42 Sakit Katanya Tan???

Ciuman itu agak lama, Cia entah kaget entah ngerasain juga, sebab dia kayak terlena gitu sama napas hangat beraroma mint milik Dhika. Sampeklah ciuman itu berhenti karena gadis itu cegukkan, sumpah situasinya canggung banget. Dhika antara mau lepas apa lanjut gitu.

Setelah otaknya lemot bentar, akhirnya gadis itu sadar, dia ngerasa tengkuknya di tahan sama tangan kekar, mengumpulkan napas.

1 ...

2 ...

3 ...

"PAK MAHARRRRRR!!!" Dhika terjungkal ke belakang dan akhirnya jatuh dari ranjang karena terjangan powerfull Cia.

BRAKK

Lemak kali rasanya punggung si Dhika berciumkan lantai, sementara muka Cia udah merah padam nahan emosi yang udah meledak, tangannya mengepal kayak orang kesurupan.

Percaya atau tidak Sarah sama Patrick nempelin kuping di pintu kamar. Selain khawatir, yang dominan itu kepo tingkat dewa sama pasangan suamu istri itu. Patrick nggak mau sedikit pun ngelewatin moment, selain dia belum di bayar ya dia pengen tau kehidupan pernikahan itu seperti apa.

Ternyata menyedihkan.

"Menurut tante, kenapa anak tante teriak? Terus ada suara benda jatuh kuat gitu?" Tatapan Patrick horor, otaknya traveling.

"Buat bayi kali." Rahang Patrick menganga, nampak semua gigi putihnya yang mengkilap sampek graham, namun belum sempat respon dia kembali dengar anak macan ngamuk dari dalam.

"Bapak ambil ciuman pertama saya?!" Jeritnya frustasi sambil mengusap kasar bibirnya. Dhika menyeka bokong sambil bangkit, dia berdiri tegak dengan menahan pinggang dan bongkahan pantatnya yang sangat sakit. Anak ini tenaganya gila.

"Ciuman pertama?" Alis Dhika bertaut bingung. Melihat itu Cia makin naik darah.

"Walaupun saya bolak-balik ganti pacar, tapi saya masih murni pak!" Dada gadis itu naik turun nahan emosi dan mau nangis.

Isss ... kan, mau apa yang dia persembahkan untuk suaminya kelak, bibirnya udah nggak perawan gini.

Dhika berpikir sejenak bukan karena Cia teriak ini ciuman pertama, tapi dia yang jadi pria pertama gadis kecil ini. Bukannya dia berpikir negatif, tapi namanya remaja labil suka mencoba hal-hal yang membuatnya bisa dewasa belum tepat waktu, walaupun cuma kiss-kiss aja, nggak bisa masuk kategori ciuman kayak yang mereka lakukan tadi.

Dan gadis bodoh ini taunya ciuman pertama, nggak ngeh dia kalau ini yang kedua dan pelakunya tetap orang yang sama. Dalam hati Dhika senang karena dia pria pertama.

"Saya terpaksa bungkam kamu, apa yang kamu katakan itu, saya tidak suka." Wajahnya setenang air gunung yang belum di ceburin gajah. Lempeng banget kayak jalan tol, nggak ada rasa bersalahnya.

"Terpaksa kok pakek di nikmati?! Terus bapak yang nggak suka kok ngerugikan saya?!" Ok, udah teriak berarti moodnya udah bisa di kendalikan, Dhika menarik napas lega.

"Pakek tarik napas lagi." Cia melotot. Dia turun dari ranjang nyarik sesuatu yang bisa di pukulkan ke tubuh kekar Dhika, dan itu harus benda yang keras.

"Bisa mati saya nggak tarik napas, Syilla." Kan gantian dia yang melotot sambil nolak pinggang.

"Jelasin, apa hak bapak ambil CP saya."

Alis Dhika tertaut bingung, "CP?" Ulangnya.

"Ciuman pertama, gitu aja nggak tau, kebukti sepurba apa bapak." Ketus gadis itu. Matanya masih melirik kanan-kiri mencari benda yang mantap.

"Kalau kamu tanya hak? Yakin mau dengar? Syilla, saya hanya ingin mendidikmu menjadi gadis yang tumbuh dengan baik, bukan liuk-liuk di depan kamera terus kamu upload, di saksikan seluruh orang di dunia, mungkin hari ini kamu anggapnya menyenangkan, tapi bagaimana jika kamu sudah dewasa? Kamu pasti malu melihat itu, dan akhirnya di tertawakan orang banyak. Mau?"

Dhika menekan kata terakhir, gadis ini tidak bisa di beri tau dengan isyarat. Semua harus di jelaskan dengan sejelas-jelasnya. Tampak Cia masih sesekali sesegukkan, sambil diam. Entah mikir entah nyiapin kalimat mau nyumpah.

"Bapak itu ya, selalu aja membenarkan apa yang bapak lakukan, dan bilang itu untuk kebaikan saya, padahal kita udah jelas-jelas punya kesepakatan, apa bapak emang orang yang ingkar janji?" Diam beberapa saat gadis itu nyemburkan bisa juga. Jangan pikir Cia terharu sama kalimat bijak Dhika yang ngalahin Mario Teduh. Sang motivator kesukaan Cia.

