webnovel

Setidaknya Ini Menjadi Hakku, Syilla

Arsyilla segera berlari kekamarnya begitu masuk kedalam penthouse, ia mengunci rapat pintu kamar, memastikan tidak akan ada yang bisa membukanya, gadis itu juga menggeser sofa, sumpah parnonya sangat mengganggu.

Dhika yang melihat itu mengernyitkan alis, gadis itu berlari secepat kilat melewatinya bahkan naik tangga tidak hati-hati sama sekali.

Arsyilla berendam di bathub pun tidak fokus, matanya ingin terpejam tapi ia justru menatap lamat pintu kamar mandi yang telah di kuncinya, sumpah demi Zanetha yang akan sial terus hari ini ia sangat takut jika Dhika masuk dengan seringai maut, lengkap dengan alat mutilasi yang menyeramkan.

"ANETH!!!!! LOOO BUATT GUEE GILLA!!!" Teriaknya dengan nafas terengah-engah.

"Apa gue pulang aja kerumah mama sampe parno gue ilang ya? Sumpah nggak enak banget perasaan kayak hini." Gumamnya.

Dengan cepat ia menyelesaikan mandi, terus pakek sweater oversize dan training, ia akan bersikap santai, semoga aja gak terkencing saat meminta izin pada Dhika. Setelah memasukkan seragam dan bukunya, gadis itu berdehem sejenak menetralkan detak jantung.

Ia mencepol asal rambutnya yang belum disisir jadi bisa di bayangkan beseraknya? Apalagi rambut yang terkena air masih menggumpal, sengaja dia seperti itu biar Dhika ilfeel memutilasinya.

Setelah cukup percaya diri, dia keluar kamar mandi setelah lima kali buang air kecil, entah kenapa pun air seninya bisa banyak begini, tidak seperti biasa.

Dhika yang duduk di sofa sambil menatap fokus tabletnya menyadari gadis yang sudah dua jam tidak keluar dari kamar, suaranya pun tidak terdengar, pria itu menolehkan pandangannya dan terkejut dengan penampilan gadis cantik itu. Matanya menangkap rangsel besar untuk bertengger di bahu kecilnya.

"Mau camping?" Tanyanya. Jantung Arsyilla udah senam sambil disko, kalau Dhika teliti, dia bisa liat sweaternya yang di bagian dada kiri bergerak tidak beraturan.

"Pak, saya nginap dirumah mama saya ya?" Tumben suara Arsyilla selembut sutra, Dhika semakin mengernyitkan alisnya. Bukan Arsyilla berusaha bersikap manis, hanya saja itu efek dari rasa takut. Air seninya mulai mengumpul lagi, gadis itu stres di buatnya.

"Kurang mainnya?" Arsyilla menggeleng tanpa suara.

"Kamu kenapa?" Dhika semakin bingung dengan sikap aneh istrinya.

'Aku takut, jangan banyak tanya kenapa sih!' Jeritnya dalam hati.

"Saya rindu orangtua saya pak, mimpi kalau mama saya sakit," cicit Arsyilla. Dhika pikir itu bagian dari rasa sedih gadis itu.

"Kamu bisa nelpon mamamu, tidak perlu camping kesana." Arsyilla memejamkan matanya.

Tidak mudah melewati gundurewo satu ini, lebih sulit dari tantangan benteng takeshi yang suka ia tonton dengan antusias seolah dia-lah pesertanya, waktu itu dia masih SD jadi wajar adrenalinennya terpacu. Pernah sekali waktu dia ajak mama, papa dan kedua sahabatnya main begitu ketika liburan autdoor, tapi yang semangat empat lima cuma dirinya, papa bahkan bunuh diri dengan sengaja biar nggak ikut main lagi.

Menyebalkan.

"Kalau di telpon mama pasti bilang baik-baik aja pak." Kilah Arsyilla.

"Bisa panggilan vidoe kan? Kalau memang sakit kita kesana."

'Kita? Dih, apa maksudnya? Mau akting jadi mantu idaman? Terus nggak ada yang tau pas dia di mutilasi gitu?' Batin Arsyilla.

"Panggilan video bisa pakek filter pak, mama saya gahol." Arsyilla menahan nafas dan emosi, dia tidak boleh memancing keributan sebelum tau Dhika ini psikopat atau bukan. Di liat dari tampangnya masuk lah jadi psikopat walaupun dimata Arsyilla ya nggak ganteng-ganteng amat, masih cakep amat pun bagi gadis itu.

"Syilla, saya bingung sama kamu. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun setelah main tanpa izin, sekarang ingin kabur dengan alasan mama kamu sakit." Dhika mengurut pangkal hidungnya, semenjak dengan gadis itu sering kali ia memijat bagian itu.

"Kenapa saya harus ngerasa bersalah? Dan kenapa saya harus izin? Kita udah sepakat, bapak lupa?" Arsyilla masih mengatur intonasi nada bicaranya, ia mengeratkan tas punggunya yang besar tapi bukan tas camping seperti yang di katakan Dhika.

Dhika yang memakai kaus oversize dengan training longgar di buat gerah sama istrinya, padahal penthousenya full Ac.

"Bisa jangan memancing emosi saya terus, sekali saja Syilla, malam ini." Nada memohon Dhika membuat Arsyilla bingung.

Lah, siapa yang mancing bambang? Dia cuma mau pergi kerumah ortunya tapi dikau melarang dengan sejumlah alasan yang menurut dikau masuk akal, terus haruskah Arsyilla yang di salahkan? Wajarkah? Adilkah?

