dalam. Sepertinya memang begitu, sebab saat Asha berkali-kali menggerakan telapak tangan di depan wajahnya laki-laki itu tak juga bergeming.

Sedetik kemudian posisi Asha hanya berjarak satu jengkal dengan wajah laki-laki yang menikahinya enam bulan lalu. Padahal usia Asha belum genap dua puluh dua tahun saat itu. Terlalu muda memang untuk menyandang gelar seorang istri, tetapi Asha sudah mengambil keputusan itu sendiri. Tanpa interpensi siapapun.

Pria berambut hitam tebal itu mengeluarkan suara dengkuran tipis. Kelopak mata yang tertutup rapat membuat bulu matanya yang lentik terekspos sempurna. Asha semakin gemas dibuatnya. Mau bagaimana lagi, jatuh cinta itu memang membuat seseorang jadi fanatik. Bahkan untuk hal aneh yang tiba-tiba terlihat menakjubkan.

Saat Asha sekali lagi memangkas jarak keduanya, ia justru menyerah. Asha menarik kembali wajahnya sebab ia merasakan jantungnya seperti tergelincir dari tempatnya. Asha tak ingin mengambil resiko mati mendadak saat terlalu dekat dengan Harris Darmawan suaminya.

Asha jadi ingat saat Devi dan Fani memandang iri padanya, saat Asha mengenalkan mereka pada Harris. Kedua sahabatnya itu dengan lantang berpendapat bahwa Asha beruntung punya suami yang mapan dan tampan.

“Mereka benar, Mas Harris emang ganteng banget. Gak kaleng-kaleng deh pokoknya.” gumam Asha gemas, melepaskan remasan kedua tangannya yang mengepal di udara.

Harris Darmawan yang memiliki garis wajah kuat, dengan berewok tipis yang tumbuh di hampir seluruh permukaan wajahnya, juga mata hitam legamnya selalu berhasil membuat Asha jatuh hati lagi dan lagi. Bahkan saat ia tak melakukan aktifitas apapun selain mendengkur.

“Selamat pagi Mas.” Asha menyapanya dengan manja, saat tak sengaja mata Harris sedikit terbuka. Asha dengan percaya dirinya kemudian memejamkan mata menunggu 'morning kiss’ yang ternyata tak ia dapatkan pagi itu.

Setelah beberapa detik menunggu Asha kembali membuka kelopak matanya dengan tawa yang tertahan telapak tangan di mulutnya. “Ternyata Mas Harris tidur lagi, ya ampun pagi-pagi udah mesum saja pikiranku. Memalukan!” gumam Asha menangkup wajah tomatnya dengan telapak tangan.

Tak mau membuang waktu terlalu lama, Asha memaksa dirinya untuk bangkit dan menyiapkan semua keperluan suaminya.

Asha rutin memulai aktifitas paginya dengan merapihkan celana coklat tua dan kemeja coklat muda yang di dadanya terdapat papan nama bertuliskan Harris Darmawan lengkap dengan tanda pangkat IPTU sebagai Inspektur Polisi Satu. Asha juga tak melewatkan sepatu boot hitam yang sudah mengkilat permukaannya. Pun kaus kaki hitam agar penampilan Harris sempurna tanpa celah. Asha tentu tak ingin dicap sebagai istri yang tak becus mengurus suami.

Kini Asha bisa melenggang ke kamar mandi dengan tenang setelah sebelumnya ia pun bergelut dengan asap dapur membuat nasi goreng yang masih tersimpan di wajan untuk sarapan. “Nanti tinggal aku panaskan saja lagi.” katanya bermonolog.

“Mas Harris bangun!” ujar Asha mengelus-elus pipi Harris saat jam menunjukan pukul setengah tujuh pagi.

Tanpa banyak bicara, Harris ke kamar mandi untuk membersihkan diri selama sepuluh sampai lima belas menit. Dia kemudian bersiap dengan seragam dinasnya lalu tepat pukul tujuh pagi, Harris sudah duduk manis di meja makan menunggu sarapannya. Aktifitas pagi yang diulang terus menerus sejak enam bulan belakangan ada Asha Marissa yang menyiapkan segala kebutuhannya.

