1 Menolak Seorang Mahardhika Addhipratama Sanjaya

"Saya nggak mau ya nikah sama Bapak!"

"Kamu pikir Saya mau?"

"Kalau gitu ngomong dong! Jangan kayak kerupuk masuk angin, melempem." Arsyilla tidak dapat menahan rasa kesal, emosi, dan kaget.

"Saya tidak ingin membuang energi, tidak akan merubah apapun," jawab Pria berumur dua puluh tujuh tahun itu.

Ingin rasanya gadis berparas cantik itu melemparkan sendal lusuh ke sayangannya ke kepala situa bangka yang duduk dengan santai di hadapannya saat ini.

Baru juga menyandang status jomblo sejati kini dirinya di hadapakan pada kenyataan pelik, harus menikah dengan pria tua.

Arsyilla Ayunda gadis berparas menawan, umur 17 tahun, baru naik kelas 2 SMA, lagi aktif-aktifnya masa puber untuk mengenal rasa pada lawan jenis, Dia masih sering bingung membedakan yang mana cinta dan mana yang namanya kesemsem salting, tapi sekarang malah harus menikah.

What the hell, Dunia tidak akan kiamat besok kan.

"Saya gak mau pokoknya titik nggak pakek koma." Arsyilla menatap tajam kedua orangtuanya yang menjadi rolemodel dalam hidupnya.

"Cia sayang," panggil Sarah selaku Mama hotnya Cia, "ini wasiat Kakek Kamu sayang." Sarah menjelaskan pada putri kesayangannya yang sedang mengamuk seperti singa betina.

"Alah, mana mungkin ini wasiat Kakek. Palingan akal-akalannya Pak Mahar aja tu, mau punya istri yang masih bayi." Sakit sudah kepala Sarah dan Bagus mendengar ucapan putrinya.

"Jika ini keinginan Saya, maka bukan Kamu pilihan Saya," ucapnya dingin.

Mahardhika Addhipratama Sanjaya, putra tunggal keluarga Sanjaya pemilik Sjcorporation. Memiliki fisik yang tidak perlu di ragukan, begitupun dengan ekonomi yang berlimpah serta karier yang cemerlang, semua wanita pasti sudah tentu mau secara suka rela menjadi istrinya kecuali gadis bermata indah bernama Arsyilla Ayunda yang tidak lain adalah muridnya sendiri.

Terdengar gila memang, orang sesempurna dirinya harus menjadi seorang guru di sekolah miliknya sendiri, semua itu berkat kakek kesayangannya, yang tidak membolehkan Dhika masuk kedalam perusahaan sebelum menikah dengan bocah yang sedang mencak-mencak di hadapannya saat ini.

"Cia, sabar ya sayang ..., Om dan Tante akan jelaskan," ucap Sinta yang tidak lain adalah ibunya Dhika.

"Om dan Tante jangan paksa Cia ya, kalau maksa, Cia minum racun tikus," ucapnya kesal, "eh, nggak jadi racun tikus, nanti kalau Cia mati, gebetan Cia nangis. Kasian." Beginilah labilnya gadis remaja.

"Emang Cia punya pacar?" tanya Sinta, dirinya seorang Psikolog jadi ia paham untuk bicara pada anak seusia Cia.

"Pacar baru putus tadi malam, tapi sekarang lagi ompimpa untuk nentuin gebetan mana yang naik jabatan jadi pacar selanjutnya," ucap Cia percaya diri. Sarah dan Bagus menatap Sinta dan Tama selaku orangtua Dhika dengan tatapan memohon maaf.

Sinta sebenarnya ingin tertawa terbahak-bahak dengan kepolosan calon mantunya ini, gadis ini akan sangat cocok dengan putranya yang telah berubah menjadi dewa batu.

"Emangnya Dhika nggak bisa gitu masuk kwalifikasi calon gebetan atau calon pacar mungkin?" tanya Sinta hati-hati, Dhika menoleh menatap tajam ibunya yang memasang wajah tidak berdosa.

"Oh tidak, Cia nggak suka Pria tua." Telunjuk Cia menari kekanan kekiri seperti jarum jam.

"Tapi kan Dhika tampan," ucap Sinta mencoba menunjukkan kelebihan putranya.

"Tampan aja nggak cukup Tan. Ni ya Cia bilang, di kelas itu Pak Mahar killernya melebihi Mama kalau lipstiknya Aku curi, dan lagi Pak Mahar sepertinya gagu." Sumpah demi Tuhan sekarang Sarah ingin mengembalikan Cia kedalam kandungannya, serta meminta Tuhan untuk menggantikannya dengan bayi yang lain.

"Cia, Kamu nggak boleh begitu sayang," tegur Bagus pada akhirnya.

"Iya Cia tau Pa, tapi Cia nggak mau nikah. Apa kata gebetan sama fans Cia?" Arsyilla menatap kesal guru Matematika di depannya ini.

