1 1. Perjalanan

Akhirnya Aku memutuskan untuk menjemput Ibuku di tanah ini. Badanku terasa nyeri setelah perjalanan yang begitu panjang juga melelahkan. Terakhir kali, aku bahkan harus menaiki speed boat kayu. Ternyata naik speed boat kayu lebih parah dari naik motor di jalan yang rusak. Atau lebih tepatnya sama seperti naik traktornya milik Pak Bahu di kampung.

Bukan cuma pantat yang terentak karena kecepatan perahu tapi seluruh tubuh terasa hampir terbang. Aku sampai memegang erat bangku supaya tubuhku tidak terpental ke sungai. Untung saja aku tidak mabuk sungai.

Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tanah Sumatera. Berbekal secarik alamat dari Mas ketigaku, Mardi. Sampailah aku di sini sekarang. Tepi sungai Musi. Ya, sungai yang terkenal semenjak pembangunan jembatan Ampera itu. Kini semakin ikonik dan mulai dikenal oleh masyarakat Jawa.

Apalagi semenjak Presiden Suharto memerintahkan transmigrasi besar besaran. Sebagian masyarakat Jawa semakin mengenal Pulau Sumatera.

Masalahnya adalah, Aku awam sekali dengan tempat ini. Sekalipun aku terbiasa merantau ke tempat yang jauh dan asing. Akan tetapi tempat ini benar- benar berbeda. Sungguh Asing dan tidak bersahabat kurasa. Selain itu mereka berbahasa aneh atau mungkin aku memang yang baru pertama kali mendengar bahasa mereka.

Bukan bahasa Indonesia seperti yang biasa kudengar saat berbincang dengan istri Mas Mardi. Tentu saja beda, istri Mas Mardi orang Bekasi sedangkan mereka orang melayu.

Bahasa mereka disebut bahasa melayu. Bahasa yang sebenarnya orang Jawa kenal namun asing ditelinga karena tidak terbiasa menggunakannya. Setiap orang Jawa berbicara dengan bahasa Jawa dan Indonesia. Bahkan bahasa Indonesia saja tidak semua kalangan tahu. Biasanya mereka yang mengenal bangku sekolah yang akan fasih menggunakannya.

Bahasa Jawa saja sudah beraneka ragam. Dari satu kampung ke kampung lain sudah beda ciri khas atau dialek. Apalagi kalau antar kota sudah bisa beda arti. Betapa kaya bahasa Indonesia ini.

Aku masih belum tahu harus ke arah mana. Aku hanya berjalan dan diiringi pedagang dadakan di kanan dan kiri. Karena setahuku seharusnya ada tukang ojek di sini. Tapi aku malah menemukan orang-orang sedang sibuk bertransaksi dengan dagangannya. Semacam pasar namun tidak ada satu pun bangunan di sini. Mereka seperti membuka lapak dadakan di sini. Hanya menggelar alas bahkan ada yang hanya dengan daun pisang seadanya lalu menaruh dagangan di atasnya.

Kuperhatikan wajah-wajah yang sedang bertransaksi itu satu persatu. Kupaksakan diri untuk berusaha mencerna perkataan mereka. Jika masih satu negara seharusnya ada bahasa setidaknya kata yang aku mengerti sekalipun satu. Aku berjalan pelan. Mendengarkan nada-nada sumbang dari cara bicara mereka yang terdengar aneh. Tidak peduli orang tergesa gesa menyenggol tubuhku hingga aku terhuyung. Aku hanya merasakan seperti kuhentikan waktu untuk saat ini.

Seorang ibu dan anaknya. Seorang Bapak yang sedang memotong ikan-ikan yang terlihat masih sangat segar. Seorang anak yang antusias bermain gundu. Semua ini adalah kehidupan yang kulihat saat ini.

"Aghhhh..." Aku menggelengkan kepala dan kuacak rambutku dengan frustrasi.

Aku benar-benar tidak memahami bahasa mereka. Terlalu cepat dan terlalu asing. Lalu bagaimana caraku meminta tolong jika begini. Batinku meracau dan terus mencari-cari adakah orang yang bisa kumengerti bahasa bicaranya. Sehingga bisa ku mintai pertolongan.

Sampai diujung pasar aku mendengar suara laki-laki paruh baya. Sontak aku menoleh ke arahnya. Bergetar hatiku semringah menyadari bahwa aku memahami apa yang dua orang itu bicarakan.