"Saya tidak ingkar, jika kamu berada di jalurmu." Dhika menarik napas pelan, dia masih bisa merasakan bibir manis istrinya di bibirnya. Dhika harus cari tau permen apa yang di makan Cia, dan harus menyiapkannya dirumah. Kalok ada serangan mendadak enak nikmatinnya.

Dhika menggeleng, tidak tau kenapa dia bisa mesum terhadap gadis kecil yang mungkin baru beberapa tahu menstruasi ini.

"Lakukan hal lain, selain buat video."

"Hoby orang kok bapak yang mutusin sih?" Kesal Cia. Dia menghempaskan bokongnya di atas kasur. Kamar ini nggak ada baloko.

Dhika mendekati istrinya, duduk di hadapan gadis itu, mirip kayak pangeran mau ngerayu upik abu. Cia yang lagi benerin cepolannya menatap horor pria itu. Kalau gadis lain akan tersipu malu maka dia siap menendang dada Dhika. Kalau di lihat oleh lalat-lalat Dhika apa nggak ngamok mereka.

"Lihat saya." Dengan kelima jarinya dia menjepit dagu Cia. Semakin Cia berpaling semakin kuat dia menekannya.

"Sssakiit pak!" Jerit Cia.

Patrick dan Sarah terjingkat sebentar. Bisa cocok pulak mereka dalam hal nguping. Sarah bukan apa, dia hanya siaga. Itulah pengakuan dalam hati untuk membenarkan tindakkannya yang salah.

"Sakit katanya tan?" Patrick semakin menempelkan telinganya. Tadi aja ngamuk sekarang? Eleh ... ranjang emang paling bisa merukunkan suasana hati, pikirnya jorok.

'Dhika pasti udah pengalaman, tapi Cia? Mendengar jeritannya, ini pasti yang pertama. Gila aja si Dhika, di sekolah pula lagi unboxingnya' batinnya.

"Saya harus chat mamanya Dhika ni, kami bakal jadi Granny." Sarah terkikik geli. Patrick baru kali ini liat ibu yang wow. Sarah menarik Patrick untuk duduk di sofa. Cowok itu menatap nanar pintu kamar, ia kehilangan kesempatan untuk mendengar alunan merdu.

"Kalau tidak mau sakit, lihat saya." Cia menatap Dhika. Jarak mereka sangat dekat. Kalau di pikir Dhika ini emang tampan, tapi masalahnya tua. Apapun itu nggak bisa buat hati Cia menye-menye. Bukannya dia terpesona, gadis itu malah memperhatikan wajah Dhika, liat ada keriput nggak, ada flek nggak. Kan bisa aja dari jauh terlihat tampan dari dekat penuh cela.

"Saya ingin kamu nurut, demi kebaikanmu. Jika kamu terkenal, orang-orang akan mencari tau hidup pribadimu. Lambat laun, semua terbongkar. Kamu mau?" Dhika tidak tau darimana rasa sabar itu tercipta.

Jantungnya berdesir saat mata Cia menatapnya lekat, menyusuri setiap jengkal wajahnya, sudah pasti gadis ini terpesona sama ketampanannya.

"Bapak mulai keriput, perawatan pak. Jangan umur 28 kayak 82." Tanpa belas kasih gadis itu berkata. Dhika terpatung kayak di telanjangi. Pernahkah gadis ini tau jika mengomentari fisik seseorang itu tidak sopan, apalagi umur mereka berbeda jauh.

"Kamu peduli dengan penampilan saya?" Mata Dhika menyipit. Cuma Tuhan yang tau seberapa keras dia menahan diri untuk tidak kembali melumat bibir yang mengatainya.

"Nggak pak. Miris aja liatnya." Dhika terhempas jatuh kedasar bumi, ketika dia sudah sedikit senang karena berpikir gadis ini memperhatikannya.

"Gabby mukanya bangus banget, halus gitu. Nanti saya tanya dia pakai product apa terus bapak coba."

Mata Dhika menyipit, "Gabby?" Tidak tahan dia pun bertanya.

"Gabriel pak. Itu panggilang sayang." Ketus Cia yang udah sadar ters menghempas kasar tangan pria itu. Dia pun kok ya biarin aja si tua ini kontak fisik.

Dhika mendengus, "balik ke topik, kamu pulang. Jangang ada masalah lari ke mama, untuk hobymu kita bicarakan dirumah."

Dhika berdiri dan berbalik, "tapi kapan?" tanya Cia yang siap turun dari ranjang.

"Nanti malam." Dhika terus berjalan.

"Tapi bapak nggak pulang selama saya masih marah." Niatnya Cia selamanya marah.

Dhika menahan kesal, menggelatak giginya. Gadis ini masih saja ingat dan perhitungan, baru juga dia mau menjawab gadis itu kembali bersuara, "jangan bilang bapak ngomong hoax."

Kepala Dhika pusing sudah, dia nyerah hari ini. Sumpah nyerah.

avataravatar
Next chapter