1 Pertemuan Pertama

Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tetapi jalanan kota masih terlihat ramai. Lampu kendaraan yang lalu-lalang memenuhi jalanan, membuat langit malam tampak berkilauan.

Aiden sedang duduk di dekat jendela kamar presidential suite-nya, mengamati hiruk pikuk kota yang berkebalikan dengan kamarnya yang sunyi. Sesekali tangannya terangkat untuk menyisir rambut cepaknya yang masih basah.

Matanya tertuju pada pemandangan jalanan kota yang indah, namun sayangnya keindahan itu malah membuat matanya terasa perih dan pandangannya menjadi kabur.

Ia memejamkan matanya dan ingatannya kembali ke hari itu, satu tahun yang lalu. Hari di mana takdir tidak hanya merenggut penglihatannya, tetapi juga membuat kedua kakinya lumpuh. Hari itu, takdir telah mengubah seluruh hidupnya.

Namun apalah artinya takdir? Aiden tidak percaya dengan takdir, karena bukan takdir yang menentukan jalan hidupnya, melainkan dirinya sendiri. Ia membuat sesuatu yang mustahil menjadi mungkin, meskipun takdir menentangnya.

Delapan bulan setelah kecelakaan itu terjadi, Aiden kembali berjalan. Kegigihannya menjalankan fisioterapis intensif selama berbulan-bulan membuat kakinya kembali bangkit dan melangkah. Penglihatannya pun perlahan pulih meskipun cahaya terang masih mengganggu matanya dan membuat pandangannya menjadi buram.

Tidak ada yang orang tahu bahwa ia sudah bisa melihat lagi dan ia pun tidak berniat untuk mengungkapkannya hingga matanya benar-benar kembali pulih seperti semula.

Ia sedang tenggelam dalam kenangan masa lalunya, ketika tiba-tiba sebuah suara membangunkannya dari lamunannya. Pintu kamarnya perlahan terbuka dan dua orang pelayan memasuki ruangan sambil memapah seorang wanita. Wanita itu tampak sangat mabuk, bahkan ia sama sekali tidak sadar saat kedua pelayan itu menuntunnya ke tempat tidur Aiden.

Salah satu dari pelayan itu mengangkat jari telunjuknya ke arah mulutnya, memberi isyarat pada rekannya agar tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Aiden tersenyum saat melihat gerak gerik kedua pelayan yang mengira dirinya buta dan tidak bisa melihat apa yang mereka lakukan. Bukan senyum ramah yang tersungging di bibirnya, namun senyum yang sangat mengerikan.

"Siapa di sana?" Aiden menggeram pelan.

Geraman itu membuat kedua pelayan itu tersentak. Mereka berdua sangat ketakutan dan segera melarikan diri dari kamar itu tanpa berpikir dua kali.

Aiden merasa marah. Rahangnya menegang saat ia bangkit berdiri dari kursinya dan menghampiri wanita yang ditinggalkan di dalam kamarnya itu. Siapa yang berani-berani memasuki kamarnya tanpa ijin?

Di bawah cahaya kamarnya yang redup, Aiden bisa melihat wajah wanita itu terlihat merona, bau anggur yang kuat tercium dari sekujur tubuhnya. Ia terus menggeliat di atas tempat tidur, sementara bibirnya sedikit terbuka dan mengeluarkan rintihan pelan.

Aiden mengerutkan keningnya setelah melihat hal ini. Ia berbalik dan hendak memanggil asistennya untuk segera menyingkirkan orang asing yang masuk ke kamarnya. Namun saat ia akan pergi, tiba-tiba saja wanita itu meraih tangannya.

"Tolong …" rintih wanita itu pelan.

Baru pada saat itulah, Aiden bisa melihat wajah wanita tersebut dengan jelas. Matanya sedikit terbelalak ketika menyadari siapa sebenarnya wanita yang berada di kamarnya itu.