Terlihat dua laki-laki sedang berbicara. Yang paruh baya di atas motor satu lagi yang ku taksir seumur adik bungsuku Wisnu. Terdengar seperti seorang ayah yang sedang membujuk anaknya. Kulihat tas ransel dipunggung anak itu.

"Kalau kau tak segera naik kapal itu. Kau tak akan sampai seberang sampai bulan depan. Kau tahu, speed boat tak akan mengantarmu ke sana." Kata lelaki itu kepada seorang pemuda yang terlihat malas mendengarnya serta menenteng sebuah tas.

Bapak tadi menoleh ke arah ku. Mungkin karena dia merasa diperhatikan. Aku hanya tersenyum guna menghormatinya.

"Anakku dapat panggilan kerja, tapi dia terlalu takut menapaki Jakarta. Apalah Jakarta, sama kerasnya kan dengan hutan belantara di sini." Kata bapak itu basa basi padaku.

Aku mendekati mereka berdua.

"Hei nak... yang penting hidup merantau itu kamu pandai jaga diri, jaga tata krama, dan tidak mudah terpengaruh. Artinya jangan mudah percaya sama orang. Saya juga bolak balik Jakarta. Kakak saya dapat orang sana."

Aku menjelaskan kepada anak dari bapak ini bahkan sebelum aku mengenal mereka.

Sang Bapak tampak setuju dengan ucapanku. Raut wajah anak itu terlihat membaik dari pertama kulihat. Lalu dia pun salim dengan bapaknya.

Saya sempat mengelus pelan rambutnya. Melihatnya membuat ku teringat adik bungsu ku di Jawa. Lalu dia tersenyum dan pergi ke arah kapal. Dari kejauhan Ia melambaikan tangan sebelum akhirnya masuk ke dalam kapal dan lenyap.

Aku pun berbalik untuk melanjutkan perjalananku. Yang sebenarnya aku tidak tahu harus ke arah mana. Aku hanya berpikir jika aku lelah aku akan istirahat. Di sini bahkan tidak kutemukan plang penunjuk arah sama sekali.

"Ehh... mba mau ke mana.? Saya kan belum bilang terima kasih sama mba." Bapak tadi menahan langkah kakiku.

Aku pun tersenyum padanya.

"Saya masih harus melanjutkan perjalanan pak. Tidak perlu terima kasih Pak,wong saya tidak melakukan apa pun."

"Lo mb ini.. tadi lho anak saya kayak enggak mau berangkat. Gara-gara omongan mba Dia jadi semringah lagi."

Si Bapak merasa berterima kasih atas ucapanku yang padahal tidak berarti apa pun. Malah itu sebenarnya adalah cara untuk menghibur diriku sendiri dari tempat asing ini.

"Tidak apa-apa Pak.. jangan sungkan . Sebenarnya saya juga punya adik laki-laki di Jawa. Jadi melihat dia seperti melihat adik saya sendiri. Apalagi sebenarnya saya dari tadi berusaha mencari orang yang kumengerti omongannya. Jadi mendengar bapak ngomong langsung nimbrung." Aku terkekeh sendiri.

Si Bapak malah semakin tertarik dengan percakapan kita. Percakapan kita pun menjadi semakin panjang.

Aku menyodorkan secarik kertas berisikan alamat yang ditulis oleh Mas Mardi sepekan yang lalu. Pak Hadi begitu tadi beliau memperkenalkan diri tampak paham betul dengan alamat yang tertulis. Ia mengembalikan kertas itu lagi kepadaku.

"Saya bisa antar mba. Gratis. Tenang saja. Karena memang alamat rumah mba itu searah dengan jalan pulang saya."

Aku mendengarkan dengan saksama apa yang dikatakan Pak Hadi. Dalam hati aku merasa lega namun ada sedikit curiga. Lalu Pak Hadi melanjutkan bicaranya.

"Tapi mba, mba kan baru pertama kali kesini, sekarang ini sudah hampir petang. Apa mba bisa janji untuk tetap bisu selama perjalanan.?"

Aku terdiam. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Pertanyaan Pak Hadi terdengar konyol namun tatapannya begitu serius.

_Dunia ini adalah cermin raksasa, mencerminkan siapa diri Anda. Jika Anda penuh kasih sayang, jika Anda ramah, jika Anda suka menolong, dunia akan penuh kasih sayang, ramah dan suka menolong Anda. Dunia adalah siapa diri Anda. _Thomas Dreier

avataravatar
Next chapter