"Bapak kayaknya nggak kuat banget sama pernikahan ini, bagaimana kita sudahi saja pak?" Usulan yang menggiurkan menurut Arsyilla.

Dhika menatap tajam gadis itu, dia berjalan mendekati gadis yang berdiri tepat di ujung anak tangga paling bawah, gadis itu naik satu anak tangga setiap kali Dhika maju. Akhirnya Dhika mendongak untuk menatap istrinya yang sudah naik sepuluh anak tangga.

"Kita akan berpisah tapi tidak sekarang, kamu jangan main terus. Seriuslah sedikit, turun." Tegasnya di kata terakhir.

"Yang main itu bapak, kenapa sangat suka mempersulit saya? Saya cuma ingin tidur dirumah ortu saya, tapi bapak ngelarang dengan alasan yang nggak masuk akal saya pak!" Suara Arsyilla keceplosan meninggi.

"Bagi saya masuk akal." Dhika tidak perduli dengan nada suara Arsyilla, begini lebih normal menurutnya.

"Tu, kan? Bapak egoisnya nggak ketolong, mengalah saja tidak mau dengan anak kecil." Ketus Arsyilla.

"Anak kecil yang bisa buat anak kecil?" Pertanyaan ambigu yang nggak sampek ke otak kecil Arsyilla.

Arsyilla capek kayak gini, jantungnya makin berdetak kayak lari sprint lo, bukan karena debaran cinta tapi seringai Dhika, otak gadis itu travelling kemana-mana.

"Kamu udah makan?" Suara Dhika memelan.

"Saya nggak lapar." Arsyilla takut di sianida.

"Kamu kemanakan belanjaan kamu itu?" Dhika teringat dengan bungkusan yang di bawa Arsyilla nggak tanggung banyaknya.

"Bapak mau? Kalau saya kasi semua ke bapak, izinin saya pulang kerumah ya?"

"Tidak!" Tegas Dhika.

"Mana belanjaannya?" Tanya Dhika. Arsyilla menggeleng, mana mau dia kasi tanpa barter yang menguntungkan.

"Buat apa kamu belanja sebanyak itu jika tidak di letakkan di dapur?" Arsyilla melirik kanan-kiri, tidak mau jawab.

"Jadi saya nggak boleh pergi ni?" Arsyilla mencari peruntungan sekali lagi meskipun mustahil. Dhika menggeleng.

Tiba-tiba lampu mati, seketika Arsyilla menjerit histeris, ia berjongkok. Jantungnya sakit karena rasa takutnya yang luar biasa. Dhika menyalakan ponsel lalu segera naik ketangga untuk melihat istrinya yang berteriak karena ketakutan.

"He, Syilla?" Arsyilla memeluk tubuhnya sendiri, gadis itu menangis pilu. Dhika memegang pipi gadis itu menatap manik hitam istrinya yang sudah memerah dan berair.

"Jangan bunuh saya," gumamnya sebelum kesadarannya hilang. Tubuhnya limbung dan segera Dhika meraih tubuh mungil itu dan memeluknya.

Dengan hati-hati Dhika mengangkat tubuh Arsyilla, ia membawanya kedalam kamar gadis itu, tidak lama lampu menyala. Hanya ada dua kemungkinan lampu di penthouse luxury ini akan padam, jika tidak pengecekkan rutin, ya ada kecelakaan kecil yang mengharuskan memadam aliran listrik.

Dia membaringkan tubuh kecil istrinya di kasur, lalu duduk di tepi ranjang, ia menyingkirkan anak rambut Arsyilla yang menutupi wajah cantiknya yang menggemaskan, tubuh gadis itu masih dingin seolah darah tidak mengalir.

Dhika melihat sekeliling kamar yang memiliki wangi vanilla, persis aroma gadis itu, tidak ada yang berbeda dari sebelumnya, barang bawaan gadi itu memang tidak banyak.

Pria itu juga masuk kedalam kamar mandi, dan dia di kejutkan dengan apa yang ada di dalam. Kamar mandi merangkap jadi dapur, semua makanan tertata di rak yang seharusnya tempat sendal kamar mandi, bahkan ada kulkas mini, sebegitunya persiapan gadis itu, pantas saja dia tahan berlama-lama di dalam kamar sementara Dhika mengkahawtirkan apa dia sudah makan atau belum.

"Anak ajaib," gumamnya sambil menyunggingkan senyum.

Ia keluar dari kamar mandi lalu kembali keranjang Arsyilla, ia menatap lamat wajah Arsyilla yang memang sangat mempesona, entah lagi tidur, sadar, tersenyum ataupun marah.

Menatap lama bibir mungil berwarna pink, bibir yang selalu berkata kasar padanya, bagai ada angin topan, setan berbisik pria itu mendekatakan wajahnya kewajah Arsyilla yang terpejam, ia bisa merasakan nafas pelan istrinya, hangat dan wangi.

Jiwa kelakiannya bangkit, ia mengecup lembut bibir Arsyilla, lalu berubah menjadi ciuman dan berakhir menjadi lumatan kecil.

Seperti terhipnotis, Dhika melumatnya sedikit lama dan menuntut.

"Setidaknya ini menjadi hakku, Syilla." Dia mencium kening Arsyilla lalu pergi dari kamar gadis itu untuk membuatkan air hangat dan menelpon dokter untuk memastikan kondisi istrinya.

selamat membaca ya, tinggalkan jejak komentar sayang kalian, kami sangat bahagia untuk itu. semoga kita selalu sehat dan bahagia dimanapun dan kapanpun.

we love u guys :)

Ardhaharyani_9027creators' thoughts
Next chapter