Ia segera duduk di pinggir tempat tidur dan tangannya terulur, mengelus wajah wanita itu dengan lembut. Berkebalikan dengan gesturnya yang sangat lembut, pertanyaan yang keluar dari bibirnya sangat dingin hingga bisa membuat orang lain bergidik, "Anya. Siapa yang melakukan ini kepadamu?"

Sayangnya, Anya sama sekali tidak sadar saat ini, ia sama sekali tidak bisa mendengar apa yang ditanyakan oleh Aiden. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang dan sekujur tubuhnya seolah terbakar.

Anya hanya bisa merasakan tangan dingin yang menyentuh wajahnya, membuatnya sedikit merasa nyaman. Seolah haus akan rasa nyaman itu, Anya mengulurkan tangannya dan memeluk Aiden, menempelkan seluruh tubuhnya pada pria tersebut.

Kepalanya terkulai lemah di bahu Aiden, sementara embusan napasnya yang panas seolah membelai leher Aiden, membuat sekujur tubuh pria itu menegang.

Seseorang telah memberikan obat pada wanita ini dan mengirimkannya kepadanya untuk suatu tujuan tertentu ini. Siapa sebenarnya yang melakukannya dan apa tujuannya?

Anya tidak kuat menahan efek obat yang ia rasakan pada tubuhnya. Ia merasa kesulitan bernapas dan terengah-engah

Aiden memegang dagu Anya dengan lembut dan sedikit mengangkat kepala wanita itu, memaksa Anya untuk membalas tatapannya. Rambut panjang hitamnya terurai berantakan, tetapi tidak mengurangi kecantikannya.

Mata mereka berdua saling beradu pandang seolah terjerat satu sama lain dan tidak bisa memalingkan pandangan mereka lagi. Anya mengambil inisiatif, menautkan jari-jarinya di leher Aiden dan mencium bibirnya. Aiden hanya bisa terkejut dan terdiam, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

Aroma tubuh Anya memenuhi indera penciumannya. Aroma yang lembut, harum tetapi tidak berlebihan, membuat Aiden tidak bisa menahan dirinya lagi.

Tangannya merengkuh belakang kepala Anya, sementara bibirnya yang sebelumnya terdiam mulai melumat bibir Anya dengan lembut. Bibir Aiden terasa dingin seperti permen peppermint bagi Anya, membuatnya tidak bisa menolak lumatan bibir itu. Ia memiringkan kepalanya, mencari posisi yang lebih nyaman saat bibir mereka saling beradu.

Melihat sambutan hangat dari wanita yang terkulai di pelukannya, bibir Aiden bergerak semakin ganas, melumat bibir Anya dengan semakin dalam. Perlahan ia mendorong tubuh Anya hingga punggung wanita itu menyentuh kasur yang empuk. Napas mereka seirama, saling terpadu satu sama lain.

Anya merasa tubuhnya semakin panas. Ia menggeliat, berusaha meraih resleting gaunnya dan ingin melepaskannya. Namun, tangan Aiden bergerak lebih cepat. Ia memegang pergelangan tangan Anya dan menahannya di atas kepala wanita itu. Sementara itu, tangannya yang lain menarik resleting gaun Anya, melucuti pakaian wanita itu secara perlahan.

Aiden mulai mencium bahu Anya dan perlahan menuju ke leher wanita tersebut. Ciuman itu begitu ringan dan lembut, seperti belaian kelopak bunga pada kulit Anya, membuat sebuah desahan tanpa sadar keluar dari mulutnya.

Desahan itu membuat Aiden semakin bergairah dan mulai mencumbu seluruh tubuh Anya, mengeksplor tubuhnya yang indah. Wanita itu bagaikan candu baginya.

Suhu di ruangan itu semakin panas saat mereka tenggelam dalam gelombang penuh gairah. Selama satu malam penuh, hanya geraman rendah atau suara desahan menggairahkan yang terdengar di kamar itu.

avataravatar
Next chapter