49 Kok Tumben Lo Nggak Emosi?

"Tepati janji lo, jangan bacot aja yang gede," ucap Aneth begitu Dhika keluar dari ruangan. Dia kesemsem sendiri dengar idolanya udah merit, selamat bahagia dunia akhirat lah pak, do'anya dalam hati.

Maya tidak menggubris ucapan Aneth, dia masih syok dengan kenyataan yang ada, niat hati mau nembak tu guru tapi sekarang udah pupus. Tapi nggak, dia masih bisa jadi simpanan kan? Banyak kok yang begitu, dan baginya tidak masalah untuk jadi salah satu diantar mereka, asal pria itu adalah Dhika.

BRAKK

Aneth menggebrak meja Maya, menyadarkan tu anak yang pucat pasi kayak ketemu hantu. Satu kelas kini menunggu reaksi si sombong Maya untuk menepati janjinya.

"Nggak fair, lo main serobot. Harusnya gue yang nanyak ke pak Dhika." Ketus Maya gitu tersadar dari lamunannya. Gila aja ngidupin musuh sebulan, sayang lah uangnya.

"Jangan ngeles kayak bajai, itu nggak masuk dalam perjanjian, yang penting hasil akhirnya." Seisi kelas mendukung Aneth, wajah Maya udah merah padam.

"Ingat ya Lampir, lo udah sumpah siapa yang nggak terima kekalahan bakal sial seumur hidup, gue nggak masalah tapi ingat sial banyak macamnya jangan sampek kesialan lo jadi perawan tua, percuma kan udah buang uang buat perawatan?" Seisi kelas terbahak dan ada yang mengetuk meja sambil mulut komat-kamit agar di jauhkan dari kesialan, padahal apa urusannya dia, kan nggak terlibat juga. Aneh emang.

"Ok, gue terima, berapa?" Maya takut juga kalau sampek sial seumur hidup gara-gara sayang keluarin duit.

"Tadi gue bilang kan bebas, untuk permulaan gue pengen traktir teman satu kelas, dan tagihannya masuk di lo." Layaknya habis perang dan dapat kebebasan, seisi kelas bersorak senang dan mengelu-elukan nama Aneth. Gadis itu memberi ciuman keudara layaknya artis yang jumpa fans. Cecillia hanya bisa menggeleng pelan.

Maya menggertakkan giginya menahan emosi, harusnya tadi dia tidak sepercaya diri itu. Tidak lama bel istirahat berbunyi dan petaka pun menghampirinya.

Satu kelas menghambur kekantin. Sebenarnya para siswa anak orang kaya hanya saja dapat makanan gratis tetap menggiurkan, jajanan di kantin juga nggak murah, bakso semangkuk dua puluh ribu belum jajanan yang lain pokoknya hari ini lumayan bisa hemat, sering-sering aja dapat traktiran kayak gini kan enak, batin mereka.

"Ok, epribadeh kalian bebas jajan sepuasnya, hari ini gue lagi baik jadi donatur kalian." Teriak Aneth yang di sambut gemuruh, langsung mereka yang dapat traktiran menghambur ketukang jualan yang udah di pesan Aneth buat layani teman mereka.

Maya yang di geret ke kantin hanya bisa nelangsa menatap betapa tega teman sekelas merampok dirinya.

"Lo happy besday ya Neth?" Tanya Alex yang bingung liat keroyalan gadis bar-bar ini walaupun nggak sebar-bar embebnya.

"Nggak, cuma gue lagi kejatuhan duit percuma, lo dan kalian semua juga bebas makan gue bandar hari ini." Aneth dengan bangga menepuk dadanya.

"Dia kenapa?" Tanya Gabriel pada Cecilia, jantung gadis itu berdegub.

"Oh, menang taruhan dari Maya. Aneth kaya sebulan ini."

"Taruhan apa?" Suara Andy yang kali ini bertanya.

"Ada gosip yang nyebar kalo pak Dhika udah merit, si Maya dan Aneth taruhan, jadi pas pak Dhika masuk si Aneth langsung nanyak dan di jawab sama tu bapak."

"Jawabannya?" Tanya Gabriel. Cecil lebih milih Andy yang nanya, kalau Gabriel bisa tremor bibirnya karena gugup.

"Ya, dia udah merit. Dan Maya kalah taruhan." Alex dan Aneth datang dengan nampan berisi bakso dan cemilan. Maya yang ngeliat itu mau protes tapi tengsin, sembilan cowo yang bersama musuhnya ganteng semua, udah gitu most wanted lagi.

"Lo nggak pesan?" Tanya Aneth pada Gabriel.