Asha segera merapihkan tempat tidur sesaat setelah Harris pergi ke kamar mandi dan bergerak kembali ke dapur sebelum Harris selesai membersihkan diri.

***

Kesibukan Asha kini menyeduh kopi hitam tanpa gula untuk Harris dan teh hijau dengan sedikit gula untuk dirinya sendiri. “Mas Harris kenapa sih? Aah....” Asha mendesah kegelian saat mulut Harris bergerak naik turun di ceruk lehernya, menciuminya lembut namun rakus. Asha bahkan tak tahu sejak kapan Harris sudah turun ke dapur. Sedangkan tangan Asha yang sibuk dengan wajan berisi nasi goreng yang tengah dihangatkan tidak bisa mencengah saat jari-jemari panjang milik Harris menari-nari di atas perutnya yang rata.

Sebagai seorang istri, Asha sudah tentu paham jika suaminya sedang dikuasai birahi yang menyala. Tapi ia ragu sebab pagi itu Harris harus bekerja dan bukan jadwalnya mereka untuk bercinta.

“Mas Harris lagi mau ya?” Asha pun kembali melemparkan pertanyaan kedua yang tak dijawab juga. Pertanyaan bodoh memang!

Tangan besar Harris malah sudah sibuk berlari menuju tubuh bagian atas Asha. Dengan menaikan kaos putih lengan pendek yang dipakai Asha saat itu, telapak tangan Harris yang sedikit kasar bersentuhan dengan kulit payudara Asha yang lembut. Asha tak bisa menahan untuk tidak menikmati sentuhan lembut Harris yang mengirimkan sinyal ‘ingin’ ke otaknya.

Asha yang tengah menutup mata tiba-tiba sadar dan berkata, “Mas, tapi ini sudah jam tujuh. Sarapan dulu.” kali ini tangan Asha bisa menurunkan tangan Harris yang sudah membuat kaos bajunya tak karuan. Bahkan bra hitam yang digunakan Asha sudah miring kesana-kemari.

“Ya.” balas Harris terlampau singkat. Hanya satu kata itu yang akhirnya keluar dari mulut Harris. Harris memang pendiam terkesan dingin di kehidupan nyata. Dia tak biasa untuk banyak bicara.

Harris merubah posisi nya menjadi tepat di sebelah kanan Asha. Mata keduanya sempat beradu setengah detik sebelum akhirnya Harris menempelkan bibirnya dengan milik Asha yang masih terperangah kaget. Harris melakukannya dengan lembut sampai keduanya hanyut, dan ciuman itu berubah jadi lumatan, hisapan, dan gigitan yang panas membakar gairah.

Asha menarik napas, mencari-cari udara yang kesulitan masuk saat mengimbangi ciuman Harris. Saat akan kembali menempelkan bibirnya Asha mendorong dada Harris meski tubuh mereka masih menempel. Matanya yang sedikit terbuka mendapati secangkir kopi hitam yang asap panasnya sudah menghilang.

“Mas udah ah, kamu nanti telat! Kopinya juga nanti dingin.” pinta Asha segera meraih piring makan di sisi kanannya. Lagi, Harris tak bergeming. Ia masih saja berusaha melanjutkan kegiatan panasnya.

“Mas Harris!” pekik Asha dengan mata membulat. Tangannya sedang menahan piring panas yang terisi nasi goreng, penuh sekali.

Harris pun sadar dan melepaskan Asha sepenuhnya. Duduk dengan mantap dan mencecap kopi hitam buatan Asha yang kini menjadi candu baginya. Rasanya hanya kopi hitam buatan Asha yang pas di lidahnya.

Mereka berhadapan menikmati sarapan pagi yang sudah telat sepuluh menit dari biasanya.