"Lagian, bapak kok mau-mauan aja sich di jodohin sama bayi kayak Saya?"

"Saya terpaksa," jawabnya singkat, "dan harus Kamu tau, Saya. Tidak. Gagu." Tatapan tajamnya menghunus mata hitam milik Cia. Dan gadis itu hanya memutar jengah matanya.

"Whatever lah Pak, pokoknya Saya nggak mau ya nikah sama bapak. Cari cewek lain aja gih, Saya nggak minat." Cia menyandarkan tubuhnya disofa. Bukannya Dia kurang ajar tapi wajarkan Dia emosi.

Mahardhika tidak perduli bagaimana sikap gadis ini, yang jelas dirinya harus mendapatkan apa yang ia inginkan, itu terwujud setelah Dia bisa menikahi gadis bar-bar ini.

"Cia sayang, alamarhum Kakekmu telah membuat janji dengan Kakeknya Dhika, bahwa mereka akan menjodohkan cucu pertama mereka, saat kalian masih kecil." Kini Tama yang mencoba menjelaskan dengan pelan pada gadis yang kelewat aktif ini, sesungguhnya dirinya senang dengan karakter gadis ini.

"Tapi Cia nggak mau, dan lagi Cia bukan cucu pertama. Ada Kak Nabilla." Sinta dan Tama menatap Sarah dan Bagus menuntut penjelasan begitupun dengan Dhika.

"Nabilla, anak sepupuku yang kini sedang berada di luar Negri, Dia tidak masuk dalam wasiat." Sinta dan Tama mengangguk mengerti.

"Baiklah, begini saja. Kami beri waktu kamu untuk berpikir tentang perjodohan ini, meskipun akhirnya akan sama saja," ucap Tama.

"Kalau gitu, sia-sia ajalah mikirnya." Arsyilla sungguh ingin menangis keras saat ini.

'Hello umurku masih sangat belia, mana mungkin Aku mau menikah dini' jeritnya dalam hati.

"Makanya itu jangan di pikir-pikir lagi," ketus Sarah tanpa sadar. Mereka memang saling menyayangi tapi adakalanya saling ribut dan Baguslah jadi imbasnya, namun begitulah keluarga mereka sangat harmonis.

"Om, Tante. Mendingan Kalian berdua yang mikirin lagi untuk bermenantukan Aku, Aku ini belum tau apa-apa dalam Dunia perkawinan," ucap Cia serius dan mengabaikan tatapan marah ibunya. Perkara Mama, gampanglah itu. Pikirnya.

"Seiring waktu Kamu bisa belajar," jawab Sinta.

"Aku tidak pintar masak." Arsyilla yakin Sinta akan mundur.

"Kita punya pelayan," jawab Sinta lagi.

"Aku nggak bisa ngurusin Pak Mahar."

"Dhika mandiri." Arsyilla sungguh frustasi sekarang.

"Aku nggak mau."

"Kamu harus mau," jawab keempat orang tersebut yang tidak lain adalah orangtuanya dan Dhika.

Arsyilla menjambak rambut hitamnya yang bergelombang dengan kuat, berharap Mama dan Papanya iba.

"Cia, ulahmu itu sudah basi." Sarah melipat kedua tangannya dan menatap datar putri ajaibnya.

"Cia kabur dari rumah aja lah," ucapnya.

"Ya pergi sana, tapi semua kartu tinggal beserta kunci mobil dan apartement. Papa cabut semua fasilitasmu." Bagus tau betul, Cia tanpa fasilitas sama dengan bohong.

"Kok gitu sih, sama anak sendiri?" Mau kemana Arsyilla tanpa senjata ampuhnya itu.

"Kamu yang kok gitu sama orangtua," ucap Sarah sedih. Kali ini dirinya yang bersandiwara di depan putrinya.

"Lah, Kok Mama yang sedih sih?" Arsyilla dengan cepat melangkah mendekati ibunya.

"Aku sayang sama airmata Mama, tapi bukan berarti Aku nggak tau ya kalau Mama itu cuma ber-sandi-waraaa," ucap Arsyilla sambil menyenandungkan kata bersandiwara.

Sarah mendesah pelan, karena actingnya terbaca oleh putri kesayangannya, lagipula mustahil Arsyilla tidak tau, putrinya sangat mahir dalam hal bersandiwara.

Sinta dan Tama tidak bisa membayangkan bagaimana ramainya mansion mereka jika Arsyilla tinggal di sana.

Sementara Mahardhika menatap jengah muridnya. Arsyilla Ayunda adalah makhluk teraneh yang pernah di kenalnya.

Makan malam berakhir dengan drama debat yang mengalahkan sinetron ajab emak-emak jaman now, Arsyilla masih pada pendiriannya, menolak seorang Mahardhika Addhipratama Sanjaya.

avataravatar
Next chapter