"Pesan dong, mumpung ada gratisan siapa yang nggak mau. Cil, pesanin gue ya? Kalo lo nggak keberatan." Gabriel tersenyum manis kearahnya yang buat jantung Cecil hampir copot.

"Manja bener, Cecil aja gue yang pesanin." Ketus Aneth yang sedang mencampur segala macam bumbu penyedap ke baksonya.

"Gue males di kerebutin cewek-cewek alay." Gabriel menggidik takut melihat tempat dagangan di dominasi oleh para siswi.

"Mantap coy, kalo beruntung bisa kesenggol benda haram." Timpal Alex yang langsung terbahak, yang lain saling pandang tidak mengerti maksudnya. Udah gila cowo satu ini, batin mereka.

"Siapa yang jual barang haram?" Tanya Rendra, bisa di kasuskan ni.

"Yang bilang jual siapa? Maksud gue benda haram yang belum halal. Gunung himalaya." Seketika mereka paham langsung terbahak. Sementara Aneth menggetok kepala Alex pakek sendok. Wow kali rasanya. Alex meringis kesakitan ngelus kepalanya.

Cecillia yang malu langsung bangkit buat pesan baksonya Gabriel, dia senang bisa lebih dekat dengan tu cowok.

"Otak lo mesum aja bawaan." Ketus Aneth.

"Kok lo marah? Cemburu ya lo, sorry gue masih mau perjuangin cinta gue ke embeb, kalau nggak da harapan, lo juga boleh lah Neth." Seketika ia menghindar kala mata Aneth yang melotot dengan tangan memegang sendok siap menggetoknya lagi.

"Wah, ada pesta kayaknya." Suara Cia yang ceria langsung mengambil fokus mereka. Gadis itu langsung bergabung dengan sahabat-sahabatnya.

"Ci," cicit Aneth dengan tampang sedih.

"Lupain masalah tadi pagi, mood gue udah baikkan kok." Setelah bercanda dengan pak Ramlan dan mengerjakan soal matematika, moodnya Cia langsung pulih, lagian dia anaknya kan labil.

"Makasi Ci, sekarang lo bebas mau pesan apa aja, gue lagi kaya ini." Aneth dengan semangat bangkit dari kursi menghampiri sahabat tercinta dan menggaet tangannya, di apit rapat.

"Duit darimana? Jual barang haram lo ya?" Tanya Cia menggoda namun tatapannya serius.

"Gue menang taruhan dari si Lampir, hari ini dia nelangsa, patah hati, patah pula karu ATM-nya." Aneth menunjuk ketempat Maya duduk yang sedang menatap mereka horor.

"Maksud lo? Males gue rasain duit dia, haram."

"Tenang aj, gue menang taruhan. Dia nggak percaya my future husband udah merit, nah gue tanya langsung and do'i jawabnya yes." Tubuh Cia menegang, dia cukup terkejut pria itu mengungkapkan statusnya.

Cia mengatur napas, "bual kali dia, siapa yang mau nikah sama orang kaya dia?"

'Lo lah ... nggak nyadar banget si lo' dewi batinnya berteriak sambil meremehkan. Cia pura-pura nggak denger raungan dewi batinnya.

"Oh, nggak perduli siapa istrinya yang penting cincin kawin melingkar di jari. Satu sekolah lagi patah hati. Mending kita nikmatin aja rezky ini, gue janji nggak akan nyebut nama dia lagi." Aneth membentuk huruf V di jarinya tanda sumpah yang tidak akan di ingkari.

"Kalau gitu lo harus kasi jatahnya pak Mahar yang udah buat lo menang."

Aneth kaget, "kok tumben lo nggak emosi?"

"Ya hak dia juga harus di berikan dong, coba kalau dia nggak jawab bisa-bisa lo yang nelangsa hari ini, lagian gue lagi baik sama dia, soalnya dia udah buat Fandi duduk jauh dari gue." Aneth mengangguk mengerti.

"Terus mau kasi dia apa?" Tanya Aneth, dia juga nggak berani nganter keruangannya takut kenak semprot.

"Bakso aja, sama kayak gue, nah biar gue anterin sekalian. Tadinya mau gue yang bayar tapi berhubung lo lagi kaya, duit gue aman." Keduanya bertos ria. Para cowok cuma bisa geleng kepala aja.

Gabriel tersenyum simpul, gadis yang ia sukai memang begitu lah sifatnya, mudah marah dan mudah pula reda.

Cia memesan dua mangkuk bakso, lalu meminta pada pelayan kantin untuk mengantarnya keruang kepala sekolah, repot juga kalo dia sendiri yang bawa. Dia lebih dulu berlalu ke ruangan pria itu.

avataravatar
Next chapter