Berbeda dengan Harris yang menikmati sarapannya dengan wajah lurus tanpa ekspresi. Asha justru menyantap setiap suapan dengan wajah yang terus menerus menyunggingkan senyum, seraya sesekali melirik Harris dengan ujung matanya. Asha memang menjadi sedikit gila selepas menikahi laki-laki yang sepuluh tahun lebih tua darinya.

***

“Mas Harris hati-hati ya.” Asha berjalan lebih cepat, menarik kuat pagar rumahnya agar mobil sedan Harris leluasa keluar. Setelah bagian depan mobil berhasil melewati pagar, Asha tak lupa memberikan senyuman terbaiknya. Senyuman lebar yang menyembulkan tulang pipinya.

“I love you Mas!” ungkap Asha melambaikan tangan yang sudah di tempelkan di mulut sebelumnya.

Harris pun meninggalkan rumah setelah tangan panjangnya keluar dari kaca jendela mobil dan mencubit lembut pipi Asha tanpa menjawab ungkapan cinta yang di utarakan istrinya. Membalas senyumnya pun tidak. Harris memang tidak ekspresif. Harris seperti gengsi menjadi romantis untuk istrinya.

Asha sebenarnya sudah terbiasa dengan karakter suaminya itu. Tapi dari lubuk hati kecilnya, ia tetap ingin Harris lebih banyak bicara padanya. Setidaknya saat Asha berusaha memancingnya agar lebih terbuka mengekspesikan perasaannya, hingga ia tak perlu repot menerka-nerka suasana hati Harris.

Namun ada sisi lain dari Harris yang membuat hati Asha semakin terikat kuat. Harris selalu berhasil membuat Asha merasa begitu dipuja, dicintai dan dihargai saat mereka tengah bercinta. Harris yang dingin di kehidupan nyata seperti menjadi sosok lain yang begitu hangat dan memabukan di tempat tidur. Hanya dari sanalah Asha bisa yakin jika Harris pun mencintainya.

Asha tetap yakin jika pelan-pelan Harris akan lebih terbuka padanya, yang perlu ia lakukan hanyalah memupuk kesabarannya. Asha sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan bertahan berada di samping Harris, selama tidak ada kekerasan fisik dalam kehidupan rumah tangganya. Asha tengah mengamalkan pepatah lama yang berkata, jika batu yang keras akan hancur juga dengan air yang terus menerus menetes di atasnya.

***

Asha meraih ponselnya, mengeser layar untuk menampilkan kontak Harris hendak mengirim pesan singkat pada suaminya. Asha memang rutin mengirim pesan setiap sore. Bukan pesan penting, hanya untuk meyakinan diri jika Harris akan pulang tepat waktu seperti biasa.

Istriku

‘Mas Harris mau dimasakin apa malam ini?’

Mas Harrisku

'Apa aja boleh.'

Balasan Harris di terima Asha satu jam setelah pesan singkat pertamanya terkirim.

Istriku

‘Aku bikin sop daging sama tempe goreng aja kalau gitu ya Mas?’

Mas Harrisku

‘Ya, makasih ya.’

Istriku

‘Sampe ketemu ya Mas, hati-hati di jalan. (emoticon cium, peluk dan hati berjajar)'

“Mas Harris bales WA istri aja kek bales WA atasan deh, dataaar banget. Pake emoticon senyum aja gak pernah. Sebal!” protes Asha pada angin yang berhembus di teras rumah.

***

Asha melangkah tergesa saat bel rumah berbunyi. Siapa lagi kalau bukan Harris yang selalu pulang ke rumah tepat jam delapan malam.

Asha merapihkan dress selutut yang hari itu berwarna hijau dengan motif bunga tulip. Dia tentu saja sudah selesai mandi setiap kali Harris pulang ke rumah. Asha hendak mempersiapkan senyuman terbaiknya, saat ia terperangah dengan mata membulat saat Harris ‘menyerangnya’ sesaat setelah gagang pintu tertarik.

“Mas...” suara Asha tercekat dengan hisapan-hisapan kuat di bibirnya.

***

Bersambung...

avataravatar
Next chapter